Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 21 Jalan Hidup Lulu
Halo para penikmat kisah, ini aku Lulu yang mengambil alih narasi.
Pertama-tama akan kudefinisikan, anak seperti apa aku ini.
Sejak kecil, aku tahu betul, aku adalah anak kesayangan Tuhan. Lahir sebagai satu-satunya anak dari orangtua yang amat mencintaiku. Wajahku cantik, mataku hijau—warisan dari Papa yang berdarah Jerman. Sejak kecil, ke mana pun aku melangkah, tatapan orang-orang selalu tertuju padaku.
Waktu kecil mereka berebut menawariku permen atau kue, dan ketika aku beranjak dewasa, mereka berlomba meminta akun media sosial atau nomor ponselku.
Dan apa yang kukatakan pada makhluk-makhluk penggoda itu? Tentu saja—
"Menyingkirlah, lalat sepertimu tidak pantas untukku."
Tanpa nada yang meninggi ataupun getir. Hanya datar, dengan pandangan merendahkan.
Meski mulutku tajam, anehnya lalat-lalat itu tidak pernah menjauh. Mereka justru semakin tertantang mendekatiku, dengan rasa percaya diri dapat memilikiku. Seenaknya saja, sangat menjijikan.
Berkat para lalat itu, sepanjang hidupku, aku jarang punya teman perempuan. Sejak di taman kanak-kanak, rasa iri sudah jadi hadiah pertama yang kuterima dari mereka. Dan ketika aku masuk sekolah dasar, hadiah itu bertambah: bisik-bisik kotor yang mereka sebut candaan.
"Si tukang cari perhatian! Kata Ibuku orang seperti itu disebut pelac*r."
Lucu, bukan? Anak-anak sekecil itu sudah pandai melontarkan kata hinaan.
Saat beranjak ke sekolah menengah, permainan mereka berubah bentuk. Tak lagi sekadar iri atau bergosip—kini ada luka yang nyata. Setiap pagi bangkuku menghilang entah ke mana. Saat pelajaran berlangsung, kertas-kertas beterbangan ke arahku. Ketika istirahat, jika aku ke toilet, mereka akan merusak pintunya dan meninggalkanku terkurung di dalam.
Tingkah laku Kekanak-kanakan yang menjijikkan. Mereka bahkan membuatku enggan menginjakkan kaki ke kantin, karena aku tahu persis apa yang akan terjadi jika aku muncul di sana.
"Selesaikan lah dengan baik bersama temanmu, atau mungkin kita bisa memanggil orangtua kalian untuk saling berdamai."
Itu kata guru-guru yang selama ini kuandalkan untuk menghentikan perundungan yang kuterima. Sungguh tidak berguna. Hingga cukup untuk memutar mataku, muak.
Orangtua? Aku tidak bisa membiarkan mereka tahu.
Tidak akan banyak perubahan juga jika mereka tahu, paling jauh, justru aku yang disarankan untuk pindah sekolah. Bukan para perundung itu.
Walaupun bisa saja mereka yang ditendang dari sekolah, tapi tidak mungkin aku melepaskan mereka tanpa pembalasan? Bagaimana dengan harga diriku yang telah mereka injak-injak?
"UANGKU HILANG! SIAPA YANG MENCURINYA?!" Kehebohan itu datang dari salah satu anak yang merundungku, panggil saja dia 'anak bodoh'.
Anak bodoh itu baru menyadari ia kehilangan uang di tasnya saat jam istirahat. Mendengar itu, para perempuan di kelas segera menoleh padaku.
"Kau yang mengambilnya, kan!" tudingan yang mantap, seakan mereka memang sudah merencanakan. Payah. Sangat terlihat jelas sampai hampir membuatku ingin menghardik.
"Tidak," jawabku singkat.
"Jangan bohong! Kau, kan satu-satunya yang tidak ikut pelajaran olahraga tadi! Tidak ada yang lain selain kamu yang tinggal di kelas!" Anak yang bisa kita panggil 'si dungu' terus mencecarku, sambil menunjuk-nunjuk di depan wajahku.
Aku mendengus, kutelusuri seisi kelas dengan pandangan mata. Kebanyakan dari mereka hanya diam, bahkan anak lelaki yang selalu mendekatiku bersikap acuh, hanya tertawa-tawa di belakang. Memang para lalat hanya akan menjadi lalat.
"Kau melihat kemana! Aku sedang bicara padamu!" Si dungu itu kini berani mendorongku, hingga aku hampir terjatuh dari kursi yang kududuki. Sialan.
