NovelToon NovelToon
Bound By Capital Chains

Bound By Capital Chains

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Obsesi / Percintaan Konglomerat
Popularitas:892
Nilai: 5
Nama Author: hellosi

Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.

Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.

​Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.

***

​"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.

"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"

​"Aku datang untukmu, Kak."

"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.

​Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.

​"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.

"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."

​"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.

"Aku aset yang tidak patuh."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Di sekolah, saat memasuki kelas, Helena bertanya pada Reyhan.

"Reyhan, bagaimana tangan Kak Aiden? Apa sudah lebih baik?" tanyanya penasaran.

Reyhan menatapnya bingung.

"Memangnya kenapa tangan Kak Aiden?"

Helena kembali menjawab dengan malas. "Tidak, bukan apa-apa."

Dia tidak ingin menjelaskan. Helena takut dianggap usil, dan dia juga tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.

Mungkin karena mereka sekutu, dia terus memikirkan luka itu.

Pada jam istirahat, Helena mencari Aiden. Entah kenapa, luka itu terus memenuhi pikirannya.

Darah yang mengucur membasahi bunga di taman kemarin, serta sikap acuh tak acuh Aiden pada dirinya sendiri, membuat Helena khawatir jika luka itu tidak terawat baik.

Helena mendatangi kelas Aiden yang berada di lantai atas. Dia melihat pria itu duduk menyendiri dengan sebuah buku di tangannya. Tanpa pikir panjang, dia masuk dan duduk di samping Aiden.

Menyadari kehadiran seseorang, Aiden menoleh, mendapati Helena yang tersenyum canggung.

Helena dan Aiden seolah berada di dunia mereka sendiri, mengabaikan tatapan penasaran yang mengarah pada mereka berdua.

"Ada apa?" tanya Aiden.

Helena bingung, gengsi untuk menanyakan luka itu tiba-tiba. Dia melihat ke sekeliling, mencoba mencari topik lain.

"Kau tidak makan Kak?" tanya Helena.

Aiden tersenyum tipis, matanya menatap ke arah Helena.

"Aku tidak lapar," jawabnya.

"Ada apa?" tanyanya lagi.

"Lukamu, Kak, bagaimana?" tanyanya, membuat Aiden sedikit terkejut.

"Lebih baik," jawabnya singkat, membuat Helena tidak puas.

"Kau sudah mengoleskan ulang obat dan mengganti perbannya kan?" tanyanya lagi, memastikan.

Senyum Aiden melembut.

"Ya, semalam."

Tanpa sadar, Helena menghela napas lega. Adegan itu terlihat jelas oleh Aiden.

"Baiklah, aku pergi. Maaf mengganggu waktumu, Kak," ucapnya.

Helena bangun, ingin melarikan diri, namun Aiden memegang tangannya, menghentikannya.

"Aku berubah pikiran, aku lapar," ucapnya.

"Temani Aku makan."

Aiden menarik tangan Helena keluar dari kelas. Setelah mereka keluar, kelas yang tadinya hening menjadi ricuh.

"Ya Tuhan, Aiden ternyata bisa se-agresif itu!" seru seorang siswi.

"Kapan terakhir kali dia makan di kantin?" tanya siswi lain, matanya tak percaya.

"Gadis itu... Helena Nelson, dia benar-benar berhasil mengubahnya."

***

Sesampainya di kantin, Aiden dan Helena memilih meja di sudut ruangan.

Mereka duduk dalam diam, menghindari tatapan penasaran yang mengikuti setiap langkah mereka.

Tanpa sepatah kata, Aiden mengulurkan lengannya yang diperban. Helena menatapnya, bingung.

​"Bukankah kau mengkhawatirkan ini?" tanya Aiden, suaranya pelan.

"Kau bisa melihatnya dengan tenang."

​Wajah Helena memerah karena malu, tapi dia berusaha bersikap biasa saja. Dia mengangguk dan mulai memeriksa perban itu dengan saksama.

Jemarinya bergerak lembut, takut menyentuh luka Aiden. Dia memeriksa setiap sudut, memastikan tidak ada yang salah.

​"Maaf, Kak," bisik Helena, merasa bersalah. "Aku hanya..."

​Sebelum Helena menyelesaikan kalimatnya, Aiden tersenyum hangat.

Senyum itu, di wajahnya yang tampan, terasa seperti bencana. Itu adalah senyum yang tulus, tidak ada kepalsuan di dalamnya.

​"Terima kasih," ucap Aiden, suaranya lembut.

"Kau satu-satunya yang mengkhawatirkan luka kecil ini."

Helena mengangkat wajahnya, menatap mata Aiden.

Di sana, dia melihat kekosongan yang tak terucap, sebuah kesepian yang dalam.

Helena menyadari, di balik topeng sempurna yang dibuat Aiden, ada seorang anak laki-laki yang terluka.

