NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Presentasi Formal dan Profesor Bisnis: Ujian Ganda untuk Revan dan Valeria

Keesokan harinya, suasana di meja makan terasa dingin. Valeria, Tante Kiara, dan Diandra duduk bersama untuk sarapan. Diandra membaca koran sambil menyesap kopi, sementara Valeria dan Kiara berusaha menjaga keheningan.

"Valeria," panggil Diandra tanpa mengalihkan pandangan dari korannya. "Jangan lupa, jam sepuluh nanti kamu ada les sama Pak Teguh."

"Iya, Ma," jawab Valeria pelan.

"Habiskan makananmu," perintah Diandra lagi.

Valeria mengangguk dan berusaha menelan makanannya, meskipun perutnya terasa mual karena gugup menunggu kedatangan Revan dan bagaimana ia akan menghadapi Mamanya.

Tiba-tiba, bel pintu rumah berbunyi nyaring.

Diandra meletakkan korannya. "Siapa sepagi ini?" tanyanya heran, lalu melirik Kiara. "Kiara, coba lihat."

Kiara segera beranjak menuju pintu depan. Kiara membuka pintu dan terkejut melihat Revan sudah berdiri rapi di sana.

"Revan? Selamat pagi," sapa Kiara.

"Pagi, Tante. Maaf, Revan datang pagi-pagi begini. Revan mau bicara sebentar dengan Tante Diandra. Ada di dalam?" tanya Revan, suaranya terdengar formal dan serius.

"Ada, sedang sarapan. Ayo masuk," ajak Kiara.

Revan melangkah masuk. Ia berjalan ke ruang makan, tempat Diandra dan Valeria masih duduk.

Diandra mendongak, terkejut melihat Revan kembali secepat ini. Ekspresinya sedikit mengeras.

"Revan? Ada perlu apa kamu datang sepagi ini?" tanya Diandra, langsung pada intinya.

Revan berdiri tegak di samping meja makan. "Selamat pagi, Tante Diandra. Maaf mengganggu sarapannya. Revan datang untuk konfirmasi mengenai tawaran bisnis semalam."

Valeria menatap Revan, matanya memohon agar Revan berhati-hati.

Diandra menatap Revan. Ia tidak menyukai kunjungan mendadak ini, tetapi topik yang dibawa Revan terlalu penting untuk diabaikan.

"Ayo, kita ke ruang kerja Tante," kata Diandra, memberi isyarat kepada Revan untuk mengikutinya. Ia lalu mengalihkan tatapannya yang tajam kepada Valeria.

"Valeria, habiskan makananmu. Jangan dimain-mainkan itu makanan."

"Iya, Ma," jawab Valeria pelan, meskipun ia merasa cemas melihat Mamanya membawa Revan ke ruang kerjanya.

Kiara memberi isyarat mata kepada Revan, menyuruhnya berhati-hati, sebelum Revan mengikuti Diandra menaiki tangga.

Diandra duduk di balik meja kerjanya yang besar, memasang ekspresi bisnis yang dingin. Revan duduk di kursi seberangnya.

"Baik, Revan. Apa konfirmasinya?" tanya Diandra, langsung ke intinya.

"Begini, Tante," Revan memulai, suaranya mantap. "Revan sudah bicarakan lagi dengan teman-teman, dan kami sepakat bahwa yang paling penting adalah bisnis ini berjalan dengan baik, profesional, dan sesuai harapan Tante."

Ia menatap Diandra lurus-lurus. "Revan setuju dengan syarat Tante. Bisnis kafe ini, di atas kertas, akan sepenuhnya dijalankan oleh Revan dan Valeria saja."

Diandra mengangguk tipis, raut wajahnya melunak. "Bagus. Itu menunjukkan kamu bisa mengambil keputusan yang cerdas."

"Valeria akan terlibat penuh dalam konsep dan manajemennya, dan ini akan menjadi pelajaran bisnis yang dia butuhkan, seperti yang Tante harapkan dulu," lanjut Revan.

"Jadi, bagaimana langkah awal kalian?" tanya Diandra, kini tertarik. "Tentu Tante ingin melihat presentasi proposal, rencana modal, dan cash flow-nya."

"Tentu saja, Tante. Revan sudah menyiapkan proposal awal," jawab Revan. "Mengenai modal, kami sudah mempersiapkan dana awal dari pihak Revan. Namun, agar Valeria memiliki sense of ownership dan tanggung jawab yang besar, Revan ingin Tante memberikan izin agar Valeria dapat menggunakan sebagian dana beasiswa yang dia miliki untuk berinvestasi dalam bisnis ini."

