Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29 Dilema
Happy reading
"Anak se-tan!" Tamparan keras mendarat cantik di pipi Dariel. Wajahnya terhempas dan terlukis jejak tangan kekar bersemu merah.
Dariel tak kuasa menghindar. Bahkan terlihat pasrah.
Ia rela jika papanya meluapkan kemurkaan dengan menghadiahkan tamparan. Bahkan mungkin menghajarnya hingga tak berdaya.
Anton kalap.
Ia kembali melayangkan tamparan, hingga membuat hidung Dariel mengeluarkan darah segar.
"Bajing**! Papa tidak sudi mempunyai anak sepertimu."
Tinjuan yang hampir berlabuh di perut Dariel, berhasil dicegah oleh Andra. Dengan secepat kilat tangan Andra mencengkram tangan papanya untuk melindungi Dariel.
"Cukup, Pa! Jangan seperti ini! Dariel putra Papa. Dia bisa mati jika Papa terus menghajarnya," ujarnya sambil menghempas pelan tangan Anton.
"Andra benar, Pa. Jangan menghajar Dariel lagi. Mama mohon! Mama tidak ingin kehilangan putra Mama." Natalie turut bersuara dan memperlihatkan mimik wajah memohon disertai linangan air mata.
"Papa malu, Ma. Bahkan teramat malu." Anton mengepalkan tangan, lalu meninju dinding sampai buku-buku jarinya memar.
"Pa, kita sudah meminta maaf pada Maria dan keluarganya. Mama yakin, mereka bisa menerima permintaan maaf kita --"
"Ma, Papa bukan hanya malu pada Maria dan keluarganya. Tetapi, Papa juga malu pada Nisa dan Firman. Bahkan teramat malu." Anton memangkas ucapan Natalie dengan meninggikan intonasi suara.
"Malam ini, bukan kita yang sukses memberinya kejutan. Tapi dia. Anak se-tan itu!"
Dada Anton kembang kempis, menahan amarah yang kian meluap.
Bukan gagalnya perjodohan Dariel dengan Maria yang membuatnya teramat murka. Melainkan, kenyataan pahit yang didengarnya dari bibir Firman melalui sambungan telepon.
"Papa tidak menyangka, dia tega meno-dai Dira sampai membuatnya hamil." Anton berucap dengan merendahkan suara. Namun ucapannya penuh penekanan. Laksana bukit yang menghantam raga. Meluluh lantakkan segumpal daging yang bersemayam di dalam dada dan meremukkan tulang-tulang hingga menjadi serpihan.
Lunglai
Tubuh Natalie luruh bersama kristal bening yang menetes di pipi.
"Benarkah? Benarkah putra kita meno-dai Dira?" Suara Natalie bergetar. Sungguh, ia serasa tak percaya dengan kenyataan pahit yang baru saja didengar.
"Iya, Ma. Yang dikatakan Papa memang benar." Bukan Anton yang memberi jawaban, melainkan Dariel.
"Bagaimana bisa kamu melakukan dosa besar itu, Riel?" Tangis Natalie pecah. Tubuhnya kian terasa lunglai kala mendengar pengakuan yang dituturkan oleh putranya.
Dariel lantas membawa tubuhnya bersimpuh di hadapan Natalie, lalu menunduk dalam.
Ia mengakui kekhilafan yang dilakukannya bersama Dira di Omah Kenangan dan menceritakan semua yang telah terjadi di antara mereka.
"Ma-afkan Dariel, Ma. Maaf --" ucapnya terbata diikuti titik-titik embun yang menetes dari kedua sudut netra.
Rasa bersalah mendekap erat, diiringi penyesalan yang mendalam. Membuatnya tak kuasa menengadahkan kepala, untuk sekedar menatap raut wajah yang terhias air kesedihan.
"Riel, kamu dan Dira tidak sepaham. Lantas, bagaimana kamu akan bertanggung jawab?"
"Demi Tuhan, Mama tidak rela jika kamu mengorbankan keyakinan. Mama juga tidak akan menerima Dira sebagai menantu, sebelum dia menanggalkan keyakinannya dan memeluk keyakinan kita."
"Ma --"
"Riel, Mama rela jika harus memutus hubungan baik dengan kedua orang tua Dira dan membayar mahal kekhilafan yang pernah kamu lakukan. Mama rela, karena yang terpenting bagi Mama ... putra Mama tidak berpaling dari Tuhan-nya."
Dariel terdiam. Ia dilema.
Memilih Dira dan menanggalkan keyakinan yang sudah dianutnya sejak kecil. Atau, menuruti kehendak mamanya dan melepaskan wanita yang dicinta, meski terasa sangat berat.
"Riel, sama seperti Mama. Papa pun tidak rela jika kamu mengorbankan keyakinan. Tapi, Papa teramat malu pada Firman dan Nisa yang sudah Papa anggap sebagai saudara --"
"Pa, hempaskan rasa malu Papa! Dariel dan Dira tidak akan pernah bisa bersatu, sebelum mereka memeluk keyakinan yang sama. Akhiri saja hubungan baik kita dengan mereka dan beri mereka sejumlah uang untuk menggugurkan kandungan Dira."
Ucapan Natalie mengoyak ulu hati dan mencipta amarah yang bersarang di dada.
Dariel tak percaya jika wanita berhati malaikat yang selama ini sangat dihormatinya, menuturkan kehendak yang jauh dari kata bijak.
Menyuruh Dira untuk menggugurkan kandungan?
Itu sungguh tidak benar dan bukan keputusan yang adil bagi Dira. Bahkan bagi dirinya.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah