Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Suara seseorang sedang berusaha untuk memuntahkan sesuatu terdengar memenuhi seluruh bagian dalam sebuah ruangan toilet universitas, membuat keheningan yang sedari tadi sedang melanda sontak menghilang seketika—beruntung tidak ada orang lain di dalam sana.
Di depan salah satu wastafel, terlihat sosok Aira sedang membungkuk sambil mencengkeram erat kedua pinggiran wastafel itu—tubuhnya bergetar hebat setiap kali rasa mual kena naik dari dalam perutnya.
Suara muntahan bercampur dengan hembusan napas terengah-engah terdengar sangat jelas, memantul di antara dinding keramik yang dingin, menciptakan gema yang membuat ruangan itu terasa semakin sesak.
Aira memejamkan mata, berharap rasa pusing yang sejak tadi menyerang dirinya mulai mereda. Keringat dingin mengalir pelan di sepanjang pelipisnya, sementara tangan kirinya berusaha menekan dada—seolah itu bisa membantu meredakan sensasi sesak yang begitu sangat menyiksa.
“Ya Tuhan … tolong hamba … hamba benar-benar nggak kuat lagi …,” gumam Aira dengan suara begitu sangat lemas, sembari secara perlahan-lahan menyandarkan punggung ke dinding ruangan saat rasa mualnya secara perlahan-lahan mulai menghilang. Ia menundukkan kepala, menatap perut rampingnya, sebelum memberikan elusan lembut di sana, “Sayangnya Mama … tolong jangan kayak gini. Mama harus kerja buat bisa jagain kamu … Jadi, tolong … jangan bikin Mama jadi susah.”
Setelah menggumamkan akan hal itu, Aira mengangkat kepala, menatap langit-langit ruangan toilet dengan mata indahnya sudah sangat berkaca-kaca.
Detik demi detik berlalu, Aira berusaha menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, sebelum dengan gerakan pelan dan penuh kehati-hatian mulai menegakkan tubuh—mencoba untuk berdiri dengan sisa-sisa tenaganya yang masih ada.
Aira menatap pantulan dirinya di dalam kaca cermin, menutup mata sejenak dan kembali mengembuskan napas, sebelum memutuskan untuk melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan toilet dengan begitu sangat gontai.
Begitu menginjakkan kaki di koridor gedung utama universitas, rasa pusing kembali menyerang kepala Aira, membuat perempuan berparas cantik itu sontak meringis kesakitan. Namun, ia berusaha untuk tetap kuat, dan mulai melanjutkan perjalanannya menuju ruangan kelas berada.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena pelan-pelan Aira mulai kehilangan keseimbangan dan kesadaran karena tubuhnya sudah tidak lagi kuat untuk menjalankan tugas milik masing-masing.
Beruntung, Azka yang sejak tadi sedang mengamati Aira bergerak dengan sangat cepat, membawa tubuh dosennya itu masuk ke dalam pelukannya dengan wajah berubah dipenuhi oleh kekhawatiran sangat luar biasa.
Tubuh Aira terkulai begitu saja di dalam pelukan Azka, membuat napas cowok itu spontan langsung tercekat.
Kedua lengan Azka secara otomatis merengkuh pinggang dan punggung sang dosen—seolah-olah refleks alami tubuhnya memang ditakdirkan untuk menangkap Aira pada saat-saat paling genting seperti sekarang ini.
“Ibu! Ibu Aira … Hei … Hei, bangun …,” panggil Azka dengan suara bergetar hebat, jauh lebih panik daripada yang pernah dirinya rasakan sebelumnya. Pupil matanya sontak berubah menjadi kecil saat melihat betapa lemasnya tubuh Aira—bahkan napasnya pun terdengar terputus-putus, seolah sedang berjuang keras untuk sekadar bertahan saja.
Azka menurunkan posisi tubuhnya, lalu menepuk pelan kedua pipi putih milik Aira dengan tangan yang sudah sangat bergetar. “Ibu … buka mata, please … jangan kayak gini ….”
Akan tetapi, Aira tidak juga merespon. Kedua mata indahnya tetap tertutup dengan sangat rapat, bulu matanya sedikit gemetar, dan wajahnya tampak pucak—lebih pucat daripada saat berada di dalam kelas tadi.
“Sial!” Azka mengumpat sambil mengencangkan pelukannya. Ia dengan sangat cepat mengalihkan pandangan ke arah sekeliling—mematikan tidak ada mahasiswa atau mahasiswi lain yang sedang melihat dirinya bersama Aira.
