NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:917
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Taman Kenangan

Shavira merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hening malam hanya ditemani suara hujan yang samar terdengar dari balik jendela. Tangannya meraih ponsel yang masih terhubung ke charger di atas nakas.

Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah foto lama: dirinya kecil, berdiri diapit sepasang suami istri—ayah dan ibunya.

Sudut bibirnya perlahan terangkat, tapi senyum itu rapuh. Jari-jarinya menyentuh layar, mengusap wajah kedua orang tuanya, seakan ingin menembus batas benda mati itu. Ada rasa rindu yang menyesakkan, bercampur kecewa dan marah.

"Ayah... Ibu..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Ia meletakkan ponsel itu di atas dadanya, seperti ingin memeluknya erat, seolah dengan begitu ia bisa tidur kembali di pelukan mereka.

Matanya perlahan terpejam, tapi air mata lolos juga dari kelopak mata, mengalir diam-diam ke pelipis. Malam itu, Shavira tertidur bersama rindu yang tak pernah terbalaskan.

---🍃🍂

"Hah? Di mana gue...?"

Shavira berdiri terpaku, matanya berkeliling ke segala arah. Napasnya tercekat, pupil matanya membesar. "Ini..." suaranya terputus. Ia lalu berlari kecil, panik, seperti orang yang baru terbangun di dunia asing. "Ini mimpi kan?"

Langkahnya terhenti ketika menyadari sesuatu. "Wah... ini—taman kota," gumamnya dengan suara bergetar.

Semua terasa begitu nyata. Udara segar, aroma rumput basah, suara burung yang beterbangan. Shavira terhuyung, matanya membulat. Ia seperti kembali ke dua puluh tahun lalu.

"Yah! Ibu! Vila mau main ayunan!" terdengar suara tawa ceria dari kejauhan.

Shavira menoleh cepat. Air matanya langsung jatuh begitu melihat pemandangan itu—seorang pria dengan wajah hangat menggendong anak kecil, sementara di sampingnya seorang perempuan berambut pendek tertawa sambil membawa gulali berbentuk Hello Kitty.

"Ayah... Ibu..." suara Shavira tercekat. Tangis yang lama ia tahan akhirnya pecah. "Hiks... Ayah... Ibu..."

Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, bahunya bergetar.

Tiba-tiba, ada suara tenang di sampingnya.

"Ini mimpi kamu. Kamu bebas mau ngapain di sini."

Shavira mendongak. Matanya membesar. "Sam...?!"

Lelaki itu berdiri di sisinya, sama dingin dan misterius seperti biasa. Tapi entah kenapa, dalam momen itu, keberadaannya terasa menenangkan.

"Lo... yang bikin ini semua?" tanyanya terbata.

Sam hanya mengangguk singkat.

Shavira langsung meraih tubuhnya, memeluk erat. "Makasih..." ucapnya di balik suara serak yang tenggelam di dada pria itu.

Sam sempat terkejut, kaku. Tapi perlahan tangannya ikut terangkat, menyentuh punggung Shavira. Hening. Hanya suara angin dan gemericik air danau yang menemani pelukan mereka. Sesaat, dunia seakan ikut merestui, membuat taman itu berubah jadi tempat paling damai di muka bumi.

Begitu pelukan terlepas, Shavira menyeka air matanya. Ia tersenyum kecil, meski matanya masih sembab. "Ayo... jalan sebentar."

"Kamu tidak ingin menyapa mereka?"

Shavira melipat bibirnya, lalu menggeleng pelan. "Aku gak mau ganggu waktu bahagia mereka, melihat dari kejauhan sudah cukup bikin rasa rindu aku terobati"

Mereka menyusuri jalan setapak di tepi danau. Daun-daun bergoyang tertiup angin, memantulkan cahaya matahari sore yang hangat.

"Dulu, gue sering banget diajak orang tua gue ke sini," cerita Shavira, suaranya mengandung nostalgia. "Setiap kali ayah gajian, ibu masak enak, terus kita piknik di dekat danau ini."

