Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Pagi itu, di rumah kecil nan hangat milik Damar, Senja mengambil keputusan besar. Ia memblokir nomor telepon rumah lamanya, dan menghapus semua akun media sosial yang berpotensi menjadi jalur komunikasi bagi Paramita. Ini adalah tindakan nyata pertamanya memutus rantai masa lalu.
Saat Damar masuk membawa dua cangkir teh hangat, Senja menoleh dengan wajah lega yang bercampur sedikit takut.
"Aku sudah memblokir semua kontak dengan Ibu," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Untuk selamanya."
Damar tersenyum, meletakkan cangkir teh di meja. "Itu keputusan yang sangat berani, Senja. Aku bangga padamu."
"Aku juga sudah mendaftar kursus akuntansi dasar," Senja melanjutkan, buru-buru mengubah topik ke hal yang lebih 'aman'. "Aku tidak punya keahlian, dan akuntansi terlihat stabil. Aku tidak ingin membuang-buang uangmu."
Damar duduk di sampingnya, meraih tangan Senja.
"Uangku, uangmu. Kita sudah melewati fase itu. Tapi, apa kau menyukai akuntansi?"
Senja menggeleng. "Tidak. Tapi aku tidak pantas mendapatkan yang kuinginkan. Aku hanya..."
"Cukup!" Damar memotongnya, tidak dengan amarah, tetapi dengan ketegasan yang penuh kasih. "Jangan ulangi lagi kata-kata Ibumu. Kau sudah bebas dari cap Beban Kelahiran yang Tragis itu. Aku ingin kau memilih fotografi digital. Itu passion-mu."
Melihat Damar tidak akan berkompromi, Senja akhirnya mengangguk. Gejolak rasa bersalah beradu dengan ledakan kecil kegembiraan. Mereka segera mendaftar ke kursus fotografi.
Malam harinya, setelah makan malam, Damar meminta Senja duduk di sofa. Wajahnya terlihat serius, namun matanya memancarkan kelembutan.
"Senja," Damar memulai. "Aku senang kau sudah mulai kursus fotografi. Itu langkah besar pertama menuju kemandirian finansial."
"Terima kasih, Damar. Itu semua berkatmu."
"Aku ingin ada satu langkah lagi yang kau ambil. Langkah ini akan lebih penting dari pekerjaan atau studi." Damar diam sejenak. "Aku ingin kau bertemu dengan seorang psikolog."
Mendengar kata itu, tubuh Senja langsung menegang. Jantungnya berdebar kencang, persis seperti saat ia menjatuhkan piring minggu lalu. Ia berdiri dari sofa.
"Tidak! Aku tidak gila, Damar! Aku tidak butuh itu! Hanya orang yang sakit jiwa yang pergi ke psiko—"
"Duduk, Senja." Damar memintanya, suaranya kini kembali tenang, memotong histeria kecil Senja.
Senja kembali duduk, ketakutan bercampur malu.
"Kau tidak gila," kata Damar, memegang bahu Senja. "Kau hanya terluka. Luka di tangan butuh perban. Luka di kaki butuh dokter bedah. Dan luka di pikiran serta hati butuh bantuan profesional."
"Aku tidak apa-apa," bisik Senja, matanya berkaca-kaca. "Aku bisa melupakannya. Aku hanya perlu fokus."
"Melupakan bukanlah menyembuhkan. Kau masih takut pada suara keras. Kau masih panik saat piring pecah. Kau masih merasa bersalah hanya karena bahagia. Itu bukan kau, Senja. Itu adalah sisa-sisa trauma yang harus dibuang."
Damar memandang Senja, tatapannya tulus. "Aku adalah pelindungmu secara fisik. Tapi aku bukan dokter mental. Aku ingin kau pulih, Senja. Utuh. Untukmu, bukan untukku. Kau tidak harus memberitahu semua yang terjadi. Cukup katakan kau ingin belajar mengelola ketakutanmu."
Damar menembus pertahanannya. Ia menyadari, selama ini ia hanya berusaha menutupi luka, bukan mengobatinya. Damar tidak melihatnya sebagai beban, melainkan sebagai pasangan yang layak mendapatkan kesembuhan.
"Aku takut..." akunya. "Aku takut kalau dokter itu bilang aku benar-benar... rusak."
Damar tersenyum lembut. "Tidak ada yang rusak, Senja. Kau adalah salah satu wanita terkuat yang pernah aku kenal. Kau bertahan dari neraka selama bertahun-tahun. Itu bukan tanda kelemahan, itu tanda kekuatan. Izinkan aku membantumu menyelesaikan perjuangan ini."
Senja mengangguk, air matanya menetes, kali ini air mata karena kelegaan dan penerimaan.
"Baiklah, aku akan pergi. Aku janji akan mencoba."
"Bagus," kata Damar. "Aku sudah mencari kontak seorang konselor trauma yang bagus. Kita akan buat janji besok. Itu adalah langkah terakhir untuk benar-benar menutup pintu masa lalu."
Malam itu, saat Damar kembali ke sofa, Senja memanggilnya dari ambang pintu kamar.
"Damar," panggilnya pelan. Damar menoleh.
"Terima kasih. Bukan hanya untuk perlindungan, tapi untuk Pelita-mu yang menerangi tempat-tempat paling gelap di pikiranku. Aku akan sembuh. Aku akan menjadi istri yang utuh untukmu, karena aku mulai mencintaimu, Damar."
Pengakuan itu terasa berat, penuh janji, dan realistis. Damar tidak segera menjawab, hanya memandangnya.
"Aku pegang janjimu," balas Damar, suaranya sedikit serak. "Tidurlah. Kau tidak harus menjadi utuh untuk dicintai. Tapi aku akan menunggumu sembuh sepenuhnya."
Senja tidur dengan kesadaran baru: kebebasan tidak hanya berarti lari dari ancaman, tetapi juga menghadapi luka terdalamnya dengan bantuan suaminya.