Setelah memastikan keadaan aman, Azka sesegera mungkin membungkukkan badan, lantas mengangkat tubuh Aira dengan ala bridal style. Walaupun tubuh perempuan itu sangat ringan, tetapi beratnya seolah-olah menekan seluruh dada Azka, membuat napasnya terasa sesak oleh rasa takut yang bahkan tidak bisa dirinya jelaskan dengan kata-kata semata.
“Kenapa harus sekarang … kenapa harus separah ini?” gumam Azka, sembari mempercepat langkah kakinya.
Azka membawa Aira menuju tempat lift berada, lantas menekan tombol berulang kali seolah itu bisa membuat pintu terbuka lebih cepat daripada biasanya. Detik rasa seperti menit, jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya, sangat keras—hingga hampir terasa sangat menyakitkan.
Begitu pintu lift terbuka, Azka segera masuk dan menahan tubuh Aira lebih erat. Kepala Aira bersandar pada bahunya, membuat aroma lembut shampo milik perempuan berparas cantik itu memenuhi indera penciumannya—aroma yang biasanya membuatnya menjadi sangat tenang, kini justru membuat hatinya semakin bertambah kacau.
Setibanya di lantai bawah gedung utama, Azka segera berlari kecil menuju parkiran belakang tempat mobilnya berada. Keringat mulai muncul di pelipisnya, bukan karena kelelahan, tetapi karena ketakutan yang semakin menyesakkan.
Begitu tiba di mobilnya, Azka membuka pintu belakang dan dengan hati-hati membaringkan Aira di kursi—memastikan kepala dan tubuh perempuan berparas cantik itu berada pada posisi yang paling aman dan nyaman.
“Ibu … tolong buka mata,” ucap Azka dengan begitu sangat lirih, suaranya terdengar bergetar hebat. Ia menggenggam tangan Aira—erat, sangat erat—lebih erat dari genggaman siapa pun yang pernah ia lakukan dalam hidupnya, “Aku mohon … jangan kayak gini, Bu … aku benar-benar mohon.”
Aira masih belum juga sadar, seakan semua hal yang Azka katakan hanyalah sia-sia dan membuang tenaga.
Azka menelan air liur dengan sangat susah payah, lalu segera keluar dan masuk ke kursi kemudi. Tangannya bergetar saat menyalakan mesin mobil.
“Aku bawa Ibu ke rumah sakit … sekarang,” ucap Azka, sebelum menekan pedal gas sekuat mungkin.
Begitu mobil melaju keluar dari area parkir, suara deru mesin terdengar lebih keras dari biasanya—seolah mencerminkan kepanikan yang sedang menguasai seluruh tubuh Azka.
Jari-jemari cowok itu mencengkeram setir dengan sangat kuat, tetapi tatapannya terus-menerus berpindah ke arah kaca spion tengah, memastikan bahwa Aira masih berada di sana, masih bernapas, dan masih hidup.
Setiap detik terasa seperti ancaman. Setiap hentakan mobil di jalanan membuat jantung Azka kembali naik turun dengan ritme yang kacau.
“Ibu … tahan sedikit lagi. Kita hampir sampai …,” ucap Azka dengan begitu sangat lirih, meski ia sendiri tidak yakin apakah Aira bisa mendengarnya atau tidak.
Lampu merah menyala. Azka menggigit bibir bawahnya sangat keras—nyaris berdarah. Tak ada waktu untuk menunggu. Dengan keberanian yang didorong rasa putus asa, ia menerobos lampu merah itu, membuat beberapa kendaraan membunyikan klakson dengan sangat keras.
Akan tetapi, Azka tidak peduli sama sekali dengan hal itu, lantaran fokusnya kini hanyalah satu, yaitu membawa Aira secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat.
Satu-satunya perempuan yang—entah sejak kapan—menjadi pusat dari seluruh pikirannya.
Dan sekarang, perempuan itu sedang berjuang antara sadar dan tidak di dalam mobilnya.
Saat mobil memasuki halaman rumah sakit, Azka hampir melompat keluar sebelum kendaraan itu berhenti sepenuhnya.
“Ibu … bertahanlah. Kumohon …,” bisik Azka, hampir seperti doa.
Setelah membisikan akan hal itu, Azka segera turun dari atas mobil, mengangkat Aira dari kursi belakang dan segera berlari menuju pintu ruangan IGD berada—sembari di dalam hati terus-menerus memanjatkan doa agar perempuan berparas cantik itu baik-baik saja.