Aku kesal, tapi aku tidak ingin menunjukan emosi apapun di depan mereka. Mengendalikan emosi sudah menjadi keahlianku. Aku pun beraut sedih di sana, kupilih ekspresi paling pas di situasi seperti ini.
"Sungguh bukan aku... Aku tidak enak badan sehingga aku ke uks saat jam pelajaran olahraga." Aku membela diri. Kini kubuat air mataku keluar sedikit. Tidak ada orang yang ingin kutarik simpatinya, ini hanya image yang kubuat sejak masuk SMP. Anak cantik lugu yang lemah hati.
"Kau masih saja mengelak?!" Tentu saja mereka tidak segera mundur dengan pembelaanku, toh dari awal memang niat mereka menjebakku.
"Hei, tidak usah repot-repot menanyainya. Langsung saja periksa isi tas dan kantong bajunya?" Usulan itu datang dari anak lain, mungkin selama ini kupanggil dia, 'si budak'.
"Cewek seperti dia, pasti bisa lebih berbahaya! Memeriksa kantongnya saja tidak cukup! Bagaimana kalau dia sembunyikan di badannya?!"
Aaah...
Arah obrolan yang bisa kutebak arahnya kemana.
Dan tebakanku itu, sialnya tepat sasaran. Di depan mata anak kelas, grup perundung yang terdiri dari tiga orang itu mulai mendekatiku, menahan dua tanganku, dan meraih bawahan rok seragamku, hendak membukanya.
Yang kulakukan? Meski sempat panik, tapi aku bisa memberi tendangan di wajah anak bodoh yang sudah membuka kancing rokku. Kakiku mengenai hidungnya, badannya terhuyung hingga ambruk ke belakang, hidungnya berdarah.
Kelas menjadi hening. Genggaman di dua tanganku melonggar, mereka menjauh dariku dan menghampiri anak bodoh yang syok dengan tetesan darah di lantai.
"APA YANG KAU LAKUKAN!"
" DIA SAMPAI BERDARAH!"
"TANGGUNG JAWAB! ANAK SETAN!"
"PANGGILKAN GURU—
BRUK!
Suara benturan itu, akulah yang menyebabkannya. Aku mendorong si dungu dan si budak menjauh dari anak bodoh. Kutatap dengan dingin anak bodoh yang sejak tadi berteriak sumbang, kemudian kududuki tubuhnya.
Seisi kelas masih membeku, menyerapi situasi. Mereka baru heboh, berkumpul menjadi satu, menjadi kerumunan kerbau yang mengelilingiku setelah melihatku mulai menghajar habis anak bodoh di bawahku. Pukulanku keras tanpa meleset di lokasi yang sama, pipi kanan.
Mereka memegangiku, menyeretku menjauh dari anak bodoh itu. Menghentikan kekerasanku. Di lantai sana, wajah anak bodoh sudah babak belur, darah keluar dari mulutnya. Membuatku merasakan kepuasan tertinggi.
Persetan dengan image anak lugu berhati lemah. Aku akan menghabisi dua sisanya!
***
Aku berdiam di salah satu bilik kamar mandi. Sejak pemukulan yang kulakukan, perundungan semakin parah. Mereka, para perundung itu, mendapat dukungan keras dari para orang dewasa yang tidak berguna. Orangtuaku tidak bisa apa-apa, hanya membungkuk meminta maaf di depan orangtua anak bodoh.
Jejak kekerasan terlalu jelas, menempel seperti noda yang tak bisa kuhapus. Tak ada ruang untuk berkilah, tak ada saksi yang bisa diandalkan. Aku kalah. Harga diriku jatuh lagi, bahkan rasa puas dari kekerasan yang kulakukan tak cukup untuk menopangnya.
Semua itu terasa sia-sia, seperti meninju bayangan sendiri.
Makanya saat ini, saat para perundung itu kini menggedor pintu bilik dengan amarah, aku hanya berdiam. Mataku jatuh pada cutter di tanganku. Aku menghela nafas pendek sebelum akhirnya kupotong acak rambutku.
Kurang memuaskan, aku menambahkan beberapa goresan di tangan. Menahan rasa sakit yang kontras, aku menaruh goresan terakhir, yang sempat ragu kulakukan. Akan tetapi jika berhasil, maka setimpal.
Aku pun menggores wajahku secara horizontal di pipi kanan.
Darah menetes perlahan dari sekujur tubuh. Nafasku tersengal. Perih menyerang namun dari dalam lubuk hati aku merasa biasa saja. Terakhir, aku memasang wajah kesakitan sebelum keluar dari bilik kamar mandi.