Diandra menyilangkan tangannya di depan meja, wajahnya serius. "Dana beasiswa maksud kamu? Kenapa tidak minta dananya ke Tante saja? Maksudnya apa?"

"Mengenai dana beasiswa, Tante," jawab Revan dengan tenang. "Kami ingin Valeria memiliki sense of ownership. Dana itu adalah hasil kerjanya, hasil prestasinya. Jika dia menginvestasikan itu, dia akan lebih bertanggung jawab. Ini adalah investasi di masa depannya, bukan sekadar uang jajan."

Diandra menghela napas. Ia terkesan, tetapi tetap waspada.

"Tapi dana itu sudah Tante persiapkan untuk masa depan Valeria nanti, Revan," kata Diandra. "Dan Tante tidak bisa mengeluarkannya begitu saja. Tante tidak bisa memutuskan ini sendirian. Tante harus membicarakannya dulu dengan suami Tante, Mikhael, yaitu Papa Valeria. Kamu mengerti?"

"Saya mengerti, Tante," jawab Revan, menunjukkan sikap hormat. "Tentu Tante bisa bicarakan terlebih dahulu dengan Om Mikhael, karena bagaimana pun kalian berdua adalah orang tua Valeria."

Diandra mengangguk, puas dengan sikap Revan. "Baik. Tante akan bicara dengan Mikhael. Nanti Tante akan hubungi kamu mengenai keputusannya."

"Baik, Tante. Terima kasih atas waktunya," kata Revan, bangkit.

Diandra mengakhiri pertemuan itu dengan isyarat singkat. "Hati-hati di jalan."

Revan keluar dari ruang kerja Diandra dan menuruni tangga. Ia menemukan Valeria duduk sendirian di sofa ruang tamu, tampak tidak menyentuh sarapannya. Tante Kiara sedang membereskan meja makan.

Valeria segera menghampiri Revan. "Gimana, Van? Apa kata Mama?" tanyanya berbisik, matanya penuh kecemasan.

Revan melangkah mendekati Valeria, memastikan suara mereka tidak terdengar sampai ke lantai atas. Tante Kiara masih sibuk di ruang makan.

"Sesuai rencana," kata Revan, tersenyum kecil. "Dia setuju kalau bisnisnya cuma gue sama lo. Dia nggak mau ada Damian atau yang lain."

Valeria menutup mulutnya dengan tangan, terkejut dan senang. "Serius? Ya ampun, Tante Kiara dengar itu?"

Revan mengangguk, lalu wajahnya berubah serius. "Tapi, ada satu rintangan lagi."

Valeria langsung merasa cemas. "Rintangan apa?"

"Gue bilang ke Mama lo kalau lo harus ikut berinvestasi pakai dana beasiswa lo biar lo punya tanggung jawab penuh. Dan dia nggak langsung setuju."

"Kenapa?"

"Dia bilang, dia harus bicarakan dulu dengan Om Mikhael," jelas Revan. "Dia nggak mau memutuskan soal dana masa depan lo sendirian. Jadi, sekarang kita nggak cuma nunggu restu dari Mama lo, tapi juga dari Papa lo."

Wajah Valeria kembali murung. Rintangan baru muncul.

"Papa? Papa bahkan jarang di rumah, Van. Apalagi sekarang, papa lagi di luar negeri. Dan kalau Mama sudah ngomong, biasanya Papa cuma ikut setuju. Papa akan setuju kalau Mama setuju."

"Tepat," kata Revan. "Artinya, kita harus yakinkan Mama lo dulu kalau rencana ini safe dan profitable. Tapi setidaknya, lo nggak langsung dilarang total. Lo punya kesempatan, Val."

Revan menepuk bahu Valeria. "Sekarang gue harus pergi, harus ketemu anak-anak lain buat update dan siapin proposal bisnis yang jauh lebih bagus. Lo tenang. Habis ini lo fokus ke les, biar Mama lo nggak curiga."

Valeria mengangguk pelan, rasa takutnya masih ada tetapi kini bercampur dengan harapan. "Oke, makasih banyak, Revan."

"Sama-sama. Gue hubungi lo nanti malam," ujar Revan, lalu berpamitan dan bergegas keluar.

...****************...

Revan meninggalkan rumah Valeria dan langsung menemui Damian, Kian, dan Liam di markas mereka. Revan segera menjelaskan hasil pertemuannya dengan Diandra, termasuk rintangan baru dari Mikhael.

