Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar.
Pintu terbuka lebar, dan masuklah tiga orang pria berjas hitam bersama seorang pria tua yang membawa kitab suci serta dokumen pernikahan.
Sebastian menegang, matanya menyipit penuh amarah.
“Apa yang kalian lakukan?!” bentak Sebas.
Ia berusaha melepaskan diri dari ikatan di pergelangan tangan.
Natasya tersenyum licik, berdiri di samping ranjang.
“Tenang saja, sayang. Aku hanya ingin memastikan kamu menjadi milikku… secara sah.”
Pria tua itu membuka kitab di tangannya, sementara salah satu dari pria berjas menodongkan pistol ke arah Sebastian agar tak melawan.
“Natasya, ini sudah di luar batas,” desis Sebastian, suaranya dalam dan menahan emosi.
Namun Natasya hanya tersenyum lebar, matanya berkilat gila.
“Sekarang kamu resmi jadi suamiku, Sebastian. Tidak ada Amira, tidak ada siapa pun lagi dan hanya kita berdua.”
Upacara singkat itu berlangsung cepat, penuh tekanan.
Suara Natasya terdengar lantang saat mengucapkan janji palsu, sementara Sebastian hanya diam, menatapnya dengan pandangan penuh benci dan tekad yang membara.
Begitu selesai, Natasya bertepuk tangan pelan, lalu mendekat ke ranjang dan mengelus pipi Sebastian.
“Sudah sah, sayang. Sekarang ayo kita pulang ke rumahmu.”
Sebastian menatapnya tajam, giginya terkatup rapat.
“Kamu pikir ini akan membuatku mencintaimu?”
Natasya hanya tertawa kecil, mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinganya,
“Tidak perlu cinta, Bas. Cukup kamu di sisiku dan selamanya.”
Sementara itu, jauh dari sana, Amira duduk di ruang tamu rumah Vettel, wajahnya pucat dan matanya kosong, belum mengetahui bahwa suaminya sedang terperangkap dalam permainan gila penuh ambisi dan dendam.
Tengah malam itu sunyi, hanya suara jangkrik dan angin lembut yang menyentuh dedaunan.
Amira duduk di teras rumah, mengenakan sweater putih, matanya kosong menatap langit gelap tanpa bintang.
Sudah berjam-jam ia tidak bisa tidur, pikirannya masih dipenuhi rasa cemas tentang keberadaan Sebastian.
Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar di depan rumah.
Amira segera berdiri, jantungnya berdebar cepat saat melihat Sebastian keluar, tampak lemah dan linglung, tapi jelas itu dirinya.
Air mata Amira langsung mengalir. Ia berlari kecil, hendak memeluk suaminya.
Namun langkahnya terhenti saat pintu sisi lain terbuka.
Dari sana keluar Natasya, dengan wajah tersenyum puas, berdiri di samping Sebastian sambil menggenggam tangannya erat.
Amira terpaku. Pandangannya berpindah dari Natasya ke Sebastian pria yang kini tak berkata apa pun, hanya menunduk, wajahnya penuh kebingungan dan kelelahan.
Natasya melangkah maju, dengan senyum licik di bibirnya.
Tangannya mengangkat selembar surat bertanda cap resmi dan foto cincin pernikahan di bawahnya.
“Sekarang aku resmi menjadi istri Sebastian,” ucap Natasya dengan nada penuh kemenangan.
Lalu ia menatap Amira dengan sinis. “Dan kamu… kamu bisa jadi istri pertama kalau mau. Tapi terimalah kenyataannya, mulai hari ini Sebastian milikku juga.”
Suasana hening seketika.
Angin malam terasa lebih dingin, menusuk dada Amira yang gemetar menahan air mata.
Ia menatap Sebastian yang masih diam, seolah tak sanggup berkata apa pun.
Amira menghela napas panjang, menahan perih yang menyayat hatinya.
Perlahan ia melepas cincin dari jari manisnya cincin yang dulu disematkan Sebastian dengan janji cinta abadi.
Cincin itu ia genggam sejenak, lalu diletakkan di tangan Sebastian.
“Selamat berbahagia…” ucapnya lirih, suaranya pecah tapi tegas.
Ia menatap Sebastian untuk terakhir kali, senyum getir terlukis di wajahnya.
Lalu tanpa menoleh lagi, Amira berbalik dan melangkah pergi meninggalkan halaman rumah meninggalkan cinta yang dulu ia yakini tak akan pernah hancur.
Sebastian hanya berdiri membisu, menatap punggung Amira yang menjauh dalam gelap malam, sementara Natasya tersenyum puas di sampingnya, mengira dirinya telah menang.
Teriakan keras menggema di halaman rumah.
Casandra berdiri tegap di depan pintu, wajahnya penuh amarah dan matanya menatap tajam ke arah Natasya.
PLAAAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Natasya hingga membuat kepalanya menoleh ke samping.
“Aku tidak menerima perempuan sepertimu di keluarga ini!” bentak Casandra dengan suara bergetar karena emosi.
“Pergi dari rumahku sekarang juga sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!”
Natasya menatap Casandra dengan mata berkaca-kaca, tapi bukan karena penyesalan melainkan karena amarah dan ego yang terbakar.