Mata para perundung sempat syok melihatku, mereka yang sejak tadi mengaum kini membisu. Aku tersenyum miring sebelum menendang keras ember di samping kakiku hingga menimbulkan keributan yang tidak remeh.
"HENTIKANNNN!!!" aku menjerit keras, sambil mendorong tiga perundung itu, meski niatku hanya menempelkan darah di tangan mereka.
Cutter milik kelas kulemparkan ke arah mereka—cukup dekat untuk membuat mereka mundur, tapi tidak melukai siapa pun. Lalu aku berlari keluar dari kamar mandi, tepat saat beberapa guru muncul di ujung lorong.
Sempurna.
Kamar mandi yang kupilih memang bukan kebetulan; letaknya di jalur yang selalu dilewati guru saat pergantian jam.
Ketika suara gaduh dan napasku yang tersengal bertemu pandangan para guru itu, aku tahu—
ceritanya kini akan mengalir sesuai keinginanku.
Dengan cepat kupasang ekspresi takut, dengan air mata yang sudah kubuat mengalir sejak tadi. Penampilanku yang mengenaskan, membuat para guru membeku. Mereka kemudian melempar pandang pada ketiga perundung yang menyusul keluar kamar mandi, dengan jejak darahku.
"SAYA MOHON, PAK! TOLONG SAYA! MEREKA... MEREKA INGIN MEMBUNUH SAYA!"
Aku menang. Meski butuh pengorbanan kecil dan usaha yang tak mudah, aku berhasil menjatuhkan mereka sampai ke dasar hirarki sosial.
Selain mengorbankan tubuhku, aku juga sudah mempersiapkan sebuah video yang kumanipulasi. Video yang selama ini kuambil diam-diam dengan ponsel dan kamera kecil. Kudapatkan dari orangtua tercinta tanpa mereka curiga. Itulah kelebihan menjadi anak tunggal, keinginanmu akan terkabul, apalagi aku sudah bersikap baik di depan mereka.
Video itu kuunggah dengan akun palsu, segera menjadi viral dan publik menyerang ketiga perundung tersebut. Mereka dikeluarkan dari sekolah. Citra sekolah pun ikut terpuruk.
Sebagai gantinya, wajah cantikku yang terluka berhasil menarik simpati orang-orang. Memberi perbandingan yang pedas antara aku dan tiga perundung itu. Orangtua dari anak perundung yang membuat orangtuaku membungkuk tanpa salah, balik kutundukan.
Entah berapa pulau yang kulampaui dari semua itu. Rasa puas memuncak, menguasaiku. Dan setelah semuanya, aku pun pindah sekolah. Ke sekolah swasta yang dipenuhi anak baik. Kebanyakan dari mereka mengenaliku berkat kasus perundungan yang viral.
Hidupku menjadi lebih baik, namun sedikit membosankan.
***
Di bangku kelas 3 SMP, pada awal semester. Aku duduk di ayunan taman dekat rumah, dengan rasa bosan. Pohon rindang melindungiku, hanya menyisakan beberapa cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela dedaunan.
Pandanganku jatuh pada barisan semut di permukaan tanah lembab di bawah kakiku. Dalam diam, aku membuyarkan barisan tersebut. Ada beberapa semut yang kuinjak, ada yang kuhempas, ada yang kupendam dengan debu tanah.
Bosan.
Aku bosan.
Sangat bosan.
Aku bukannya ingin kembali dirundung. Aku hanya ingin merasakan suatu gejolak. Yang dapat membuatku merasakan puas seperti hari kemenangan pertamaku di sekolah lama.
Sekolah saat ini terlalu damai, aku memiliki teman perempuan. Hanya saja sebagian besar palsu, mereka tidak benar-benar menyukaiku, aku tahu karena pernah menangkap mereka bicara hal buruk tentangku. Tapi hanya itu yang mereka lakukan. Tidak lebih. Tidak ada alasan bagiku membalas mereka.
Para laki-laki? Memuakkan. Aku tidak suka berada di dekat mereka. Orang-orang itu tidak pernah benar-benar tulus mendekatiku.
"Kamu baik-baik saja?"
Namun di tengah rasa bosanku, suara di hari itu seakan membuka dunia baru. Aku mendongak ke atas, mendapati sosok perempuan berambut hitam dengan kesan suram. Ia memakai dalaman kerah tinggi di balik seragam, di cuaca yang terik.
