Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kayla
Cahaya matahari pagi yang hangat menerobos masuk melalui celah tirai beludru, menciptakan garis-garis emas di atas sprei sutra yang berantakan. Gideon sudah terbangun lebih dulu; ia tidak benar-benar tidur lelap karena naluri pelindungnya tetap waspada meski di balik tembok istana sekalipun.
Ia berbaring miring, menumpu kepalanya dengan satu tangan sambil memandangi wajah tenang Emelia yang masih terlelap. Tanpa riasan, tanpa beban amarah yang kemarin meluap, Emelia terlihat begitu murni. Gideon mengulurkan tangan, jemarinya yang kasar karena terbiasa memegang pedang kini membelai pipi istrinya dengan kelembutan yang mustahil dipercaya oleh musuh-musuhnya.
Gideon mendekat, lalu mendaratkan kecupan lama dan lembut di kening Emelia.
"Bangun, Duchess-ku," bisik Gideon, suaranya serak khas orang bangun tidur namun terdengar sangat dalam dan posesif.
Emelia melenguh pelan, bulu matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah mata tajam Gideon yang kini menatapnya dengan binar pemujaan yang tidak disembunyikan lagi.
"Gideon..." suara Emelia masih parau. Ia mengerjapkan mata, sejenak bingung dengan kemegahan kamar di sekelilingnya sebelum ingatan tentang peristiwa berdarah kemarin kembali menghantamnya.
"Aku di sini," sahut Gideon cepat, seolah bisa membaca keraguan di mata istrinya. Ia menarik Emelia lebih dekat hingga tubuh mereka kembali merapat. "Hari ini adalah hari pertama di mana tidak ada seorang pun yang bisa memerintahmu. Kerajaan ini sedang menunggu titah darimu, tapi bagiku, kau hanya perlu bangun dan tetap di sisiku."
Emelia tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh rahang kokoh Gideon yang mulai ditumbuhi janggut halus. "Apakah ini nyata? Raja Alaric... Ibu Suri..."
"Mereka sedang membusuk di sel bawah tanah, menunggu nasib yang sudah kau tentukan," jawab Gideon dengan seringai dingin yang hanya muncul sekilas sebelum kembali melembut untuk Emelia. "Tapi lupakan mereka sejenak. Aku sudah menyiapkan pelayan untuk membawakan sarapan terbaik, dan setelah itu, aku akan membawamu ke taman mawar istana. Aku ingin semua orang melihat bahwa Duchess Jasper tidak hanya selamat, tapi ia telah kembali untuk mengambil apa yang menjadi haknya."
Gideon mengecup ujung hidung Emelia. "Dunia mungkin melihatmu sebagai Ratu mereka yang baru, tapi ingatlah satu hal, Emelia... di kamar ini, kau tetaplah milikku sepenuhnya. Dan aku tidak akan membiarkan tugas kerajaan mana pun mencuri waktumu dariku pagi ini."
Emelia merasakan kehangatan yang menjalar di dadanya. Kehilangan ayahnya memang meninggalkan lubang yang dalam, namun kehadiran Gideon yang begitu dominan dan melindungi seolah menjadi jangkar yang menahannya agar tidak tenggelam dalam duka.
"Terima kasih, Gideon," bisik Emelia sambil melingkarkan lengannya di leher suaminya, menarik pria itu untuk sebuah kecupan pagi yang manis namun penuh janji. "Mari kita tunjukkan pada mereka bagaimana sejarah seharusnya ditulis."
Gideon tersenyum misterius melihat binar rasa penasaran di mata istrinya. Ia bangun dari tempat tidur, mengenakan jubah sutranya, lalu berjalan menuju pintu besar kamar mereka. Dengan satu ketukan ringan, pintu terbuka, dan seorang gadis muda melangkah masuk dengan kepala menunduk hormat.
"Masuklah," perintah Gideon dengan nada yang jauh lebih tenang dibanding biasanya.
Gadis itu mendongak. Rambutnya dipotong sebahu, lurus dan mengilap, membingkai wajahnya yang cantik namun terlihat cerdas. Matanya jernih, mencerminkan kejujuran yang jarang ditemukan di lingkungan istana yang penuh ular.
"Emelia, ini Kayla," ujar Gideon sambil memperkenalkan gadis itu. "Dia berasal dari keluarga setia yang pernah dibantu oleh unit Night Hawks. Dia seumur denganmu, dan mulai hari ini, dia bukan hanya sekadar pelayan pribadimu. Dia adalah tangan kananmu, matamu di istana ini, dan teman yang bisa kau percayai saat aku sedang tidak berada di sampingmu."
Kayla melangkah maju dengan anggun, lalu berlutut di depan ranjang Emelia. "Hamba merasa terhormat bisa melayani Anda, Yang Mulia Duchess. Duke Jasper telah menceritakan betapa beraninya Anda. Hamba bersumpah akan menjaga keselamatan dan rahasia Anda dengan nyawa hamba sendiri."