"Gila! Dia bahkan pakai Papa Valeria buat ngeblok kita," seru Liam.

"Ini bagus," potong Kian, suaranya tenang. "Ini artinya Diandra tertarik, tapi dia nggak mau menanggung risiko sendirian. Dia serahkan ke suaminya, yang notabene akan nurut ke dia."

"Jadi?" tanya Damian.

"Jadi, kita fokus bikin proposal bisnis yang paling profesional yang pernah dia lihat. Kita harus buktikan ke Tante Diandra kalau bisnis ini jauh lebih berharga daripada dana beasiswa Valeria," jelas Kian. "Revan, lo dan Valeria harus terlihat sebagai duo yang sangat serius dan kompeten. Kita buat laporan yang mencakup target cash flow dan analisis pasar. Kita buat Tante Diandra nggak bisa berkata tidak."

Mereka berempat segera menyusun ulang rencana mereka, mengganti peran mereka menjadi "konsultan rahasia" yang bekerja di balik layar, mengarahkan Revan dan Valeria yang berada di garis depan.

...****************...

Setelah Revan pergi, Valeria kembali ke meja makan dengan langkah gontai, kegelisahannya terlihat jelas. Tante Kiara segera menyusulnya, membereskan piring sisa sarapan.

Kiara meraih tangan Valeria yang dingin. "Val, kamu jangan cemas atau khawatir. Papa kamu pasti akan setuju."

Valeria menatap Tante Kiara dengan mata penuh harap.

"Tante tahu seperti apa Papa kamu," lanjut Kiara.

"Bagaimanapun juga, Papa kamu itu kakaknya Tante. Jadi Tante tahu persis seperti apa Papa kamu. Walaupun orang bilang dia selalu nurut apa kata istrinya, tapi kalau itu demi kebaikan kamu, dia pasti akan lakukan apa pun demi putri tercintanya."

"Iya, Tante. Semoga saja," bisik Valeria.

"Ya sudah. Sebentar lagi jam sepuluh, kamu ada les, kan? Siapkan diri kamu dan siapkan buku serta alat tulisnya, ya. Nanti Tante buatkan es coklat milkshake buat kamu," kata Kiara, berusaha mengalihkan pikiran Valeria.

"Makasih, Tante," jawab Valeria, merasa sedikit lebih tenang karena dukungan tante nya.

...****************...

Sesi les bersama Pak Teguh berjalan seperti biasa, namun kali ini terasa sangat menekan bagi Valeria. Diandra berada di ruang kerjanya, dan Valeria tahu bahwa setiap kesalahannya bisa menjadi amunisi bagi Mamanya untuk membatalkan kesepakatan bisnisnya dengan Revan.

Valeria harus ekstra fokus untuk menghindari teguran.

Setelah sesi les selesai, Tante Kiara menghibur Valeria dengan milkshake cokelat, sementara Valeria harus segera menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Pak Teguh sebelum Mamanya turun.

...****************...

Malam harinya, setelah Diandra kembali ke kamarnya dan rumah menjadi tenang, Valeria menerima pesan dari Revan.

[Pesan Revan]

"Gue sudah ketemu anak-anak. Strategi baru: Kita pura-pura 'ditinggal' sama Damian, Kian, Liam. Bisnis ini cuma punya kita. Gue butuh lo kirim foto semua catatan dan tugas lo yang lo kerjain hari ini. Secepatnya. Kita mulai kumpulin data dan bukti, Val. Lo harus jadi yang terbaik di pelajaran. Itu pintu keluar lo yang utama."

Valeria segera mengerti. Revan dan timnya tidak hanya menyusun proposal bisnis, tetapi juga proposal akademik untuk menghadapi Diandra. Mereka memanfaatkan jadwal les dan tugas sekolahnya untuk menunjukkan bahwa bisnis ini justru meningkatkan kedisiplinannya, bukan menghancurkannya.

Valeria segera mengambil ponselnya, menyalakan lampu belajar, dan memotret catatan-catatan pelajaran yang ia kerjakan bersama Pak Teguh tadi sore, mengirimkannya kepada Revan dengan hati-hati.

Sinergi Rahasia

Koordinasi Valeria dan Revan harus dilakukan secara tersembunyi dan efisien.

 * Valeria (Intel & Data Akademik):

   * Setiap malam, Valeria akan memotret dan mengirimkan semua ringkasan pelajaran, catatan, nilai, dan bahkan rencana jadwal belajarnya kepada Revan.

