Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Arkan menatap curiga kepada Shindy, kenapa istrinya itu bisa kebetulan mengantar dirinya ke rumah sakit bersama Wiguna. Selama ini Arkan diam bukan berarti tidak tahu jika pak Gun mencintai Shindy.
Shindy menarik napas panjang, haruskah jujur tentang kedatangan pak Gun ke Jawa Timur? Jika iya, Shindy harus terima konsekuensinya, karena Arkan pasti marah. Tetapi jika tidak jujur, itu artinya Shindy menyimpan kebohongan.
"Shy..." Arkan bertanya untuk yang kedua kali, sudah tidak sabar menunggu jawaban, tapi Shindy justu termenung.
"Maaf Ar, sebenarnya aku ingin cerita, tapi belum sempat."
"Cerita tentang kisah kamu dengan Pak Gun kan?" Arkan tampak kecewa.
Marsel yang awalnya sudah ingin pulang pun kembali mendekati ranjang, pria itu rupanya keppo tingkat tinggi.
"Kisah apaan sih, Ar?" Sungut Shindy, dengan wajah merengut ia menceritakan 4 hari yang lalu. Setelah kecewa dengan Arkan, ia memutuskan untuk pulang ke Jawa Timur, selain menenangkan diri juga ingin Ziarah.
"Terus, kamu telepon Pak Gun minta diantar pulang ke Jawa Timur? Ngadu tentang masalah yang tidak pernah aku lakukan?" Arkan memotong. Menurutnya Shindy keterlaluan karena berani mengajak pria yang bukan siapa-siapa ke rumah almarhum nenek yang pernah Shindy ceritakan, padahal di rumah nenek Shindy tidak ada siapapun. Arkan membayangkan pak Gun menginap di rumah Shindy, padahal dia yang suaminya pun belum pernah datang ke sana.
"Dengar dulu apa Ar, aku kan belum selesai bicara," Shindy kesal juga karena Arkan menurutnya sok tahu. Aroma perselisihan pun kembali terjadi, padahal baru beberapa hari akur. Shindy pun diam, malas untuk melanjutkan cerita. Mengapa pula Arkan tidak percaya kepadanya.
"Terus..." tanya Arkan lagi.
"Malas!" Ketus Shindy melengos jengkel.
"Gue bukan mau ikut campur Ar, sebaiknya loe dengarkan dulu cerita Shindy" Marsel menengahi.
Arkan akhirnya diam mendengarkan cerita Shindy tentang kedatangan pak Gun pagi itu ketika Shindy sedang menyapu halaman. "Aku saja kaget kok, ketika pak Gun tiba-tiba datang ke rumah."
"Berapa hari Pak Gun di rumah kamu?" Arkan masih saja curiga.
"Berapa hari apa sih Ar? Memang aku di rumah berapa hari sih?!" Shindy meninggikan suaranya, ia paling tidak suka dituduh yang tidak-tidak. "Susah ya, ngomong sama kamu! Kalau sudah watak itu susah ternyata!"
"Lagian kamu menerima tamu laki-laki lain. Pak Gun itu suka sama kamu tahu tidak!" Arkan masih juga berani menjawab. Biar Pak Gun baik juga manusia biasa bisa saja berbuat yang tidak-tidak.
"Maksudnya saya harus usir Pak Wiguna gitu? Sungguh kejamnya, Pak Gun sudah datang jauh-jauh dari Jakarta tidak disambut dengan baik, lagi pula dia hanya diam di luar kok" jujur Shindy.
"Pak Gun masuk ke dalam rumah kamu juga siapa yang tahu, Shy" Arkan pernah mendengar cerita Shindy, jika di Jawa Timur sudah tidak punya siapapun itu artinya Shindy hanya tinggal sendiri.
"Sudahlah Ar, saya tidak mau ribut. Mau percaya syukur, tidak ya tidak apa-apa!" Shindy ambil tas yang berisi mukena kemudian keluar dari kamar. Melewati Marsel begitu saja tanpa berkata-kata.
Dengan wajah suntuk Shindy berjalan menuju mushala. Dia benar-benar kecewa, ia pikir Arkan sudah berubah, tapi masih juga sama. Shindy ternyata masih belum bisa memahami siapa Arkan.
Tiba di mushala sangat sepi, tidak ada orang satupun di tempat itu. Shindy ambil Sadjadah di lemari lalu menggelar di lantai berwarna putih. Shalat dhuha di mushala tersebut lebih baik bagi Shindy, daripada bertengkar yang tidak ada ujungnya.
Sementara itu di dalam ruang rawat, Marsel hanya geleng-geleng kepala menatap Arkan yang memejamkan mata. Kasih sayang Shindy beberapa hari di rumah sakit ini rupanya belum bisa membuka mata sahabatnya itu. "Loe bagaimana sih Ar, cemburu loe itu kelewatan tahu tidak!" Marsel duduk di kursi yang sudah Shindy tinggalkan.
"Diam loe, jangan menambah pusing kepala gue" Sungut Arkan dengan mata terpejam, satu tangan yang tidak sakit numpang di dahi.
"Ar, kalau loe tidak mau percaya istri sendiri, siap-siap kehilangan Shindy" Marsel mengingatkan sahabatnya itu, lalu beranjak pergi meninggalkan Arkan.
Arkan menarik napas panjang. Yang Marsel katakan memang benar. Seharusnya ia tidak boleh bersikap seperti itu. "Maaf Shindy" lirih Arkan, tapi di kamar itu sepi, hanya tinggal Arkan seorang diri.
Satu menit dua menit hingga satu jam sudah, Shindy belum juga kembali. Arkan bingung kemana perginya Shindy. Ia raba handphone miliknya yang tergeletak di kasur, kemudian telepon. Karena tidak diangkat, ia kirim pesan. Ceklis satu, jelas handphone Shindy sedang tidak aktif.
Arkan ambil handphone miliknya yang tergeletak di kasur, lalu menekan nomor telepon papa Alexander, ia pikir Shindy berada di kamar sebelah menemani sang mama.
"Ya Ar, apanya yang sakit?" Suara panik Alexander terdengar di telinga Arkan.
"Tidak pa, Shindy bersama Mama tidak?" Arkan yakin Shindy sedang curhat kepada Adisty.
"Tidak ada."
Arkan matikan handphone lalu menyeret bokongnya ke sisi tempat tidur, tangannya menggapai tas Shindy. Setelah berhasil, memeriksa tas tersebut ingin tahu apakah handphone Shindy berada di dalam. Ia ambil benda gepeng yang sudah tidak layak pakai untuk istri orang kaya sekelas Arkan.
"Ya ampun... handphone Shindy kan rusak" timbul rasa sesal di hati Arkan, mengapa pula ia tidak membelikan handphone Shindy. Bahkan, selama ini ia belum pernah menafkahi istrinya.
Arkan mengembalikan hape tersebut, tetapi tatapan matanya tertuju pada kotak yang masih bersegel.
"Shindy sudah membeli handphone yang baru? Handphone ini kan harganya selangit?" Arkan berbicara sendiri.
"Aku yakin, handphone ini Wiguna yang membelikan untuk Shindy. Kurang ajar" wajah Arkan yang mulai teduh pun kini memerah kembali.
...~Bersambung~...
laah dia nekaad, kenapa nda di kasih KOid ajaa siiih