Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Ketakutan Nadia
Roy berdiri di balik meja bar, mengelap gelas satu per satu dengan gerakan mantap. Tidak ada lagi aroma alkohol yang melekat di tubuhnya, tidak ada lagi tatapan kosong yang dulu menghantuinya beberapa malan terakhir. Sejak tahu kebenaran tentang kehamilan Nadia—bahwa anak itu adalah darah dagingnya—Roy serasa dipaksa dunia untuk bangun dari keterpurukan yang selama ini
Akhir-akhir ini dia tidak menyentuh minuman beralkohol. Teman-temannya di club sempat terkejut, namun Roy hanya tersenyum, “Gue harus sadar. Demi dia dan anak gue.”
Setiap kali dia berkata begitu, ada bara hangat yang menyala pelan di dadanya. Bara yang dulu padam setelah Nadia menikah, setelah hidupnya runtuh dalam satu malam. Tapi kini, bara itu tumbuh menjadi tekad.
Setiap selesai shift, Roy tidak lagi pulang dengan langkah sempoyongan. Dia memilih duduk di bangku dekat jendela club, membuka catatan kecil yang berisi rencana pulangnya ke Jakarta. Tiket, akomodasi, waktu yang tepat, semua ia susun dengan hati-hati. Tangannya bergetar ketika menuliskan catatan itu, bukan karena gugup, tapi karena semangat yang mendidih.
Dia tahu kedatangannya akan menimbulkan badai. Dia tahu akan berhadapan dengan Rizal, suami Nadia yang mapan. Dia tahu posisinya—lelaki yang datang membawa kebenaran pahit. Tapi Roy tidak peduli.
"Gue harus bilang yang sebenarnya.” Gumamnya lirih, seraya menatap pantulan dirinya di kaca. Mata itu—yang kemarin-kemarin selalu merah oleh alkohol—kini tampak jernih. Ada ketegasan yang baru.
Ia mengingat wajah Nadia saat mereka terakhir kali bicara tentang masa depan yang ingin dia gapai. Ada ketakutan, ada kebingungan, ada sekat besar yang Nadia pakai untuk menjauh darinya. Namun saat itu Roy gak tahu apa ang terjadi padanya. Lagian di antara mereka memang tidakk memiliki komitmen apapun. Namun, di balik itu semua, Roy yakin Nadia tidak pernah benar-benar membencinya. Tidak mungkin. Tidak setelah apa yang pernah mereka bagi.
"Lu tenang aja, Nad…” bisiknya, seolah gadis itu ada di hadapannya. “Gue bakal pulang. Gue bakal ada buat lu dan anak kita.”
Di club, manager-nya, seorang pria paruh baya bernama Lucas, menepuk bahunya pelan.
"Roy, kamu lebih hidup sekarang. Ingat setelah kembali ke negerimu, kamu harus lebih baik lagi.” Komentar Lucas.
Roy mengangguk. “Iya Pak, saya punya alasan buat berubah.”
Lucas tersenyum samar, seakan memahami lebih dari yang diucapkan Roy. “Kejar dia, kalau itu yang membuatmu jadi lebih baik.”
Dan Roy tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Senyum yang bukan dipaksa, bukan ditutupi minuman keras, tapi lahir dari harapan baru.
Malam itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Roy berjalan keluar club dengan langkah mantap. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang menjerat kakinya. Yang ada hanya satu tekad besar yang menuntunnya pulang: menyusul Nadia, mengakui kebenaran, dan memperjuangkan darah dagingnya sendiri.
Walaupun dia tahu Nadia sudah menjadi istri orang lain, Roy tetap memilih untuk berjuang. Karena kali ini, dia tidak hanya berjuang untuk cinta—tapi untuk anak yang sedang tumbuh dalam rahim perempuan yang paling dia sayangi.
***
Rizal bangun setiap pagi dengan senyum yang sulit dia sembunyikan. Sejak menikahi Nadia, hidupnya terasa seperti potongan mimpi yang akhirnya menjadi nyata. Dia menyiapkan sarapan sederhana, memanggil-manggil nama istrinya dengan nada ceria, dan selalu menyelipkan kecupan singkat di kening Nadia sebelum berangkat kerja.
"Sayang, nanti malam kita makan di luar, aku ingin merayakan sebulan pernikahan kita."
Nadia tersentak kecil setiap kali mendengar kalimat penuh kasih itu. Ia membalas dengan senyum tipis, tapi gugupnya tak pernah benar-benar hilang.