   * Dia juga akan diam-diam merekam observasinya tentang kebiasaan Mama Diandra dan Papa Mikhael.

 * Revan & Tim (Eksekusi & Strategi):

   * Revan menggunakan data akademik Valeria (yang membuktikan "bisnis tidak mengganggu sekolah") sebagai lampiran tak terpisahkan dari Proposal Bisnis.

   * Kian dan Liam bekerja menyusun proposal bisnis profesional, sementara Revan fokus pada presentasi dan menjadwalkan pertemuan formal berikutnya dengan Diandra.

   * Damian bertugas mencari informasi pasar (lokasi kafe, tren, dll.) dan mengirimkannya secara anonim atau melalui Revan, agar tidak meninggalkan jejak.

Selama seminggu penuh, Valeria hidup dalam dua dunia: dunia yang penuh kepatuhan di bawah pengawasan Mamanya, dan dunia rahasia di mana ia bekerja keras dengan Revan dan timnya, merasa memiliki tujuan dan kendali atas hidupnya untuk pertama kalinya.

...****************...

Setelah seminggu bekerja dalam bayangan, Revan yakin proposal bisnis mereka sudah sempurna dan tiba saatnya untuk mengambil langkah berani. Hari Senin pagi, ia sudah siap dengan seragam sekolahnya dan turun ke lantai bawah.

Revan berjalan ke ruang makan, tempat Papanya, Daniel, sudah duduk di meja, membaca koran sambil menyesap kopi. Ia menghampiri dan duduk.

"Pagi, Pa," sapa Revan.

"Pagi, Revan," balas Daniel, melipat korannya. Ia menatap putranya dengan tatapan serius. "Gimana rencana bisnisnya? Sudah sampai mana persiapanmu, dan bagaimana caramu akan menghadapi Diandra?"

Revan mengambil roti panggang dan mengolesinya selai, namun tatapannya fokus dan penuh tekad.

"Proposalnya sudah final, Pa. Kami sudah siapkan cash flow dan market analysis yang profesional, berkat Kian dan Liam," jelas Revan. "Dan, seperti yang kubilang, kami ikut permainannya Tante Diandra. Bisnis ini resmi hanya atas nama Valeria dan aku."

Daniel mengangguk. "Itu bagus. Lalu, bagaimana dengan benteng pertahanannya?"

"Kami sudah siapkan laporan akademik Valeria. Kami buktikan bahwa bisnis ini tidak akan mengganggu sekolahnya. Justru dia menjadi lebih disiplin," kata Revan. "Aku akan langsung ke rumah Tante Diandra hari ini. Aku harus minta izin untuk presentasi formal di depan dia dan Om Mikhael."

Daniel tersenyum bangga. "Baik. Langkahmu sudah benar. Sekarang, tunjukkan pada mereka kalau niatmu bukan hanya untuk bermain-main, tapi untuk membantu Valeria mendapatkan apa yang dia butuhkan."

"Baik, Pa. Doakan semoga sukses," kata Revan.

Tepat saat Mamanya datang dan duduk, ia berkata, "Revan, makanan kamu sudah habis? Mau tambah lagi?"

"Sudah, Ma. Revan sudah kenyang. Kalau gitu, Revan langsung berangkat sekolah, ya. Tapi, mampir ke rumah Valeria dulu, mau ajak dia berangkat bareng, sekalian membicarakan rencana bisnis ini dengan Tante Diandra," kata Revan.

"Ya sudah, semoga sukses, ya," kata Mamanya.

"Iya, Ma, terima kasih. Kalau begitu, Pa, Ma, aku berangkat ya," kata Revan.

"Iya, sayang," balas Mamanya.

"Hati-hati, Revan," kata Daniel.

Revan segera keluar rumah menuju motornya dan berniat menuju rumah Valeria. Ia mengendarai motornya dengan cepat, di dalam pikirannya ia bergumam, Semoga berhasil.

...****************...

Revan terus melajukan motornya dengan cepat. Tak lama kemudian, ia sampai di rumah Valeria. Ia turun dari motornya dan berjalan ke depan pintu, lalu mengetuknya.

Di ruang makan, Diandra, Valeria, dan Tante Kiara sedang sarapan. Mereka mendengar suara ketukan pintu. Kiara, yang sudah selesai sarapan, segera berdiri dan berjalan ke pintu.

Kiara membukanya dan terkejut melihat Revan. "Revan, ada apa pagi-pagi sekali datang? Tumben," sapa Kiara.

"Ah, itu Tante. Revan mau ajak Valeria berangkat bareng. Dan, sebenarnya ada yang mau Revan bicarakan sama Tante Diandra," kata Revan.

"Ehm, baiklah kalau begitu, silakan masuk, Revan."

Di ruang makan, Diandra bertanya, "Siapa, Kiara?"

"Revan, Mbak," jawab Kiara.

"Revan?" kata Diandra, terkejut. Diandra kemudian bangkit. "Cepat selesaikan sarapanmu, Valeria."

"Iya, Ma," kata Valeria.

Setelah itu, Diandra berjalan ke ruang tamu menemui Revan dan Kiara.

"Revan, tumben kamu pagi-pagi kemari? Ada apa?" tanya Diandra.

"Revan mau ajak Valeria berangkat sekolah bareng, Tante. Dan, Revan mau bahas soal bisnis kafe itu," kata Revan.

Diandra melihat jam tangannya. "Soal itu kita bahas nanti. Tante mau berangkat kerja, sudah telat. Bagaimana jika pembicaraan mengenai itu kita bahas nanti jam tiga sore?"

"Baik, Tante," kata Revan, menerima tantangan tersebut.

"Ya sudah, Kiara, Mbak mau berangkat. Kamu hati-hati di rumah," kata Diandra.

"Ya, Mbak," kata Kiara.

Diandra menoleh ke Revan, memberikan tatapan penuh peringatan. "Revan, Tante tinggal. Dan, Tante harap jam tiga nanti kamu tidak mengecewakan Tante soal bisnis ini. Dan, semoga saja itu bukan proposal mentah dan hanya sebuah permainan."

Setelah Diandra pergi, Revan menghela napas lega—ancaman Diandra tidak main-main. Ia berjalan menghampiri Valeria yang berdiri tegang di ambang ruang makan.

"Gimana, Van? Jam tiga sore?" bisik Valeria. "Mama kayaknya marah banget."

"Nggak marah, dia cuma menguji kita," koreksi Revan. "Itu artinya dia tertarik dan dia mau kita memperlakukannya dengan profesional. Itu bagus, Val! Kita dapat jadwal presentasi formal."

Kiara, yang mendengar percakapan mereka, ikut mendekat. "Valeria, Mama kamu nggak akan mau buang waktu kalau dia nggak lihat potensi. Kamu dengar, Revan? Kamu harus manfaatkan kesempatan jam tiga sore nanti."

"Tentu, Tante," jawab Revan. Ia menoleh ke Valeria, matanya penuh keyakinan. "Lo nggak perlu khawatir. Proposalnya sudah sempurna. Gue punya semua data akademik lo, gue akan tunjukkin ke dia kalau bisnis ini malah bikin lo lebih fokus."

"Dan soal Papa?" tanya Valeria.

"Mamamu yang akan meyakinkan Papa kamu, percaya sama gue. Tugas lo hari ini cuma satu: fokus sekolah dan jangan sampai ada cacat sedikit pun," perintah Revan. "Jam tiga nanti, kita akan ubah permainan ini."

Revan dan Valeria berpamitan kepada Tante Kiara dan segera berangkat sekolah. Mereka duduk di motor Revan, namun suasana di antara mereka terasa berbeda. Harapan bercampur dengan kecemasan.

"Gue takut, Van," kata Valeria di tengah perjalanan. "Gue takut bikin semuanya berantakan."

"Lo nggak akan berantakan," tegas Revan, suaranya mantap. "Semua yang kita lakukan ini demi lo. Lo cuma perlu percaya pada gue dan diri lo sendiri. Hari ini, di sekolah, lo buktikan kalau lo adalah partner yang berharga. Tunjukkan kalau lo bisa memegang kendali atas hidup lo."

Valeria merasakan kehangatan dari kata-kata Revan. Tekanan itu belum hilang, tetapi kini ia tahu ia tidak menghadapinya sendirian.

...****************...

Revan dan Valeria tiba di sekolah dan memarkirkan motor. Tak lama, Kian dan Liam juga tiba, memarkirkan motor mereka tepat di samping Revan.

"Tumben kalian barengan? Biasanya Valeria sama Tantenya," kata Liam.

"Iya, gue yang jemput," jawab Revan.

Tepat saat itu, Damian baru saja tiba. Damian melihat Valeria, Revan, Kian, dan Liam berkumpul. Ia segera memarkirkan motornya, lalu menghampiri mereka.

"Ada apa nih? Pada kumpul di sini," tanya Damian.