Ia melangkah ke sebuah kursi panjang kayu, duduk sebentar, lalu menunjuk ke arah danau. "Liat itu."

Sebuah perahu bebek kuning mengapung, pelan digerakkan arus. Shavira terkekeh kecil. "Dulu gue sering diajak ayah naik itu. Gue ketawa sampai sakit perut." Matanya berbinar saat mengingatnya, meski ada kabut kesedihan di sana.

Sam berdiri di sampingnya, menatap dengan wajah sendu. Tatapannya sulit ditebak, tapi jelas ia ikut merasakan sesuatu.

Shavira menoleh, wajahnya penuh semangat. "Mau coba naik?"

Sam membuka mulut, belum sempat menjawab, Shavira sudah lebih dulu menggenggam tangannya.

"Ayo!"

Ia menariknya penuh antusias ke arah penjaga perahu, seperti anak kecil yang tak sabar mengulang kenangan manisnya.

Shavira menyeret tangan Sam tanpa ampun. Lelaki itu hanya menuruti, wajahnya tetap datar tapi tatapannya sedikit berubah—ada halusnya senyum samar yang nyaris tak terlihat.

"Pak! Sewa perahu bebeknya satu ya!" seru Shavira penuh semangat.

Penjaga perahu menoleh, tersenyum ramah sambil mengangguk. "Silakan, Neng."

Shavira melompat masuk duluan, langsung duduk di kursi kecil perahu kuning itu. "Ayo, Sem!" panggilnya sambil menepuk-nepuk kursi di sampingnya.

Sam melangkah masuk, duduk dengan gerakan hati-hati. Perahu mulai meluncur pelan, meninggalkan dermaga kecil, mengapung di atas permukaan danau yang berkilauan memantulkan sinar matahari sore.

Shavira menatap sekeliling dengan mata berbinar. "Ya ampun... rasanya bener-bener kayak dulu. Waktu kecil, gue suka banget ketawa ngakak sampai ayah gue kesel karena perahunya oleng." Ia tertawa kecil, tapi tawa itu cepat memudar jadi senyum getir. "Sekarang... yang tersisa cuma kenangan."

Sam menoleh, menatapnya lama. "Kenangan itu... juga bagian dari hidup."

Shavira menoleh balik, sempat terdiam, lalu tersenyum. "Lo bisa juga ya ngomong bijak begitu."

Ia lalu menengadah, menutup mata sebentar, membiarkan angin sepoi membelai wajahnya. "Andai gue bisa berhenti di sini aja... nggak usah bangun, nggak usah mikirin mati."

Sam tidak menjawab. Hanya ada tatapan dalam yang sulit ditebak—antara iba, kagum, atau mungkin sesuatu yang bahkan dia sendiri enggan akui.

Perahu bebek terus meluncur, menciptakan riak kecil di permukaan air. Suasananya begitu damai, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua.

Shavira membuka mata lagi, lalu menoleh pada Sam. "Eh, tau nggak... kalau dulu gue suka pura-pura nyetir kapal waktu duduk di sini. Sambil bilang ke ayah, ‘Awas! Ada monster laut!’" katanya sambil tertawa, tangannya refleks memutar-mutar setir mainan di depannya.

Untuk pertama kalinya, Sam tersenyum tipis, begitu samar hingga nyaris tak terlihat. "Bocah," ucapnya singkat.

Shavira melotot, pura-pura marah. "Ihh lo! Jangan panggil gue bocah dong!"

Danau, angin, cahaya sore—semua terasa hangat. Untuk sesaat, Shavira benar-benar lupa bahwa semua ini hanyalah mimpi.

Tinit tinit tinit...

"Suara apaan tuh?"

.

.

.

🍃🍂

Tinit… tinit… tinit…

Suara nyaring alarm hp meraung dari atas nakas. Shavira mengerjapkan matanya pelan, wajahnya kusut seperti orang yang baru selesai perang. Dengan tangan berat, dia meraih hp dan menekan tombol stop.