Aneh, kesan pertamaku.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
Mata perempuan itu melirik ke arah tangan dan wajahku secara bergantian, lebih tepatnya pada bekas luka kontras yang kuperbuat sendiri.
"Apa kau mengalami hal buruk?" tanyanya. Kami tidak kenal, tapi wajahnya memancarkan kekhawatiran yang tidak kumengerti.
Ya, bekas luka yang kubuat itu masih membekas di tubuhku, aku tidak repot repot menyembunyikannya. Bahkan aku jadi lebih sering menggunakan lengan pendek agar luka hasil kemenangan itu terlihat.
"Apa urusanmu?" aku balik bertanya, dengan nada yang tidak sengaja sinis.
"Kau terlihat sedih, itu saja..." jawabnya, kuanggap salah besar. Aku hanya sedang bosan.
"Jangan sok tahu. Aku memiliki semuanya, apa lagi yang bisa membuatku sedih?" tidak henti-hentinya aku bernada ketus. Meski biasanya aku selalu mencoba bertopeng baik di depan orang.
Namun perempuan itu tidak tampak tersinggung. Ia justru tersenyum. Senyuman tulus yang tidak pernah kulihat sebelumnya selain dari kedua orangtuaku.
"Itu hal yang bagus. Syukurlah," ucapnya.
Mataku menyipit, mendongak membuat mataku ditabrak sinar matahari yang jatuh sedikit mengenaiku. Seakan menyadari kesulitan ringanku, perempuan itu semakin mendekat, menghalangiku dari silau. Aku memperhatikan, wajahnya manis.
Matanya hitam, tampak mendung. Tidak ada sinar tanda kehidupan di sana, seperti lubang hitam. Keringat sedikit membasahi wajahnya, membuatku tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Kerah tinggi itu panas bukan? Kau memakainya di panas begini?" Pertanyaanku merubah ekspresinya. Ia tampak canggung, menarik cepat rasa penasaranku.
"Ini... Hanya hobiku..." jawabnya. Jelas berbohong. Tingkah kakunya terlalu kentara.
"Kau menyembunyikan sesuatu di sana?" tanyaku antusias. Dia masih diam.
" Hei, aku pernah dengar, ada manusia yang bisa melepaskan kepalanya dan berkeliling hanya dengan jantungnya! Apa kau seperti itu?" kini aku berdiri, rasa bosan setengah menjauhiku berkatnya.
"Tidak... Aku tidak seperti itu..." Ia mulai kebingungan. Entah kenapa ekspresinya itu membuatku semakin ingin mendorongnya.
"Kau tahu? Lukaku ini dilakukan oleh para perundungku saat aku kelas 1 smp! Lihat? Mereka bahkan melukai wajahku juga! Aset berhargaku!" Aku mulai bercerita, meski yang kukatakan adalah kebohongan, wajahnya tetap memancarkan cemas. Pada orang tidak dikenal sepertiku? Dia aneh.
"Nah, sekarang beritahu aku, ya? Apa yang ada dibalik kerah itu, hmm?" Aku mendesaknya tanpa ragu, meski kita belum saling mengetahui nama.
Perempuan itu masih diam. Menghilangkan rasa antusiasku. Aku segera berwajah sinis lagi, berpikir bahwa orang ini membosankan karena terlihat tidak ada niat berbagi kisah denganku.
Saat aku hendak pergi meninggalkannya, ia memegang tanganku. Sensasi lembut dari sentuhan perempuan, yang selama ini tidak pernah kurasakan karena tidak pernah benar-benar memiliki teman, skinship pun tidak pernah.
Hal tersebut membuatku sontak merasakan detak asing di jantung.
Aku menoleh pada wajahnya, perempuan itu kemudian mengusap lembut suraiku. Ia masih berwajah cemas dan melontarkan satu kalimat padaku.
"Semangat, ya. Kau tetap cantik meski dengan bekas luka itu, kok."
Setelah mengatakan hal tersebut, ia melangkah pergi. Menghampiri pria tinggi bersurai hitam yang merupakan penjemputnya.
Aku mematung di tempat, memandangi punggung yang perlahan hilang ditelan jarak. Angin yang menyapu dedaunan membuat kulitku merinding, suara kicau burung dan detak jatungku menjadi satu kesatuan.
Aku memegangi kepala, tempat orang itu mengusapku lembut. Tangan kananku, kuletakan di wajah yang telah memanas. Aku merasa panik. Perasaan yang baru pertama kali kurasakan, asing tapi menyenangkan.
Selama 15 tahun hidupku, baru kusadari bahwa aku menyukai perempuan?
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