Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 34
Begitu terbuka, napas Nara tercekat. Di dalamnya hanya ada satu kotak kecil hitam, dan ketika ia buka, sebuah boneka kecil tergeletak di sana, tubuhnya disiram cat merah menyerupai darah, lehernya terlilit kawat.
Sekeping kertas terlipat diselipkan di bawah boneka itu.
“Ini hanya peringatan. Kau berikutnya, Nara.”
Nara menjerit pelan, tangannya refleks menjatuhkan kotak itu ke lantai. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar hebat.
Melisa menutup mulutnya dengan tangan, shock. “YaAmpun… siapa yang berani melakukan ini?”
Zean sudah sigap lebih dulu. Dirinya meraih bahu Nara, menahannya agar tidak jatuh. Rahangnya mengeras, matanya menyala marah. Ia mengambil kertas ancaman itu, membacanya cepat, lalu meremasnya hingga hancur.
“Jangan takut,” ucapnya singkat pada Nara, meski suaranya terdengar berat menahan amarah. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu.”
Melisa menatap anaknya penuh tanya. “Zean, apa yang sebenarnya terjadi?”
Zean menarik napas dalam, menahan diri. “Aku akan mengurusnya, Mama. Tolong jangan cemas, tapi jangan sampai hal ini terdengar keluar rumah.”
Melisa hendak membantah, tapi melihat sorot mata Zean yang begitu dingin, ia mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih.
Malam harinya, Nara duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Suara detak jam di kamar terasa semakin nyaring di telinganya.
Zean masuk membawa segelas air. Tanpa berkata apa-apa, ia menyerahkannya pada Nara. Gadis itu menerimanya dengan tangan gemetar. “Terima kasih” suaranya nyaris tak terdengar.
Zean duduk di kursi dekat ranjang, menatapnya. “Kau tidak perlu takut.”
Nara menoleh cepat, matanya berkaca-kaca. “Bagaimana aku bisa tidak takut? Mereka tahu namaku, mereka bisa mengirim paket itu sampai ke rumah ini, Zean. Rumah yang dijaga seketat ini pun tidak cukup melindungiku. Jadi,bagaimana aku bisa merasa aman?”
Suaranya pecah, dadanya naik turun menahan tangis.
Untuk pertama kalinya, Zean merasa hatinya diguncang. Ia tidak terbiasa melihat seseorang begitu rapuh di hadapannya. Walaupun ia tidak mencintai nara, tetapi melihat Nara sekarang membuatnya ingin marah pada siapa pun yang berani menyakiti perempuan itu.
Ia berdiri, berjalan ke sisi ranjang, lalu duduk di sampingnya. Dengan gerakan pelan, ia meraih kedua tangan Nara yang gemetar. “Dengar aku baik-baik,” katanya, suaranya dalam dan mantap. “Selama aku di sini, tidak seorang pun bisa menyentuhmu. Mereka boleh mengirim ancaman, boleh mencoba menakutimu. Tapi untuk menyakitimu? Itu tidak akan pernah terjadi. Aku janji.”
Nara menatapnya, matanya basah. Janji itu terasa kuat, meski ia masih ragu apakah bisa benar-benar dipercaya. Tapi genggaman hangat Zean di tangannya membuatnya sedikit bisa bernapas lega.
“Zean, Kenapa kau… peduli padaku sekarang?” pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Nara, lirih namun penuh rasa penasaran di dalam dirinya.
Zean terdiam sesaat. Sorot matanya meredup. “Aku tidak tahu,” jawabnya jujur. “Mungkin karena kau sekarang Tanggung jawabku. Dan aku tidak suka jika ada orang lain berani mengganggu apa yang menjadi milikku.”
Kata-kata itu seketika menyusup pelan ke relung dada Nara, menimbulkan desir halus yang sulit untuk ia artikan. Ada sesuatu yang menggantung di antara makna yang di ucapkan Zean. Rasa getar samar antara perih dan hangat, Nara tidak tahu apakah hatinya itu tersinggung karena dianggap milik seseorang, atau sebaliknya justru ia luluh oleh rasa aman yang tersembunyi dibalik kata perlindungan itu.
Di tempat lain, Lusi duduk santai sambil menikmati segelas wine. Anak buahnya baru saja melapor melalui telepon.
“Mereka menerima paketnya, Nyonya.”