"Iya boleh Mas.” jawabnya pelan.
"Enaknya makan di mana ya?" Rizal menatap istrinya mesra.
"Terserah Mas aja. Mas pasti lebih tahu tempat yang bagus untuk kita dibandingkan aku."
"Oke deh kalau gitu."
"O ya Nad, kapan ya kita ngasih tahu keluarga kalau kamu sudah ngisi?"
"Terserah Mas aja. Aku ikutan."
"Lho, dari tadi terserah melulu?"
"Aku lagi malas mikir, Mas. Mungkin bawaan bayi ini." Nadia berkata sambil mengusap perutnya yang masih rata.
Rizal tidak pernah curiga perubahan pada diri Nadia. Da hanya mengira istrinya lelah karena pekerjaan barunya di Jakarta. Bahkan dia bangga melihat Nadia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang sibuk.
Namun yang Rizal lihat hanyalah permukaan.
Di balik itu, Nadia hidup dalam ketakutan yang menjerat setiap napasnya.
Setiap kali ponselnya berbunyi, Nadia langsung tegang. Setiap notifikasi membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dia selalu takut itu adalah Roy—Roy yang dia tahu sedang terluka, karena pernikahannya.
Tapi ada yang membuat dia agak tenang, Roy tidak tahu kebenarannya, Roy tidak tahu kalau dia mengandung anaknya. Dia hanya berharap Roy tidak nekad ke Jakarta dan menceritakan hubungannya saat sedang jauh dari Rizal. Bagaimanapun Rizal adalah kekasihnya, walaupun Nadia tidak benar-benar mencintainya. Selama ini Rizal menganggap dirinya setia, padahal saat jauh dari Rizal, dia sering bersenang-senang dengan lawan jenis. Dan Roy adalah salah satunya. Bahkan Roy-lah yang akhirnya selalu membersamainya selama dia kuliah di Canada.
Di kantor tempatnya bekerja, Nadia tampak seperti bayangan dirinya yang dulu. Rekan-rekan kerjanya mengira dia hanya sedang beradaptasi. Tapi tidak ada yang tahu bahwa setiap langkah Nadia menuju lift selalu diiringi rasa waswas—seolah Roy bisa tiba-tiba berdiri di sana.
Tangan Nadia sering gemetar saat membuka pintu ruang kerjanya. Dia tak lagi fokus pada dokumen, pikirannya kacau. Bayangan Roy datang menemui Rizal terus menghantui benaknya.
Bagaimana kalau Roy benar-benar muncul dan mengatakan semuanya?
Bagaimana kalau Rizal tahu bahwa anak di dalam kandungannya bukan anaknya?
Bagaimana kalau semua ini berakhir lebih buruk dari yang dia bayangkan?
Di rumah, Rizal sibuk bercerita tentang rencana masa depan mereka—rumah yang lebih luas, tempat tidur bayi, bahkan dia sudah menyiapkan tabungan pendidikan.
"Kalau ini anak perempuan, aku mau dia mirip kamu. Kalau laki-laki, semoga dia dapat sifat sabarku,” Canda Rizal sambil menatap Nadia penuh cinta.
Nadia tersenyum, tapi air matanya hampir jatuh.
Ia menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya.
"Mas, aku ke kamar mandi dulu,” Katanya lirih.
Begitu pintu tertutup, Nadia bersandar pada dinding, kedua tangannya menutup wajah. Tubuhnya bergetar hebat, bukan karena lelah, tapi karena rasa bersalah yang menumpuk seperti beban di dadanya. Dia gak mengerti, mengapa semua perasaan itu hinggap di dadanya. Dulu, dia begitu mantap memilih Rizal menjadi ayah dari anak yang di kandungnya. Padahal, dia tahu persis, itu adalah anaknya Roy.
Rizal tidak tahu apa-apa. Ia bahagia—sangat bahagia—dan itu justru menyiksa Nadia.
Di antara cinta Rizal, kebohongan besar, dan bayang-bayang Roy yang semakin dekat, Nadia merasa dirinya seolah berjalan di ujung jurang.
Satu langkah salah saja, semuanya bisa runtuh.
Belum lagi dia harus ngarang cerita kalau dia sudah hamil kepada keluarganya. Padahal di sudah hamil sejak pulang dari Canada dulu. Semua itu benar-benar membuatnya lelah.