Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan
Kael berdiri, tubuhnya kaku seperti tembok di antara Lovy dan wanita itu. Tatapannya menusuk, penuh ketegangan yang membuat udara di aula terasa berat.
"Keluar, atau—" ucapnya dingin.
Wanita itu hanya mengangkat satu alis, senyum tipis menempel di bibir merahnya. "Ancaman? Di hari bahagiamu?" bisiknya, lirih namun penuh ejekan.
Kael maju setengah langkah. "Aku tidak akan mengulanginya," katanya, kali ini lebih tegas. "Pergi, sebelum aku benar-benar membuatmu menyesal."
Senyum itu justru melebar, matanya berkilat puas. "Baiklah, aku akan pergi. Tapi setidaknya, aku tinggalkan sesuatu untuk dikenang, kan?"
Tangan wanita itu bergerak cepat, meraih gunting dekorasi yang tergeletak di meja bunga. Dalam sekejap, suara kain terpotong terdengar tajam. Tali emas yang mengikat Celestia—kuda putih hadiah dari Donovan yang diikat di tiang aula—langsung terputus.
Binatang putih itu, yang sedari tadi berdiri tenang, meringkik keras. Sekali hentakan kaki di lantai marmer, dan aula sontak berubah jadi arena kekacauan.
Celestia menggila.
Ia menendang kursi hingga terbalik, meja penuh gelas champagne terguling, dan bunga-bunga hiasan beterbangan. Seorang tamu menjerit, pelayan-pelayan panik berlarian, bahkan musik jazz yang tadinya lembut kini terdengar seperti irama sumbang di tengah teriakan.
Wanita bergaun merah itu hanya menatap sekilas kekacauan yang ia ciptakan. Senyum sinis menempel di wajahnya saat ia melangkah keluar aula, seolah puas dengan pemandangan pesta yang mendadak berubah menjadi bencana.
Lovy mematung sejenak, matanya melebar melihat Celestia berputar liar. "Apa-apaan ini?!"
Samuel berusaha menenangkan Celestia. Namun, sang kuda justru mendorongnya dengan kepala hingga ia hampir terjungkal. Para tamu berlarian menghindar, beberapa berteriak memanggil nama Lovy dan Kael. Donovan hanya duduk tenang, mengangkat gelas champagne, menonton dengan senyum samar di bibirnya.
Lovy menatap gaun putihnya sendiri. Bagian bawah gaun itu terlalu panjang, membuatnya tak bisa bergerak bebas. "Maaf ya, desainer," gumamnya, lalu menarik paksa lapisan tulle itu.
Suara robekan kain memenuhi udara. Gaun pengantin Lovy robek sampai setengah paha. Ia mengibaskan kain yang kini melayang-layang, lalu melangkah mantap ke arah Celestia.
Samuel dan Syegi menjerit, "Lovy! Jangan—"
Tapi Lovy sudah lebih dulu melompat ke pelana kuda. Ia hampir tergelincir, tapi berhasil memegang kekang dengan kuat. Binatang putih itu berputar liar, membuat tamu-tamu menjerit dan berlindung di balik meja.
"Tenang, Celestia!" Lovy berteriak, separuh memohon, separuh mengancam. "Aku cinta kamu, tapi berhenti muter-muter kayak gasing!"
Kael berdiri di dekat panggung utama, wajahnya pucat pasi. Syegi menoleh dengan tatapan tidak percaya.
"Kael! Bantu dia!"
"A-aku..." Kael menggeleng, suaranya lirih, "aku tidak bisa..."
"Apa maksudmu tidak bisa?!" Syegi membentak.
Kael memalingkan wajahnya, nadanya hampir berbisik. "Aku... takut kuda."
"Apa?! Tuan Kael takut kuda?!" Syegi terbelalak, tapi di akhir kalimat ia mengecilkan suara, berusaha tak ada yang mendengar. Lagi pula suasana sedang kacau; para tamu sibuk menyelamatkan diri, tak ada yang memperhatikan percakapan mereka.
Lovy yang masih berusaha menenangkan Celestia hanya melirik sekilas, matanya hampir melotot. Saat itu, kuda yang ia tunggangi berputar, membuat posisinya menghadap Kael. Hanya berputar, bukan mendekat, tapi cukup membuat Lovy sedikit awas.
Tiba-tiba, telepon di saku jas Kael bergetar keras. Di tengah kekacauan itu, ia menjawab hampir refleks. Suara seseorang di seberang sana terdengar terburu-buru, mengatakan sesuatu yang membuat wajah Kael langsung berubah merah padam.
"Apa?!" Kael membentak, suaranya menggema di aula. Ia mengepalkan tangan, matanya mendadak dipenuhi amarah. "Katakan itu sekali lagi!"
Suara di seberang menambah amarahnya. Kael menurunkan ponsel dengan rahang mengeras, amarahnya mendadak menyingkirkan rasa takutnya sejenak. Ia melangkah ke depan, pikirannya berkecamuk—hingga ia tidak sadar Celestia berputar liar, mulai mendekatinya.
"Kael!" teriak Tante Veronica, yang baru saja tiba dan melihat kekacauan itu. Wajahnya pucat, tangannya terangkat refleks. "Kael, awas!"
Celestia meringkik keras, kakinya menghentak lantai. Lovy terombang-ambing di pelana, hampir terlempar. Semua orang berteriak histeris.