Dia menghembuskan napas panjang lalu menegakkan tubuhnya, bersandar lemah di tembok. Rambutnya berantakan—acakadut, mirip singa belum keramas.

“Hhh… ternyata cuma mimpi,” ucapnya lirih.

Jari-jarinya meraba wajahnya sendiri, keningnya berkerut. “Hm? Kok basah?” Telapak tangannya menempel di pipi. Benar saja—sisa air mata masih ada di sana. “Gue… habis nangis?” gumamnya bingung, rasa antara percaya dan tidak.

Mendadak tubuhnya bangkit dari kasur, kaki-kakinya berlari ke luar kamar. Clek! pintu terbuka.

“Sam!” panggilnya, napasnya agak terengah.

Matanya menyapu seisi ruangan, tapi kosong. Tidak ada Sam. Bahkan kucing hitam itu pun lenyap. Hanya ada sunyi. entah kemana mereka pergi

Ia melangkah ke kamar mandi, air dingin menyambut kulitnya, membuatnya sedikit segar. Setelah selesai, Shavira membentangkan sajadah dan menunaikan sholat subuh. Doanya kali ini agak panjang, ada harap yang tidak sempat ia ucapkan keras-keras.

Habis itu, ia menuju dapur. Tangannya mulai lincah mengambil beberapa bahan sederhana dari kulkas.

“Hari ini bikin yang gampang aja deh,” gumamnya sambil mengiris sayuran. Wajan panas menyambut daging, suara desisnya seperti musik pagi. Aroma kebab perlahan menyeruak, mengisi ruangan dengan kelezatan yang bikin perut keroncongan.

Shavira duduk di sofa sambil menikmati sarapannya. TV menyala, berita pagi jadi teman. Tapi matanya lebih sering tertuju pada sebuah notes kecil di meja. Sampulnya berwarna cokelat, sudah agak lecek karena sering dibawa ke mana-mana.

Dia membuka halaman yang penuh coretan rencana kecilnya. Di sana, beberapa sudah tercoret:

[v]  Jalan ke mall sama Sam

[v] Bertemu ayah,ibu

[  ]  Ke pantai

Shavira tersenyum kecil, hatinya hangat melihat daftar itu. “Oke, hari ini… ke pantai!” katanya mantap, sambil mencoret kotak terakhir dengan semangat.

Ia menutup notes itu dengan senyum yang tulus, seolah sedang berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan menyia-nyiakan waktu yang masih diberikan padanya. Lalu, sambil menikmati gigitan terakhir kebab hangatnya, ia menatap keluar jendela. Langit masih pucat, tapi hatinya sudah penuh rencana.

Tring!

Suara notifikasi ponsel membuyarkan fokus Shavira dari TV. Ia meraih hp di meja, layar menampilkan pesan baru:

📩

dr. Hendri : Mbak Vira, apa kabar? Hari ini bisa datang ke rumah sakit? Saya mau cek kondisi jantung Anda.

Shavira mendesah pelan. Alisnya menurun, matanya sekilas kosong menatap layar. Rasa malas dan getir bercampur jadi satu. “Hhh… jantung lagi, jantung lagi,” gumamnya lirih.

Shavira berdiri, gerakannya agak terburu, seolah tak mau larut dalam pikiran yang bikin sesak. Ponsel ia masukkan ke dalam sling bag hitamnya. “Sudahlah,” gumamnya pelan, seakan ingin menutup telinga dari panggilan dunia medis yang sudah terlalu sering ia dengar.

Tanpa menoleh lagi ke meja, Shavira melangkah keluar. Langkah kakinya terdengar mantap, tapi di balik itu, ada hati yang masih goyah. Kantor jadi tujuan berikutnya, tempat di mana ia bisa berpura-pura sibuk, berpura-pura normal, seakan hidupnya tidak sedang dihitung mundur.

---🍂

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!