Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Siapa ya?" Tanya Hesti terkejut, tidak menyangka rumahnya akan kehadiran pria tampan yang tidak dia kenal. Dia tidak tahu jika kedatangan Arkan mencari Shindy.
"Saya suami Shindy" Arkan mengenalkan diri.
"Oh suami Mbak Shindy... Di tunggu sebentar ya Kak..." Hesti berlari ke dalam rumahnya.
Arkan merasa lega karena ia pikir Hesti hendak memanggil Shindy. Tanpa ada yang menyuruh meletakkan bokongnya di kursi teras rumah.
Sementara Hesti memanggil bu Nani. "Buuu..." Gadis itu berseru, ingin segera bercerita jika suami Shindy datang.
Bu Nani yang sedang memasak pun kaget. "Ada apa to Nduk? Kok teriak-teriak sih..." ujar bu Nani yang sedang menyiangi sayuran menoleh cepat.
Hesti menceritakan jika suami Shindy datang, tapi hanya seorang diri.
"Sekarang kamu buatkan teh ya, biar Ibu temui dia dulu" titah bu Nani sembari mematikan kompor sebelum keluar. Bu Nani langsung saja menemui Arkan dan mengenalkan diri.
"Shindy kok tidak ikut?" Tanya bu Nani, sembari membuka pintu rumah Shindy karena Shindy menitipkan kunci kepadanya.
Deg.
Arkan kaget, pertanyaan bu Nani seperti itu sudah merupakan jawaban bahwa Shindy tidak pulang ke rumah ini.
"Pasti Shindy sedang hamil muda ya?" Bu Nani mengira begitu karena berdasarkan pengalaman, jika sedang hamil muda tidak boleh perjalanan jauh
"Tidak Bu, Shindy sedang sibuk menyelesaikan skripsi. Lagi pula saya datang kemari hanya mampir saja" Arkan terpaksa berbohong. Dia mengatakan jika hari ini sedang perjalanan bisnis ke Surabaya dan menyempatkan diri untuk singgah ke rumah nenek Shindy.
"Oh gitu... Masuk Nak" titah bu Nani.
Arkan berbincang-bincang dengan bu Nani tidak lama, hanya menghabiskan satu gelas teh kemudian kembali ke Jakarta. Ya, Arkan harus kecewa karena pulang dengan tangan kosong.
.
Masih di kota Jakarta, seorang wanita duduk di atas kasur kecil, di rumah kontrakan barunya. Matanya menatap kosong ke dinding. Dia masih saja memikirkan pertengkaran dengan Arkan empat hari yang lalu.
Ia adalah Shindy, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia yakin keputusan yang dipilih adalah tepat. Setidaknya membutuhkan ruang untuk berpikir dan menenangkan diri. Untuk sekarang, ia hanya fokus untuk diri sendiri dan belajar move on. Kontrakan kecil yang ia dapat dari tetangga Sani Art bude sedikit memberi ketenangan.
Shindy terpaksa ganti nomor handphone, dan hanya menyimpan nomor berapa orang yang ia anggap penting. Pak Gun dan dekan, Shindy masih butuh bantuan beliu sebelum wisuda. Sani dan Dila, dua orang itu adalah teman yang selalu membantunya selama ia lari dari rumah. Sani membantu mencarikan kontrakan yang sekarang Shindy tempati, sementara Dila memberi pekerjaan di kantor Tristan hari senin besok mulai masuk kerja.
"Kamu cocok bekerja di kantor suami aku Shindy" Kata Dila masih Shindy ingat. Shindy tentu saja senang karena saat ini memang membutuhkan pekerjaan untuk melanjutkan hidup. Empat orang yang menyimpan nomor Shindy sudah sepakat untuk merahasiakan dari Arkan atas permintaan Shindy.
Hingga tiba saatnya hari senin, Shindy duduk di depan komputer. Matanya memandang layar dengan penuh semangat. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai staf keuangan di kantor properti. Shindy mempersiapkan diri dengan baik dan berpakaian rapi. Hanya saja, Shindy merubah penampilan agar tidak dikenali orang-orang yang harus ia hindari.
Kaca mata tebal ia tinggalkan, kemudian sedikit bereksperimen dengan lensa kontak warna biru sangat cocok dengan kulitnya yang putih. Ia juga mulai memperhatikan penampilannya dengan sedikit memoles wajah hingga tampak cerah. Tentu penampilannya saat ini tidak mudah dikenali.
Shindy memperkenalkan diri kepada rekan-rekannya, semua ramah dan menyambutnya dengan baik. Bos nya yang tak lain adalah Tristan menjelaskan tugas-tugas dan arahan dengan jelas.