Revan melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siswa lain yang terlalu dekat, lalu segera menyampaikan pembaruan singkat.

"Jam tiga sore ini, presentasi formal. Tante Diandra mau dengar langsung. Dia setuju Valeria join dengan syarat cuma sama gue," jelas Revan. "Ini briefing cepat: kalian tetap di belakang layar. Di sekolah, kita semua bersikap seperti biasa, tidak ada yang berubah. Tapi di luar jam sekolah, Damian, lo menghilang total dari lingkungan rumah Valeria. Jangan hubungi dia, jangan datang ke rumahnya."

Valeria mengangguk, menguatkan dirinya. Damian menghela napas, wajahnya terlihat kecewa, tetapi ia mengerti risikonya.

"Oke," kata Kian, cepat mengambil kendali. "Liam, file revisi terakhir kirim ke ponsel Revan sekarang. Val, semangat! Kita ketemu besok."

Mereka berempat bubar, bersiap menghadapi hari sekolah yang panjang. Valeria dan Damian kini bisa berjalan beriringan seperti biasa menuju kelas, dengan rahasia besar yang mereka simpan rapat-rapat: bahwa bisnis ini adalah cover untuk kebebasan Valeria, dan bahwa mereka harus berpura-pura normal sebelum ujian sesungguhnya datang pada jam tiga sore.

...****************...

Di sepanjang hari itu, Valeria menunjukkan kinerja terbaiknya di kelas, fokus pada setiap pelajaran. Sementara itu, Damian menjalankan perannya dengan sempurna.

Mereka duduk sebangku saat makan siang, tertawa dan mengobrol seperti biasa, tanpa ada yang tahu bahwa mereka sedang menjalankan misi rahasia yang melibatkan persaingan bisnis orang tua dan pembebasan Valeria dari rumahnya.

Namun, di balik tawa mereka, ada kecemasan besar.

Bel masuk berbunyi nyaring, mengakhiri sesi istirahat. Valeria dan Damian masuk ke kelas mereka. Begitu juga Revan, Kian, dan Liam yang kembali ke kelas mereka juga.

Sesampainya di kelas, Valeria duduk di kursinya, namun ia terlihat sangat cemas. Tangannya terus meremas ujung rok seragamnya di bawah meja.

Damian yang duduk di sebelahnya, segera menyadari ketegangan Valeria. Ia menyentuh lengan Valeria, memberikan sentuhan ringan yang hanya mereka berdua rasakan.

"Hei," bisik Damian, suaranya pelan dan menenangkan. "Tenang. Lo sudah melakukan bagian lo dengan sempurna. Sekarang, biarkan Revan dan proposal kita yang bekerja."

Valeria menoleh ke arah Damian. "Gue cuma takut Mama mengubah pikirannya lagi, Dam. Apalagi kalau nanti Papa ikut campur. Semua yang kita rencanakan bisa hancur cuma dalam satu jam."

"Nggak akan," tegas Damian. "Kita punya Kian yang sudah bikin proposal anti-tembus pandang, dan Revan yang akan jadi tameng lo. Ingat, ini demi lo. Tahan sedikit lagi."

Damian menarik tangannya, memberi senyum meyakinkan sebelum guru masuk ke kelas.

...****************...

Di kelas Revan, Fara yang duduk di samping Aluna berbisik.

"Lun," sapa Fara.

"Ya," balas Aluna.

"Lo lihat, ada yang aneh dengan mereka," kata Fara, melirik ke arah Revan, Kian, dan Liam.

"Siapa?" tanya Aluna.

Fara mendesis. "Siapa lagi kalau bukan Revan, Kian, dan Liam. Mereka seperti tegang dan serius. Kenapa mereka?"

"Iya, kenapa, ya?" tanya Aluna balik.

"Kenapa lo nanya balik ke gue? Gue kan nanya lo!" kesal Fara.

"Gue juga nggak tahu, Fara," kata Aluna membela diri.

"Lo kan dekat sama Revan. Coba lo tanya sama dia. Tadi juga tumben mereka berangkat bareng," desak Fara.

"Nggak ah, gue nggak enak nanyanya," tolak Aluna.

"Ah, lo mah," sungut Fara.

Aluna menatap Revan yang duduk di meja depan. Revan merasa ada yang menatapnya. Ia pun menoleh dan mata mereka bertemu.

Aluna menanyakan tanpa suara, Lo oke?

"Oke," jawab Revan singkat, lalu segera memfokuskan matanya ke depan. Ia tidak ingin terlibat dalam percakapan yang bisa membuatnya kehilangan fokus.

