Cantika yang bekerja sebagai kurir harus menerima pernikahan dengan yoga Pradipta hanya karena ia mengirim barang pesanan ke alamat yang salah .
Apakah pernikahan dadakan Cantika akan bahagia ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cantika dan keluarga pradipta
Pagi di rumah keluarga Pradipta selalu punya ritme yang berbeda dari rumah kecil Cantika dulu. Di sini, aroma roti panggang bercampur dengan wangi kopi bapak, suara sendok beradu dengan gelas, dan langkah kaki Bu Ratna,ibu Yoga,yang selalu bergegas dari dapur ke ruang makan sambil mengatur menu.
Cantika masih belum sepenuhnya terbiasa, meski sudah dua bulan menikah dan tinggal di rumah besar itu. Tapi setiap pagi, ia berusaha menyesuaikan diri. Hari ini pun begitu. Setelah subuh, ia langsung turun ke dapur untuk membantu Bu Ratna.
“Canti, kamu nggak usah repot-repot,” ucap Bu Ratna sambil tersenyum. “Nikmati saja masa pengantin barumu.”
“Tapi Canti senang bantu, ma ,” jawab Cantika sambil mengiris bawang tipis.
Bu Ratna terdiam sebentar, lalu tertawa kecil. “Ya sudah, kalau itu bikin kamu nyaman. Tapi jangan sampai kamu capek sendiri.”
Cantika tersenyum. Perempuan itu memiliki cara bicara tegas, namun hangat. Sejak awal, Bu Ratna menerima Cantika tanpa pertanyaan-pertanyaan rumit soal asal-usul atau latar belakang. Bahkan ketika mengetahui bahwa pernikahan Cantika–Yoga bermula dari Cantika yang salah alamat , Bu Ratna hanya berkata:
“Alamat boleh salah. Tapi hati tidak.”
Kalimat itu selalu tersimpan dalam ingatan Cantika.
---
Yoga turun ke ruang makan sambil mengancingkan kemejanya. Rambutnya masih basah dan wajahnya terlihat segar. “Pagi, Ma . Pagi, Cantika.”
Cantika yang sedang menata piring langsung berhenti. “Mas, duduk saja. Aku yang siapin.”
Yoga terkekeh. “Iya, Ma. Lihat tuh, istriku jadi rajin banget.”
Cantika memutar mata. “Mas, dari dulu aku memang rajin.”
Bu Ratna hanya menggeleng sambil tertawa kecil. “Sudahlah, kalian berdua ini. Pagi-pagi sudah saling goda.”
Tak lama kemudian, Pak pradipta ayah Yoga,muncul membawa koran. Ia jarang bicara, tapi pandangannya lembut.
“Pagi,” ujarnya singkat.
“Pagi, Pa,” jawab Cantika sopan.
Pak pradipta duduk dan mulai membaca halaman keuangan, sementara Bu Ratna memperbaiki posisi gelas di depannya. Suasana sarapan keluarga Pradipta selalu seperti itu: tenang, teratur, dan hangat.
---
“Hari ini kamu kuliah sampai sore?” tanya Yoga sambil menyendok telur orak-arik.
“Sampai jam tiga. Ada diskusi kelompok proyek bisnis,” jawab Cantika.
“Proyek Kue Nenek itu?” tanya Bu Ratna.
Cantika mengangguk. “Iya, Ma. Kami lagi susun model pemasaran. Amara yang pegang desain logo.”
“Kalau butuh alat buat uji coba resep, ambil saja di dapur,” kata Bu Ratna. “Ibu punya loyang besar yang jarang dipakai.”
Cantika tersenyum cerah. “Makasih banyak, Ma.”
Yoga menatap istrinya dengan bangga. “Lihat tuh, Ma. Canti ini serius banget mau bikin bisnis.”
Bu Ratna mengangguk bangga. “Bagus. Perempuan kalau punya arah itu lebih mantap langkahnya.”
Pak pradipta yang sejak tadi diam ikut menimpali tanpa menurunkan korannya, “Bisnis makanan itu paling stabil. Orang selalu butuh makan.”
Seisi meja tertawa ringan.
---
Siangnya, Cantika berangkat kuliah dengan sepeda motor Yoga. Biasanya Yoga yang mengantar, tapi hari ini ia harus berangkat lebih pagi karena ada rapat di kantor.
Sebelum pergi, Yoga sempat mendekatinya dan membetulkan tali helm Cantika. “Kalau pulang jangan ngebut, ya. Hati-hati.”
“Iya, Mas. Jangan khawatir. Aku ingat jalannya kok.”
Yoga tersenyum. “Aku bukan khawatir soal jalan. Aku khawatir kamu di jalan sendirian.”
Cantika mendorong bahunya. “Mas lebay.”
“Terserah,” gumam Yoga sambil mencubit ujung hidungnya. “Aku sayang.”
Cantika merona merah seketika. “Mas!”
Yoga hanya tertawa dan melambaikan tangan sebelum pergi.
---
Di kampus, Amara langsung menyambut Cantika.
“Hari ini kamu kelihatan beda, Canti,” ujarnya sambil melirik penuh makna.
“Beda gimana?” tanya Cantika, bingung.
“Kayak… lebih bersinar. Lebih bahagia.”
Cantika menghela napas dan tertawa kecil. “Aku cuma cukup tidur.”
“Yakin?” Amara mendekat. “Atau karena… hidup bersama mertua ternyata tidak sehoror cerita di TikTok?”
Cantika terbahak. “Nggak horor kok, Mar. Malah hangat banget. Keluarga Mas Yoga baik-baik.”
Amara mengangguk kagum. “Senang dengarnya. Kamu cocok tinggal di sana?”
Cantika menarik napas panjang. “Awalnya sungkan. Tapi lama-lama nyaman. Mereka memperlakukanku kayak anak sendiri.”
“Yoga perhatian banget, ya?”
Cantika hanya tersenyum kecil. “Iya… banget.”
Amara menggeleng pelan. “Cowok kayak Yoga jarang, Canti.”
Cantika tahu itu. Ia merasakannya sejak hari pertama mereka mencoba mengenal satu sama lain. Yoga bukan hanya suami yang sabar dan penyayang. Ia juga pasangan yang memberi ruang bagi Cantika untuk bermimpi.
---
Saat diskusi kelompok berlangsung, Cantika menjelaskan rancangan anggaran produksi sambil menunjukkan catatan rapi yang ia susun semalam.
“Sertakan biaya gas, listrik, dan biaya tenaga kerja ya,” kata ketua kelompok, Rafi. “Kita harus realistis.”
“Iya,” jawab Cantika. “Aku sudah hitung. Kalau pakai sistem pre-order, risiko rugi kecil.”
Amara menepuk bahunya. “Canti ini otaknya bisnis banget. Kalian beruntung dia satu kelompok.”
Rafi mengangguk. “Serius. Kalau nggak ada Cantika, laporan keuangan kita berantakan.”
Cantika tersenyum malu. “Nggak segitunya, Pak Rafi.”
“Segitunya,” jawab mereka serempak.
Cantika tertawa.
---
Sore hari, saat pulang, ia berhenti di pasar kecil dekat rumah untuk membeli bahan sayur. Bu Ratna sering mengizinkannya memilih menu makan malam agar Cantika juga merasa berperan dalam rumah itu.
Ia baru saja memilih tomat ketika terdengar seseorang memanggil namanya.
“Cantika?”
Cantika menoleh.
Aluna berdiri di sana, mengenakan blus krem dan celana hitam. Wajahnya terlihat lebih segar dibanding pertemuan beberapa minggu lalu.
“Oh… Mbak Aluna,” sapa Cantika pelan.
Aluna tersenyum kecil. “Boleh ngobrol sebentar?”
Cantika mengangguk. Mereka berjalan sebentar ke sisi pasar yang lebih sepi.
“Aku cuma… mau bilang kalau aku sekarang kerja di dekat sini,” jelas Aluna. “Dan aku sering lihat kamu lewat.”
“Oh begitu…” Cantika manggut-manggut.
“Aku senang melihat kamu bahagia,” lanjut Aluna. “Dan sejujurnya, aku lega semua kejadian salah alamat itu berakhir dengan… kebaikan.”
Cantika menatapnya lama. “Makasih, Mbak. Mas Yoga juga sudah menjelaskan semuanya dengan jelas. Dan aku… aku percaya.”
Aluna tersenyum tulus. “Bagus. Kamu beruntung. Yoga terlihat… suami yang hangat.”
Cantika tersenyum malu. “Iya.”
“Kalau suatu hari kamu butuh bantuan soal tugas atau apa pun, bilang ke aku. Kita bisa jadi teman.”
Cantika kaget mendengarnya. “Beneran?”
“Ya iyalah,” jawab Aluna sambil terkekeh. “Aku bukan tipe yang suka drama.”
Keduanya tertawa ringan.
Percakapan itu berakhir dengan perasaan jauh lebih baik dibanding pertemuan pertama mereka.
---
Saat Cantika pulang, Bu Ratna langsung menyambut di dapur.
“Kamu beli apa saja?”
Cantika meletakkan kantong belanja. “Tomat, bayam, tahu. Kita bikin sayur bening saja ya, Bu.”
“Bagus. Mas Yoga pulangnya telat, dia pasti suka yang hangat-hangat.”
Cantika memotong sayuran sambil bercerita soal proyek kampus, dan Bu Ratna mendengarkan dengan antusias, seperti seorang ibu kandung yang bangga pada anaknya.
Dan ketika malam tiba, Yoga pulang dengan wajah lelah tapi cerah.
“Wangi apa ini?” tanya Yoga sambil mencium udara.
“Sayur bening buatan istrimu,” jawab Bu Ratna sambil terkekeh.
Yoga mendekati Cantika dan berbisik, “Kamu masak?”
“Ditemani ibu,” jawab Cantika.
Yoga tersenyum hangat. “Aku bangga.”
Mereka makan bersama keluarga besar. Suasana begitu nyaman hingga Cantika tak sadar bahwa ia tersenyum sepanjang makan.
Malam itu, ketika mereka berdua masuk kamar, Yoga memeluk Cantika dari belakang. “Canti…”
“Hm?”
“Terima kasih sudah menyesuaikan diri di rumah ini. Ibu tadi bilang kamu cepat belajar dan cepat akrab.”
Cantika membalik badan, menatap mata suaminya. “Aku juga nyaman, Mas. Aku merasa… punya tempat baru. Rumah baru.”
Yoga mengecup keningnya. “Selamat datang di keluarga Pradipta, istriku.”
Cantika menutup mata dan membalas pelukannya.
Dan saat itu juga, ia menyadari satu hal:
Kesalahan alamat mungkin memulai perjalanan ini…
tapi cinta yang tumbuh membuatnya menetap.
Kini, Cantika bukan hanya istri Yoga.
Ia adalah bagian dari keluarga Pradipta ,rumah yang terasa benar di hatinya.
Salut sama bu Ratna...yang sabar dan telaten. ngajari Cantyka...
Semangat Cantyka...nggak butuh waktu lama kamu pasti lulus pelatihan oleh mama mertu 😍😍
Cantyka pasti mudah belajar menjadi pendamping pebisnis.
Dedemit...aku suka caramu memperlakukan Cantyka....semoga langgeng yaaas😍😍