Helena tersenyum lembut, senyum yang tidak pernah dia tunjukkan pada orang lain.

"Luka kecil ini mungkin akan sembuh cepat," katanya lembut.

"Tapi semoga, luka lain bisa perlahan sembuh juga."

Aiden terdiam.

Helena tidak berbicara tentang luka di tangannya, dia berbicara tentang luka di hati Aiden, luka yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun.

Namun, Helena melihatnya. Dia melihat kerapuhan yang tidak seorang pun, bahkan Henhard atau Reyhan, pernah ketahui.

***

Hawa musim dingin menyelimuti kota, membawa serta semangat perayaan tahun baru.

Di kediaman Nelson, suasananya terasa hangat dan riuh. Aroma kue jahe dan mulled wine memenuhi udara.

Fedrick dan Calista sibuk mendekorasi rumah, tawa mereka terdengar lepas.

Bagi mereka, malam tahun baru adalah perayaan kebersamaan, momen untuk merayakan cinta dan keluarga yang mereka bangun.

Di sisi lain, kediaman Aliston terasa sedingin hari-hari biasa, hanya ada keheningan yang menyesakkan.

Henhard, sang kepala keluarga, tentu saja tidak ada. Dia masih berada di puncak kejayaannya, terlalu sibuk mengejar kesenangan dan kekuasaan untuk peduli pada kehangatan keluarga.

Malam tahun baru baginya hanyalah tanggal di kalender.

Aiden dan Reyhan berada di kamar mereka masing-masing. Keduanya sudah terbiasa dengan kesepian ini.

Perayaan yang spesial tidak pernah ada. Mereka tidak mengharapkan apa-apa.

Helena, yang melihat keramaian rumahnya, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Dia memikirkan Aiden dan Reyhan, yang selalu terjebak dalam kesunyian.

"Helena, kau bukan orang suci" gumamnya pada diri sendiri.

Helena biasanya selalu bersikap tidak peduli dan perhitungan. Tapi tatapan kosong yang selalu dia lihat dari mata kedua Aliston bersaudara itu membuatnya merasa tidak tenang.

Entah kenapa, Helena ingin mereka merasakan sedikit cahaya, tidak membiarkan mereka sendirian setidaknya malam ini.

Sore itu, Helena pergi menuju kediaman Aliston dengan terburu-buru.

Di sana, dia langsung menuju kamar Reyhan. Dia mengetuk dengan ragu, berpikir dalam hatinya,

Aku benar-benar gila.

Suara ketukan itu tentu saja membuat Reyhan terganggu. Saat melihat orang yang mengetuk adalah Helena, ekspresi terkejut muncul di wajahnya.

"Mengapa kau di sini?" tanyanya.

Helena tertawa canggung. "Maaf, tapi..." Helena berpikir keras, mencari alasan yang masuk akal.

"Ayahku mengundangmu merayakan tahun baru di rumah."

​Reyhan menatap Helena dengan mata menyipit.

"Undangan tiba-tiba dari Ayahmu? Aku rasa itu kebohongan, Nona Nelson."

Reyhan tersenyum, menunjukan kehangatan di matanya.

"Tapi aku akan ikut, karena aku tahu kau yang mengundangku, bukan Ayahmu."

Setelah berhasil meyakinkan Reyhan, Helena berdiri di depan pintu kamar Aiden.

Keraguan menyelimutinya.

'Sepertinya Kak Aiden baik-baik saja. Dia suka menyendiri, jadi mungkin lebih baik tidak mengganggunya,' pikir Helena, berusaha membohongi hati nuraninya.

​Saat dia akan berbalik pergi, pintu itu tiba-tiba terbuka.

Aiden berdiri di sana, tidak terkejut sedikit pun, tetapi tatapannya lebih intens dari biasanya.

​"Mengapa tidak mengetuk?" tanya Aiden, nadanya terdengar lebih seperti tuntutan yang sudah lama tertahan daripada teguran.

​Helena tertawa canggung.

"Papah mengundang Kak Aiden dan Reyhan untuk merayakan tahun baru di rumah, tapi jika kamu sibuk, tidak usah dipikirkan," ucap Helena menjelaskan, suaranya dipenuhi keraguan.

​Aiden hanya menatap Helena. Dia tahu gadis itu berbohong.

Dia sudah melihatnya berdebat dengan hati nuraninya di taman melalui layar monitor.

"Aku akan bersiap," jawab Aiden, suaranya tenang seperti biasa.

"Aku sudah menunggu," tambahnya, kalimat itu nyaris tak terdengar.

Helena tersenyum lega. Dia tahu, dia telah melakukan hal yang benar.

Helena tidak bisa meninggalkan kedua bersaudara itu sendirian di malam yang dingin itu.

Helena tahu, di balik topeng yang mereka kenakan, mereka juga menginginkan kehangatan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!