Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindiran Yang Lebih Tajam Dari Teguran (Bagian 2)
Sudah 3 menit aku memandangi layar tanpa benar-benar tahu apa yang aku lihat.
“Enemy AI-nya stuck. Coba jalanin ulang dari awal battle scene.”
Suara Felix muncul di belakangku. Datar. Tapi cukup dekat untuk bikin aku tersentak.
“O-oh. Iya, Lix. Sorry…”
Tanganku cepat-cepat bergerak, seolah semua baik-baik saja. Padahal…tidak.
Felix berdiri diam beberapa detik. Lalu tiba-tiba, dia menarik kursi dan duduk disebelahku.
‘Dia… terlalu sering mendekat tiba-tiba, apa ini cara nunjukin kalau dia nyaman?’ pikirku sambil melirik dia dari sudut mataku.
“Lo ngulang script test scene ini tiga kali tapi tetap lupa report bug-nya. Biasanya lo lebih teliti dari gue.”
Aku menoleh pelan. Matanya menatap layar—tapi aku tahu, fokusnya bukan di bug-nya.
“Lo… kenapa?”
Suara itu pelan. Tapi jujur. Dan untuk pertama kalinya, nada dingin Felix terdengar…peduli.
Dan itu hampir membuat air mataku jatuh. Aku baik-baik saja selama tidak ada yang bertanya. Tapi pertahananku akan hancur jika ada satu saja yang ngasih perhatian, bahkan jika kata-kata itu hanya ‘lo kenapa?’ atau ‘lo baik-baik aja?’.
Aku menghela nafas. Lalu menjawab dengan senyum tipis yang hancur di ujung.
“Cuma lagi banyak pikiran, Lix. Tapi gak papa. Testing tetap jalan.”
“Yang gak papa, gak perlu bilang ‘gak papa’ tiga kali dalam lima menit.”
“Gue gak bilang tiga—.”
Dia menatapku sekarang.
“Meisya.”
Nada panggilannya bukan nada bos. Tapi…lebih personal. Penuh kode yang tidak bisa di ketik dalam bahasa pemograman mana pun.
Aku menunduk. Lalu bergumam pelan.
“Gue… benar-benar gak papa, Lix.”
“Gue cuma menghadapi hal yang mungkin semua orang pernah lewati.”
Felix diam. Tidak memotong. Tidak menyala. Dan justru itu yang bikin aku merasa aman.
“Gue cuma nggak ngerti manusia aja. Bahkan saat kita diam. Ada saja orang yang kesal, tapi mau gimana lagi. Toh kita selalu jahat di cerita orang lain.”
Felix masih diam. Lalu pelan-pelan, dia geser laptopku ke samping. Mengambil alih layar, membuka satu menu testing kecil.
“Lo tahu kenapa kita selalu test looping script AI sebelum launching?”
Aku menggeleng.
“Karena kalau gak, NPC bisa stuck di satu tempat. Jalan terus, tapi gak kemana-mana. Kayak lo sekarang.”
Aku nyengir. Sedikit.
“Jadi… gue NPC stuck?”
“Bukan. Lo player yang lagi bugged out. Butuh patch. Dan istirahat.”
“Patch-nya ada dimana, Lix?”
Felix diam sebentar. Lalu… senyum tipis, yang mungkin hanya muncul sekali seminggu.
“Mungkin…bisa dicoba debug bareng. Di luar kantor. Sekali-kali.”
Mataku membelalak.
‘Apakah ini ajakan ngedate canggung ala nerdtech?’
“Maksudnya?”
“Maksudnya…kalau lo terus nge-freeze gini, gue harus retest semua fitur dua kali. Itu menyebalkan.”
Tuh, kan. Judesnya balik. Tapi…aku tahu itu bentuk pedulinya.
Dan untuk pertama kalinya sejak minggu-minggu penuh luka itu…
Aku tersenyum. Beneran.
**
Sudah hampir dua minggu sejak Pak Darwis menyuruhku menyelesaikan masalah dengan Natasha dan tentu saja aku sudah mencobanya, tapi Natasha sama sekali tidak mau kompromi.
Dia malah makin menjadi-jadi dengan gengnya. Bahkan sindiran-sindiran dan bisik-bisik penuh ejekan semakin menggema di setiap sudut gedunng.
Dan yang lebih anehnya. Beberapa orang sebelumnya membisu…mulai bicara.
Bukan semua orang. Tapi cukup untuk membuatku tahu: ada scenario yang sedang berjalan di belakang ku.
Yang pertama adalah Mira, si “senior palsu” yang dulunya mendukung Natasha di balik layar, tapi kini mencoba tampil sebagai orang netral.
“Meisya,” katanya sambil membawa dua cup kopi instan dari pantry.
“Gue tahu belakangan ini lo pasti capek banget ya. Gue sih cuma mau bilang…kadang gak semua kerja keras itu harus dibuktikan sekarang. Mungkin…waktunya lo istirahat dulu?”
Aku menatapnya. Lalu menatap kopinya. Harusnya pahit, tapi entah kenapa justru terasa seperti racun halus.
“Istirahat maksud Mbak… resign?”
Mira buru-buru mmenggeleng sambil tersenyum palsu.
“Ya enggak gitu juga. Tapi… kadang kalau suasana kerja udah gak sehat, mungkin lebih baik kita yang mundur. Dari pada terus sakit sendiri.”
Aku hanya tersenyum. Lalu berkata pelan.
“Kalau luka ini karena orang lain tusuk dari belakang, kenapa gue yang harus pakai perban?”