"LOVY!" suara semua orang menggema bersamaan.
Lovy menggertakkan gigi, berusaha fokus. Tangannya mencengkeram kekang, tubuhnya condong, menyeimbangkan diri. Ia menarik napas panjang, matanya menyipit, dan dengan satu gerakan mantap ia merapatkan kaki di sisi tubuh Celestia.
Gerakan itu bukan gerakan orang sembarangan.
Gerakan itu gerakan juara.
Lovy pernah jadi juara berkuda saat kuliah di luar negeri. Kini, semua pelajaran itu kembali seperti insting.
Saat kuda sudah hampir menyentuh tubuh Kael, Celestia meringkik dan membelok keras. Lovy menarik kekang kuat-kuat, menyeimbangkan tubuhnya dengan sempurna. Ia merasa sedikit lega karena berhasil menghentikan Celestia sebelum menerjang Kael.
Sementara itu, Kael masih termenung, pikirannya bercampur antara kekalutan dan berita di telepon. Ia memilih pergi meninggalkan aula, langkahnya cepat dan wajahnya menegang.
Lovy menoleh dramatis ke arah semua orang yang menatap dengan wajah tegang. Ia berteriak, napasnya terengah tapi nadanya penuh keyakinan.
"Aman! Tenang aja! Aku pegang kendalinya! Dan suamiku juga aman di tanganku! Lihat! Dia bahkan pergi meninggalkan istrinya!"
Sorak sorai dan perasaan lega pecah di aula, tapi kekacauan belum sepenuhnya reda. Celestia berhenti meringkik keras, tapi masih berputar pelan, seperti menguji siapa yang lebih kuat di antara ia dan Lovy.
Lovy mengelus surai kuda putih itu dengan tangan lembut. "Celestia... sudah cukup dramanya, ya. Ini pesta pernikahan, bukan rodeo."
Ajaibnya, Celestia akhirnya berhenti mengamuk. napasnya berat, tapi tubuhnya kini tenang.
Donovan, yang duduk menyandarkan diri di kursinya, mengangkat alis. Untuk pertama kalinya senyumnya memudar sedikit. Ada kilatan takjub di matanya. "Menarik sekali," gumamnya lirih. Ia tidak menyangka Lovy bisa mengendalikan kuda sehebat itu.
Tapi setelah tatapannya kembali ke meja yang penuh gelas tumpah, kursi terbalik, dan tamu-tamu yang masih gemetar, ia tersenyum lagi. Senyum terhibur.
Ia meneguk champagne terakhirnya, menatap kekacauan itu seolah menonton drama favoritnya.
Semua orang berlari menghampiri Lovy dengan penuh kekhawatiran.
"Lovy! Kamu baik-baik saja?" suara Isabelle pecah, hampir histeris. Tangannya gemetar saat menyentuh kaki menantunya, memastikan ia baik-baik saja. "Ya Tuhan, gaunmu… rambutmu… kuda itu hampir—"
"Aku nggak apa-apa, Ma." Lovy masih di atas kuda menatap dengan senyum lelah tapi meyakinkan. "Tenang, semuanya terkendali."
Ayah mertuanya ikut mendekat, wajahnya merah karena panik. "Terkendali apanya?! Kamu barusan hampir terlempar! Dan si… Celestia itu hampir menyeruduk Kael!"
Lovy menoleh, heran melihat Damian yang biasanya dingin tiba-tiba bicara sepanjang itu. Matanya berkilat nakal meski napasnya masih memburu. "Tapi buktinya aku nggak jatuh, kan?"
Samuel langsung ikut memotong, suaranya keras karena khawatir. "Nggak jatuh?! Kamu bikin jantungku berhenti sepersekian detik! Kalau kamu sampai—"
Lovy mengangkat tangan, menginterupsi dengan gaya dramatis, "Tenang! Aku pengantin hari ini. Aku harus kelihatan keren dan tak terkalahkan!"
Isabelle menghela napas berat, hampir ingin menangis, tapi Lovy menepuk bahunya sambil tersenyum percaya diri. "Percaya deh, Ma. Aku baik-baik saja. Celestia juga sudah tenang."
Samuel menggeleng, menatap Lovy tak percaya. "Kamu itu gila. Gila banget."
Lovy terkekeh kecil. "Mungkin. Tapi aku pengantin gila yang berhasil menyelamatkan pesta ini, kan?"
Lovy yang masih duduk tegak di atas Celestia, gaunnya robek, rambutnya berantakan, tapi tatapannya penuh kemenangan. Ia melirik ke arah Kael yang sudah menghilang.
"Kael," katanya sambil menepuk leher Celestia. "Dia pergi ke mana? Dan mengapa?"
Syegi yang sudah di sampingnya menjawab, "Aku tidak tahu. Tapi—" ia mendekatkan wajah ke telinga Lovy, berbisik, "ternyata dia ketakutan dengan kuda. Dan saat menerima telepon, dia kelihatan marah. Sepertinya ada masalah?"
Dan aula itu… untuk sesaat hening, sebelum suara tepuk tangan pecah. Ternyata para tamu tidak langsung pergi. Mereka bersembunyi, menyaksikan semua yang terjadi. Sebagian tamu bersorak lega, sebagian lagi sibuk memunguti gelas yang pecah. Tapi satu hal pasti:
Pesta pernikahan itu sudah berubah jadi legenda.
.
.
.