“Baik,” ujarnya dengan senyum miring.
“Aku akan pergi, tapi dia juga ikut pergi denganku!”
Dengan cepat, Natasya menarik sesuatu dari tas tangannya pistol kecil berwarna hitam yang berkilat di bawah cahaya lampu teras.
“Kalau aku tidak bisa memilikinya, tidak ada yang bisa!” teriaknya histeris, lalu mengarahkan senjata ke dada Sebastian.
“Nat— cjangan!” teriak Sebastian spontan, matanya membesar.
DOR!
Suara tembakan memecah malam.
Semuanya membeku.
Casandra menjerit keras, sementara Sebastian menatap tak percaya saat melihat bukan dirinya yang roboh, melainkan Amira yang berdiri di belakangnya, kini terhuyung dan jatuh ke tanah.
“AMIRA!!”
Sebastian langsung berlari dan menangkap tubuh istrinya sebelum menyentuh lantai marmer.
Darah mulai membasahi gaun putih yang dikenakan Amira.
Natasya terpaku, wajahnya pucat seketika.
“Tidak… bukan dia… aku—aku tidak bermaksud—” gumamnya panik, pistol terjatuh dari tangannya.
Namun Sebastian sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi.
Ia menatap Natasya dengan mata merah menyala, penuh amarah dan duka yang bercampur menjadi satu.
“KAMU GILA!!!”
Dengan satu hantaman keras, Sebastian memukul Natasya hingga terjatuh.
Ia menarik kerah bajunya dan menghantamkannya lagi ke dinding.
Casandra dan Diko berusaha menahan Sebastian agar tidak kehilangan kendali.
“Bas! Sudah! Fokus ke Amira dulu!” teriak Diko sambil berlari menghampiri.
Diko kemudian menarik Natasya yang sudah tak berdaya dan menyeretnya ke arah mobil.
“Perempuan ini harus bayar atas semua perbuatannya,” ucap Diko dengan dingin.
Ia membuka pintu mobil dan mendorong Natasya masuk ke dalam dengan kasar.
“Bawa dia ke kantor polisi,” perintah Sebastian dengan suara berat, masih memeluk tubuh Amira yang kini lemah di pelukannya.
Casandra berlutut di samping putranya, air mata menetes deras.
“Bas, cepat bawa Amira ke rumah sakit, Nak. Dia butuh pertolongan sekarang.”
Sebastian mengguncang tubuh Amira pelan, matanya berkaca-kaca.
“Mira bertahanlah, sayang. Aku di sini…”
Dengan hati hancur dan tangan gemetar, Sebastian mengangkat tubuh Amira dan berlari ke mobil.
Ia segera melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Dokter dan perawat mendorong ranjang ke ruang operasi.
Lampu merah di depan ruang operasi masih menyala.
Suara langkah sepatu Sebastian terus bergema di koridor rumah sakit yang sunyi bolak-balik, tanpa henti.
Tangannya mengepal, wajahnya tegang, dan matanya nyaris tak berkedip menatap pintu bertuliskan “Operation Room.”
Casandra duduk di kursi tunggu dengan wajah pucat, menatap putranya yang tidak bisa diam sedetik pun.
Diko berdiri di sisi lain, berusaha menenangkan suasana meski dadanya sendiri terasa sesak.
Waktu terasa berjalan sangat lambat.
Detik demi detik seperti cambuk yang menyayat ketegangan.
Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka.
Seorang dokter keluar dengan wajah serius, masker masih menempel di dagunya.
Sebastian langsung menghampiri dengan langkah cepat.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya? Bagaimana Amira?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Dokter menarik napas panjang, menatap Sebastian penuh empati.
“Tenangkan diri dulu, Pak Sebastian,” ucapnya pelan.
“Istri Anda berhasil kami selamatkan.”
Casandra langsung menutup mulutnya, air mata jatuh karena lega.
“Namun,saya minta maaf. Kandungannya tidak bisa diselamatkan.”
Sebastian langsung terkejut ketika mendengar perkataan yang seperti petir dan menyambar jantungnya.
“Kandungan…?” suaranya hampir tak keluar.
Dokter mengangguk perlahan.
“Peluru mengenai bagian perut bawah, dan kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi janin di dalam kandungan Nyonya Amira tidak bertahan.”
Sebastian mundur selangkah, matanya kosong.
Tangannya bergetar hebat, lalu menutup wajahnya sendiri.
Tubuhnya terasa lemas, seluruh dunia seakan runtuh di sekelilingnya.
Casandra menatap anaknya dengan mata basah, lalu memeluk bahunya erat.
“Bas, Amira masih hidup, syukuri itu dulu. Tolong kuat sedikit untuk dia…”
Sebastian tidak menjawab.
Air matanya jatuh tanpa suara, menetes di lantai dingin rumah sakit itu.
Suara tangis tertahan memenuhi udara, menggantikan keheningan yang menyesakkan.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Sebastian akhirnya berbisik pelan, suaranya serak penuh luka:
“Anak kita, Ma. Anak kita meninggal dunia…”
Casandra memeluk tubuh putranya yang sedang menangis sesenggukan.
up'ny yg bnyk thor🙏💪