Dia terdiam. Dan pergi dengan kopi keduanya masih utuh.
Beberapa jam kemudian, giliran Rizky. Pria Finance dengan reputasi “kaki dua”—ramah di depan siapa pun, tapi selalu tahu angin sedang berhembus dari arah mana.
“Meisya, ngobrol bentar, yuk. Di balkon aja, enak.”
Kami berdiri disisi gedung, melihat parkiran kosong dan langit yang mulai keruh.
“Gue tahu lo orangnya kuat. Tapi…kalua terus kayak gini, lo bisa habis sendiri lho. Gue cuma takut lo burnout. Mungkin lo bisa pertimbangin untuk cuti panjang atau…ya, break sejenak.”
“Break?” aku menyipitkan mata.
“Atau mundur?”
“Gue gak bilang gitu. Tapi…semua orang juga tahu lo sekarang di tengah pusaran. Lo pikir kenapa gak ada yang dukung lo terang-terangan?”
Aku menarik nafas panjang. Lalu menatap dia, penuh ketidak percayaan. Kemudian tersenyum kecil. Senyum mengejek.
“Karena mereka takut di kucilkan kayak gue. Dan lo? Lo datang ke sini bukan buat bantu gue. Lo datang buat memastikan gue pergi diam-diam, biar lo semua nyaman.”
“Meisya, lo salah paham—.”
“Gue gak salah. Yang salah adalah orang-orang yang lebih nyaman melihat gue pergi… daripada melihat gue membuktikan kalau gue layak disini.” Potongku cepat.
Dia terdiam. Aku pun kembali ke meja kerja. Tanpa pamit. Tanpa senyum yang biasanya.
Sore itu, aku duduk sendirian seperti biasa. Tapi kali ini ada sesuatu yang baru: tekad.
Aku tahu aku tidak bersalah.
Aku tahu aku bekerja dengan cara yang bersih.
Dan aku tahu, kalau aku pergi sekarang, aku bukan hanya kehilangan pekerjaan—aku kehilangan harga diriku sendiri.
‘Mereka ingin gue diam. Mereka ingin gue kalah. Tapi gue akan tetap duduk di kursi ini. Karena gue tahu, bukan gue masalahnya. Gue hanya cermin…yang memantulkan siapa sebenarnya yang tidak tahan melihat kebenaran bekerja lebih keras dari suara mereka.’
Aku menyeret kakiku keluar dari gedung perusahaan yang sudah sepi. Hujan turun deras sore itu.
Jalanan depan halte busway kosong. Hari ini aku tidak punya jadwal beta testing. Jadi aku hanya ingin cepat sampai dirumah. Tapi sepertinya cuaca juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Hujan makin mengguyur. Kendaraan lalu-lalang hanya sisa-sisa. Aku jongkok di pojok halte. Menatap air yang terus berjatuhan. Semakin lama, air mata mulai mengalir di pipiku.
Tanganku menutupi wajah, bukan karena malu, tapi karena sudah terlalu lelah untuk terlihat baik-baik saja.
Orang-orang bilang, “Yang kuat gak pernah menangis di tempat umum.”
Tapi…siapa yang peduli? Bahkan aku sudah tidak peduli dengan citra apapun. Aku menggeser tubuhku ke bagian halte yang tidak ada atapnya. Membiarkan air hujan dan air mataku bercampur.
‘Mereka memintaku resign dengan gimmick perhatian?’
‘Luar biasa sekali. Hanya dengan tuduhan palsu saja bisa membuat hampir separuh gedung memusuhi ku?’
Aku kembali menatap air yang mengalir di ruas jalan. Badanku gemetar. Bukan karena dinginnya hujan. Tapi karena ketidakadilan ini rasanya jauh lebih menggigilkan daripada angin malam basah seperti ini.
Lalu…
Srek.
Ada suara pelan.
Dan tiba-tiba, cahaya berubah.
Bukan karena lampu. Tapi karena sesuatu—seseorang—menutupi hujan di atas kepalaku.
Aku mendongak pelan dengan mata yang sembab.
Felix.
Berdiri dihadapanku.
Payung besar hitam di tangannya menutupi tubuhku yang kedinginan dan berantakan.
Wajahnya tetap datar. Tapi matanya…bukan. Matanya tidak datar.
“Kalau lo kehujanan terus disini, gue harus coding ulang semua data testing sendiri besok.”
Suara itu pelan. Pelit konotasi. Terdengar gak berperasaan. Pelit intonasi. Tapi hangat.
Aku tercekat. Nafasku tersendat. Tapi tak bisa bicara.
Dia tidak meminta penjelasan. Tidak menyuruhku berhenti menangis. Tidak menyentuhku untuk menenangkan. Tapi dia berdiri di situ.
Tetap berdiri.
Menutupi aku yang remuk…dengan caranya yang kaku, tapi nyata.
“Gue… liat lo diseberang. Gue cuma lewat bukan sengaja.”
Aku masih diam.
“Gak usah ngomong. Tapi jangan duduk di sini sendirian.”
Dia melangkan setengah, menunduk, dan…mengulurkan tangannya.
“Lo mau pulang bareng…gue?”
Tanganku perlahan meraih uluran Felix. Dingin tapi stabil. Sama seperti orangnya.
Aku bangkit pelan, masih menunduk, masih mencoba menahan gemetar di ujung jari. Tapi baru satu langkah, dunia berputar.
Langit tiba-tiba jauh. Tanah terasa hilang.
“Lix… gue—.”
Dan semuanya… gelap.
**