Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Telah Terjadi
Beberapa hari sudah berlalu, tapi rasa kehilangan di hati Melati belum juga mereda, kali ini terasa lebih sakit, dari kehilangan sebelum-sebelumnya. Apakah karena hubungan yang sudah terjalin lama? Sementara dengan kedua orang tuanya begitu singkat?
Terlebih lagi, Melati pernah mencurigai si mbok sebagai dalang hancurnya keluarga kecilnya.
"Mbok, maafin Melati. Melati sempet suudzon sama mbok," gumam Melati yang sedang menanak nasi di dapur.
Sementara itu, keuangan juga sudah sangat menipis, minyak tanah habis, padi di gudang pun mulai berubah. Bau apek menusuk hidung setiap kali karung-karung itu dibuka. Bulirnya tak lagi bening, sebagian menghitam, sebagian lain dihuni kutu kecil yang berloncatan. Melati hanya bisa menatapnya dengan getir saat membuka karung padinya.
“Kalau begini, apa yang bisa dimakan besok?” bisiknya lirih, air matanya menetes membasahi pipinya, Melati pun segera mengusap pipinya yang basah.
Kemuning yang sedari tadi memperhatikan dari pintu, hanya mampu menunduk. Ia tahu, tanpa si mbok, hidup mereka makin berat.
Singkat cerita, sekarang di meja makan hanya ada daun singkong, tempe goreng dan sambal mentah.
"Besok aku nggak tau lagi caranya bertahan," gumam Melati seraya mengambilkan sesendok nasi hangat untuk Seno.
Seno terdiam, hadirnya hanya menambah beban di rumah yang terasa sunyi sepi itu.
Lalu, Seno mendongak, dia menatap Melati. "Besok aku cari kerja, Mel," ucapnya dan Melati menjawab dengan mengangguk pelan.
Kini malam menjemput, semua sudah berada di ranjangnya masing-masing, di kamar Melati, dia tau kalau si mbok masih belum bisa meninggalkannya, seandainya mayat itu tak segera ditemukan warga, mungkin si mbok masih di sini bersama Melati walau dengan wujud lain.
Dia pun semakin menangis, merasa kalau dirinya sudah jahat, tak perduli pada si mbok, hanya memperdulikan dirinya saja.
"Mel, jangan nangis terus, aku tau semua terasa berat, tapi di sini kamu harus tetap melanjutkan hidup!" kata Seno seraya menoleh ke istrinya.
"Mbok udah seperti ibu buat kami, malah hidup kami lebih lama sama si mbok dari pada sama orang tua sendiri," jawab Melati dengan terisak.
Seno menjawab dengan menarik nafas dalam, dia tak tau lagi harus bicara apa untuk menenangkannya. Akhirnya, dia pun memilih diam, membiarkan Melati selesai dengan perasaan sedih atas kehilangan si mbok.
Sementara itu, di kamar Kemuning, dia menutup matanya, tak mau membuka mata karena sosok itu semakin tidak tau diri, terus membujuk Kemuning untuk ikut dengannya.
"Aku nggak mau!" akhirnya, Kemuning memberontak dan sosok itu meloncat dari ranjang, baru pertama kali ini dia melihat Kemuning marah.
Gadis itu merubah posisinya untuk duduk, menatap tajam sosok yang berjongkok di depan lemarinya.
"Pergi dari sini, aku nggak mau kenal sama kamu lagi!" kata Kemuning dan sosok yang ada di depannya itu menangis, seolah tersakiti oleh ucapan gadis itu.
Diam, Kemuning menatapnya sedikit lama dan saat itu pandangannya berubah, matanya menyipit, keningnya mengernyit, seperti melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat.
Ya, sosok yang semula dengan wujud seperti mas mas, kini terlihat menyeramkan, kepalanya yang botak dan mengeluarkan tanduk kecil.
Sosok itu tertawa lebar membuat Muning dapat melihat gigi-giginya yang menghitam dan runcing.
"Sudah terlambat!" ucapnya kemudian, dia pun loncat ke arah Muning duduk, menyergap gadis itu membuatnya tak sadarkan diri.
Esok paginya, Melati masuk ke kamar Kemuning, dia melihat adiknya masih tertidur pulas. "Dek, bangun!" Dan Kemuning masih juga tak menanggapi.
Lalu, Melati membuka tirai, berharap Kemuning membuka mata saat sinar matahari masuk ke kamarnya.
Tapi, gadis itu masih tetap memejamkan mata membuat Melati berpikir yang tidak-tidak, dia pun meletakkan jari telunjuknya ke depan hidung Kemuning.
Nafas itu masih ada, tapi kenapa Muning tak mau menanggapinya?