"Baik Tuan..." ucap Shindy. Wanita muda itu langsung bekerja mencatat transaksi keuangan dan memeriksa laporan keuangan. Baru pertama kali bekerja tentu sangat kwalahan, tapi karena senang dan tidak akan membuang kesempatan ini, Shindy bekerja sungguh-sungguh.
Begitulah, tidak terasa Sindy bekerja di tempat itu sudah berjalan seminggu. Dan tepatnya hari sabtu seperti karyawan yang lain, ia menerima uang transportasi dan uang makan yang diserahkan setiap seminggu sekali.
"Terima kasih ya Allah..." Shindy bersyukur atas karunia-Nya. Jika selalu begini ia bisa menabung. Shindy melipat amplop yang baru saja ia lihat isinya. Baru mendapat uang makan saja sudah bisa digunakan untuk kebutuhan selama seminggu.
Sore itu Shindy tiba di kontrakan, kemudian mandi. Sambil menunggu adzan magrib, ia rebahan di tempat tidur sambil telepon Dila. Shindy tentu saja mengucapkan terima kasih.
"Sama-sama Shindy... semoga kamu betah ya" jawab Dila di telepon.
"Tentu saja Kak" Shindy menutup handphone bersamaan adzan magrib berkumandang. Dia segera meninggalkan kerepotan dunia, mencoba untuk khusyu beribadah menghadap kiblat.
Deeerrtt... derrrtt... deeerrtt...
Ketika sedang melipat mukena, handphone Shindy yang tergeletak di tempat tidur bergetar. Shindy segera memeriksa siapa yang telepon.
"Assalamualaikum..." jawab Shindy ketika tahu Sani yang telepon. Shindy duduk di pinggir tempat tidur menunggu berita apa yang akan disampaikan Sani.
"Dek, bude kamu siang tadi sudah berangkat ke luar kota, malam ini bisa datang tidak?" Tanya Sani.
"Siap Mbak" Shindy bersemangat. Inilah kesempatan yang Shindy tunggu-tunggu selama beberapa bulan ini, ia menunggu kabar dari Sani untuk menyelidiki masalah tulang di dalam gudang yang ia temui di kardus berapa waktu yang lalu.
Shindy melepas piama lalu ganti kaos panjang dan rok panjang. Begitu kaos melekat di badan, ia merasa sedih. Kaos tersebut mama mertua yang membelikan. "Maafkan Shindy Ma" ucapnya dengan perasaan bersalah. Shindy boleh sakit hati kepada Arkan, tapi tidak untuk mertua. Jika sudah saatnya nanti Shindy akan menemui Adisty, tapi entah kapan. Shindy terpaksa ganti kaos yang lain, karena pernyamaranya tidak ingin diketahui.
Shindy keluar dari kontrakan menuju pangkalan ojek di pinggir jalan yang tidak jauh dari kontrakan.
"Kemana Dek?"
"Ke jalan raya palem nomor 12 Bang."
"Siap..." ojek pun membawa lari Shindy dengan motornya, tidak lama kemudian tiba di depan rumah bude.
"Dek Shindy bukan Sih?" Sani hampir tidak mengenali Shindy, karena lebih cantik.
"Mbak ini ada-ada saja" Shindy tersenyum. Mereka ngobrol sebentar tentang bude lalu bersama-sama ke gudang.
"Besok kalau bude tahu aku datang ke rumah ini pasti dimarahi" Shindy tiba-tiba khawatir karena di rumah ini banyak cctv.
"Tenang Dek, cctv sudah aku matikan" Sani rupanya cerdas juga.
Shindy merasa tenang lalu sama-sama melangkah ke dalam gudang. Ruang gelap itu seketika terang ketika Sani menyalakan lampu.
"Tapi saya tidak mau kalau disuruh membongkar kardus Dek" Sani memang takut, seandainya berani tidak harus menunggu Shindy.
"Tenang saja Mbak, biar aku saja yang membongkar" Shindy berjalan lebih dulu diikuti Sani. Dengan mengucap bismillah ia menurunkan barang-barang yang menindih kardus besar dan lebar.
"Aaagghhh..." Dua remaja berbeda usia itu berteriak bersamaan ketika Shindy mengangkat kerangka kepala manusia tampak giginya menyeringai.
...~Bersambung~...
"Ada selingan mumi bukan berarti melenceng ya, tapi memang bagian dari cerita selanjutnya. 🙏
.
Pembaca tidak disuguhi resolusi yang instan, melainkan dibawa menyelami perjalanan penuh luka yang dihadapi dengan keberanian untuk mengatasi kesalahan/trauma dimasa lalu.
Bukan hanya tentang percintaan, tetapi juga tentang proses perlahan dan menyakitkan menuju pengertian, penyembuhan luka batin, memaafkan masa lalu, dan menemukan kembali arti kepercayaan.
TETAP SEMANGAT... AUTHOR✨🌹
Sabar Iya Shindy