Satu jam kemudian, pelajaran selesai. Bel pulang berbunyi. Guru yang mengajar keluar kelas. Revan langsung bangkit dan keluar, disusul oleh Kian dan Liam yang bergerak cepat.

Fara dan Aluna saling menatap, heran melihat ketiga cowok itu keluar kelas dengan terburu-buru.

Di lorong sekolah, Revan, Kian, dan Liam bertemu Damian dan Valeria.

"Yuk, Val, kita pulang," ajak Revan, suaranya terdengar mendesak.

"Ya," kata Valeria, lalu ia menoleh ke Damian. "Dam gue duluan, ya."

"Ya, hati-hati, Revan," kata Damian, menunjukkan keengganannya untuk berpisah.

"Ya, lo tenang aja, Dam. Yaudah, gue duluan yah, Kian, Liam," kata Revan.

Revan dan Valeria segera bergegas keluar dari sekolah, meninggalkan Damian, Kian, dan Liam yang hanya bisa melihat mereka pergi. Tugas mereka sekarang adalah menunggu dengan cemas.

Revan melajukan motornya dengan sedikit cepat. Ia sesekali memastikan Valeria aman dari kaca spion, melihat ekspresi tegang di wajah gadis itu. Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Valeria.

Valeria turun dari motor dan melangkah ke pintu. Ia mengetuknya, dan tak lama kemudian Bi Sri membukanya.

"Bi, Mama sudah pulang belum?" tanya Valeria.

"Belum, Non. Katanya jam tiga baru pulang," jawab Bi Sri.

"Oh, ya, makasih, Bi," kata Valeria, merasa sedikit lega karena memiliki waktu untuk mempersiapkan diri.

Tepat saat itu, Tante Kiara datang menghampiri mereka dari ruang tengah.

"Valeria, kamu sudah pulang? Ngapain di luar? Ayo, kalian masuk," ajak Kiara.

"Iya, Tante. Ayo, Van," kata Valeria, menuntun Revan masuk.

Bi Sri tersenyum ramah kepada Revan. "Kalau begitu, saya permisi ke dapur, Bu."

"Iya, Bi," kata Kiara.

Kiara menatap Valeria dan Revan. "Valeria, kamu ganti pakaian kamu dulu. Setelah itu, kita makan siang bersama sambil nunggu Mama kamu pulang. Sekitar satu jam lagi," ujar Kiara, memberikan jadwal pasti yang membantu menenangkan kecemasan mereka.

Valeria segera ke kamarnya untuk berganti pakaian. Sementara itu, Revan duduk di ruang tamu, merasakan ketegangan yang sama. Kiara ikut duduk di sofa seberang Revan.

"Tante tahu kamu gugup, Revan," ujar Kiara, lembut. "Tapi Tante percaya kalian berdua. Tante sudah siapkan makanan, jadi manfaatkan waktu ini untuk mengisi energi."

"Terima kasih, Tante," balas Revan. "Semoga saja Papa Valeria bisa membantu kami."

"Papa Valeria itu hatinya lembut," kata Kiara meyakinkan. "Dia hanya menghindari konflik dengan Diandra. Tapi jika proposal kalian benar-benar kuat, dia tidak akan menolaknya. Kunci utamanya ada pada Valeria; tunjukkan bahwa dia punya minat dan kendali."

Valeria turun tak lama kemudian, sudah berganti pakaian santai. Mereka bertiga kemudian menuju meja makan. Selama makan siang, Revan dan Valeria banyak terdiam, menyusun kembali poin-poin presentasi di benak mereka.

Jarum jam bergerak lambat. Pukul 14.00. Kurang satu jam lagi Diandra akan tiba, dan ujian sesungguhnya akan dimulai.

Setelah makan siang, Tante Kiara melihat Valeria dan Revan masih terlihat tegang.

"Supaya kalian nggak tegang, Tante akan buatkan minuman dingin untuk kalian. Gimana kalau kalian duduk di ruang tengah saja, oke?" kata Kiara.

"Iya, Tante," balas Valeria.

"Ayo, Van," ajak Valeria.

Mereka pun menuju ruang tengah. Sementara itu, Kiara pergi ke dapur membuat minuman dingin. Tak lama kemudian, minuman pun jadi. Kiara memberikannya kepada Revan dan Valeria.

Tepat saat itu, bel pintu berbunyi. Bi Sri, yang sedang membereskan meja makan, mendengar itu dan berjalan ke pintu.