Di sisi lain, Kemuning yang berada di alam si mas itu merasa senang lantaran dia memiliki dua kaki, berjalan normal seperti dulu.
Dia bermain lari-larian, kejar-kejaran dengan si mas dan di sana juga Kemuning merasa ada kedamaian, seolah tak memiliki beban seperti kehidupan sebelumnya.
Tapi, tiba-tiba satu nama membuatnya ingin kembali. Dia adalah Melati.
Kemuning pun membuka mata, dia melihat sang kakak tengah menepuk-nepuk pipinya dengan panik.
"Mbak, ada apa?" tanya Kemuning.
"Kamu yang ada apa? Kenapa dibangunin nggak mau bangun?" sergah Melati dan Kemuning pun menjawab dengan menggeleng.
Tak curiga dengan apa yang terjadi karena Melati sama sekali tidak tau apa yang sedang dialami sang adik, dia hanya mengira kalau Kemuning sedang kelelahan.
Sementara itu, Seno sudah berkeliling mencari pekerjaan, tapi sama sekali tak mendapatkannya.
Dia pulang dengan membawa rasa lelah, Melati menyambutnya. "Memangnya, kamu nyari kerjaan kemana?"
"Ke toko-toko, pasar, apa saja. Tadi juga nanya kerjaan ke juragan penggilingan sebelah, malah dicurigai," jawab Seno.
Hening, semua orang diam, kesulitan ekonomi mulai terasa.
"Oia, kalau kita merantau saja bagaimana?" celetuk Seno.
"Merantau?" tanya Melati.
"Iya, kita nyari kerjaan di Jakarta, banyak orang pada sukses di sana," jawab Seno dengan antusias.
Akhirnya, kesepakatan pun diambil, dengan menggadaikan sisa sawah dengan harga yang murah, Seno berjanji akan menebusnya lagi ketika kesuksesan di Jakarta sudah dia dapatkan.
Di perjalanan, Melati tak berhenti berdoa, berharap rencana Seno berjalan lancar. Mereka ingin mengadu nasib di kota, menjadi pengusaha buah atau sayur seperti tetangganya yang sukses merantau.
Melati menoleh, menatap sang adik yang tertidur di sisinya, lalu beralih ke Seno yang duduk di bangku seberang. Hatinya penuh doa agar kebahagiaan selalu menyertai mereka. Namun seketika, bus yang mereka tumpangi bergetar hebat, terhuyung ke kanan dan kiri.
"Ada apa, Pak sopir?" teriak seseorang panik.
"Bannya kempes sebelah!" jawab sopir dengan wajah tegang, kedua tangannya mencengkeram erat kemudi.
Orang-orang mulai berteriak, tubuh mereka terbanting ke sana kemari. Suara logam beradu, kaca bergetar, bus semakin oleng. Hingga akhirnya, satu hentakan keras menghentikan segalanya.
Bruuaaakkkk! Bus menabrak pembatas jalan, tubuh-tubuh terhempas, jeritan pecah di udara, dan debu bercampur dengan bau anyir yang menusuk.
Pandangan mereka mulai gelap, tak sadarkan diri.
Beberapa waktu kemudian, Melati terbangun dari pingsannya, kepalanya perih, nafasnya berat. Matanya mencari, lalu membeku, Seno tergeletak, darah mengalir di pelipisnya. Melati berusaha meraih, mengguncang tubuh pria itu dengan tangan gemetar.
"Seno, bangun! Bangun, Sen!" suaranya pecah, hanya disambut diam yang membisu.
Di tengah kaca berserakan dan tangisan korban lain, Melati tau kalau doanya tak pernah terkabul. Seno sudah pergi, meninggalkan mereka di jalan penuh luka itu.
Kepergian sang suami membuat ibu dan ayah Seno meradang, mereka menyalahkan Melati dan Kemuning sebagai penyebabnya.
Tapi, mereka hanya diam atas tuduhan itu, merasa dan sadar diri kalau apa yang mereka katakan itu benar.
Di tengah suasana berkabung, Melati tertawa seperti orang gila, dia tertawa lepas di depan jenazah suaminya. "Bukannya aku tau kalau suatu saat ini akan terjadi?" tanyanya pada diri sendiri.
Mendengar itu, keluarga Seno yang sudah siap untuk memakamkan sang putra itu saling menatap heran.
"Dasar, pembawa sial, gila!"
Melati terdiam, lalu menangis sesenggukan, tapi tiada siapapun yang memeluknya selain Kemuning.
Melati menunduk, dia merasa bahkan untuk pergi dari kampung penuh luka ini pun seolah tak di izinkan.
Bersambung dulu, ya. Terima kasih yang setia membaca cerita receh ini.