Kiara berkata kepada Valeria, "Kalian jangan lupa diminum minumannya. Tante mau lihat siapa yang datang."

"Iya, Tante," kata Valeria.

"Makasih minumannya, Tante," kata Revan.

"Sama-sama, Revan," balas Kiara.

Kiara kemudian berjalan ke ruang tamu, dan melihat seorang pria paruh baya berdiri di sana. Tak lain, ia adalah Pak Bimo, guru les Valeria.

"Selamat siang, Kiara," sapa Pak Bimo.

"Ah, Pak Bimo! Selamat siang. Sudah lama tidak bertemu," balas Kiara.

"Iya, tapi tidak begitu lama, Kiara," kata Pak Bimo tersenyum.

Kiara segera sigap. "Sebentar ya, saya akan panggilkan Valeria-nya." Ia lalu berpesan kepada Bi Sri, "Bi, tolong buatkan minum sama cemilan buat Pak Bimo."

"Baik, Bu," kata Bi Sri.

"Pak, tunggu di sini sebentar ya. Ah, atau bagaimana jika belajarnya di ruang tengah saja? Valeria ada di ruang tengah," usul Kiara.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Di mana saja belajarnya tidak apa-apa, yang penting tempatnya aman dan kondusif," kata Pak Bimo.

"Baiklah, mari saya antar," kata Kiara.

"Mari," balas Pak Bimo.

Mereka pun berjalan ke ruang tengah. Sesampainya di sana, Valeria berdiri menatap kedatangan Pak Bimo. Revan melihat arah pandang Valeria dan ikut berdiri.

Siapa ini? tanya Revan dalam hati.

Kiara berkata, "Val, kamu ambil buku dan alat tulis kamu. Sekarang jadwal les kamu."

"Iya, Tante. Kalau begitu Valeria permisi," kata Valeria.

"Iya, sayang," kata Kiara.

Valeria menoleh ke Revan. "Van, gue tinggal sebentar ya."

"Iya," jawab Revan.

"Maaf, ini siapa?" tanya Pak Bimo ramah.

"Oh, ini Revan, temannya Valeria," kata Kiara.

"Saya Revan," ujar Revan memperkenalkan diri.

"Ya, salam kenal. Saya Bimo, guru les bisnis Valeria," kata Pak Bimo.

Jadi, dia guru les bisnis Valeria, pikir Revan, menyadari betapa seriusnya Diandra mempersiapkan Valeria.

Kiara menambahkan, "Iya, Revan. Dia ini sangat hebat dalam bidang bisnis. Dia juga Profesor. Orang biasanya memanggil Pak Bimo Profesor Bisnis."

"Ah, begitu. Boleh juga sepertinya menarik," kata Revan, dalam hati ia kemudian cepat mengambil peluang. "Kalau begitu Revan juga mau gabung, Pak. Tapi setiap hari apa belajarnya?"

"Ibu Diandra memberikan jadwal belajar bisnis itu tiga hari pertemuan: itu artinya setiap Senin, Selasa, dan Rabu," jelas Pak Bimo.

Astaga, ternyata jadwalnya padat juga, ya, pikir Revan, kagum sekaligus prihatin dengan beban Valeria. Ia kemudian berkata, "Apa setiap jam segini belajarnya, Pak?"

"Iya, tapi terkadang jika saya tidak bisa jam segini, saya akan menghubungi Bu Diandra dan memberitahunya kalau jam pelajarannya diundur. Bisa sore hari atau malam hari, seperti itu," jawab Pak Bimo.

"Ehm, begitu ya," kata Revan.

Tepat saat itu, Valeria tiba dengan buku dan alat tulisnya.

"Baiklah, bagaimana Valeria, sudah siap untuk belajar hari ini?" tanya Pak Bimo.

"Iya, Pak," jawab Valeria.

Valeria kemudian berkata kepada Revan, "Revan, gue mau les dulu, ya. Lo nggak apa-apa kan gue tinggal?"

"Nggak apa-apa. Gue juga mau ikut belajar bareng lo," kata Revan, memutuskan untuk memanfaatkan setiap detik.

"Apa, lo serius?" tanya Valeria, terkejut.

"Iya, gue serius," balas Revan.

"Baiklah, sudah siap, anak-anak? Bisa kita mulai belajarnya?" tanya Pak Bimo, senang melihat semangat Revan.

"Bisa, Pak," jawab Valeria.

Revan segera duduk di samping Valeria.

Bersambung......

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!