NovelToon NovelToon
Kirana Gadis Indigo

Kirana Gadis Indigo

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.

Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.

Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28

Satu minggu telah berlalu sejak penyelesaian kasus di SMA Tunas Harapan. Nama Kirana dan teman-temannya perlahan mulai menyebar di antara komunitas sekolah-sekolah tua. Beberapa guru mulai menghubungi mereka secara diam-diam. Namun ada satu pesan yang paling aneh.

Bukan dalam bentuk email. Bukan juga melalui telepon.

Melainkan sebuah surat tanpa pengirim, ditulis dengan tinta merah, dan hanya satu kalimat:

"Sekolah di tepi pantai sedang menangis."

Surat itu datang tanpa alamat, tapi di baliknya tercetak peta kabur dengan nama samar: SMA Cakrawala Laut.

Perjalanan ke sekolah itu membutuhkan waktu lima jam naik mobil. Sekolah tersebut berdiri di atas tebing pinggir laut di kota kecil pesisir yang jarang dijamah orang.

"Kita gak punya kontak guru. Ini nekat banget," kata Kezia.

"Tapi justru itu menarik," ujar Jalu. "Sekolah ini bahkan gak tercantum di daftar resmi Dinas Pendidikan."

"Seolah sengaja disembunyikan," tambah Diriya.

---

Begitu sampai, mereka tertegun.

Sekolah itu... indah. Bangunannya seperti rumah kolonial lama. Halaman luas, dengan gerbang besi berkarat. Tapi yang membuat semuanya terasa aneh adalah suasana yang terlalu sepi.

Tak ada suara siswa. Tak ada suara bel. Tak ada tanda-tanda kehidupan kecuali seorang penjaga tua yang membuka gerbang sambil berkata pelan:

"Kalian akhirnya datang. Sudah ditunggu sejak kemarin malam."

---

Kirana menyipitkan mata. "Ditunggu? Oleh siapa?"

Penjaga itu tak menjawab. Ia hanya memberi mereka kunci kamar dan peta area sekolah.

"Lantai dua dilarang dimasuki setelah pukul lima sore," katanya.

---

Malam pertama mereka habiskan di kamar tamu sekolah. Angin laut menerpa jendela, dan suara deburan ombak tak pernah berhenti. Namun menjelang tengah malam, terdengar suara tangisan. Tangisan perempuan. Lembut, pelan, memecah sunyi.

Radit terbangun lebih dulu. Ia mengendap ke lorong dan melihat—bayangan putih berdiri di ujung tangga lantai dua.

"Hei!"

Tapi bayangan itu menghilang begitu disentuh cahaya senter.

---

Esok paginya, mereka menyelidiki ruang kelas. Tidak banyak siswa. Hanya ada lima kelas aktif, dan sebagian besar ruang kosong.

"Sekolah ini katanya punya seratus lebih siswa," bisik Nila. "Tapi aku cuma lihat sekitar dua puluh."

Diriya mengangguk. "Mereka menghindar. Kayak... takut."

Dan saat mereka memasuki aula sekolah, mereka menemukan lukisan besar tergantung di dinding. Lukisan bergaya kuno, menggambarkan seorang gadis berambut panjang mengenakan seragam sekolah putih abu-abu.

Di bawah lukisan tertulis:

" Kirana AyuningtyasYang tenggelam tidak selalu mati. Kadang, ia hanya menunggu di dasar."

---

"Kita harus ke lantai dua malam ini," kata Kirana tegas.

Radit menatapnya cemas. "Kita bahkan belum tahu siapa gadis di lukisan itu."

Kirana menggenggam catatannya. "Tapi dia tahu kita. Dan dia... menangis untuk sesuatu. Atau seseorang."

---

Malam berikutnya, tepat pukul 00.17, mereka naik ke lantai dua diam-diam.

Lorong itu lebih dingin. Aroma asin laut lebih terasa. Dan dari sebuah ruang kelas terkunci, terdengar suara... deru air.

"Apa itu? Ombak?"

Tapi tidak. Air... mulai merembes dari celah pintu. Padahal mereka ada di lantai dua.

Saat mereka membuka pintu itu perlahan... mereka melihat: Sebuah kelas yang dipenuhi air laut setinggi pinggang. Di tengahnya, gadis dalam lukisan itu berdiri, memandangi mereka.

"Selamat datang," bisiknya. "Sudah saatnya kalian tahu... tentang kelas yang tak pernah lulus."

---

...----------------...

Air laut menggenangi lantai dua ruangan itu, namun janggalnya tidak menyebar ke luar ruangan. Kirana berdiri paling depan, menatap gadis dalam lukisan yang kini berdiri nyata di hadapan mereka. Air menjalar lembut di sekeliling gadis itu, namun tubuhnya tetap kering. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajah pucatnya.

"Namaku... Melati," katanya dengan suara lirih namun jelas.

"Kau yang menangis di malam-malam itu?" tanya Kirana.

Melati mengangguk. "Kami... tidak pernah keluar dari ruangan ini."

Tiba-tiba, dari dalam air, muncul bayangan-bayangan lain. Satu per satu, sosok siswa muncul—semuanya mengenakan seragam SMA. Jumlahnya dua belas.

"Ini... kelas kami," bisik Melati. "Kami tidak pernah lulus karena... kami tidak pernah benar-benar mati. Kami dikurung."

Radit berbisik pelan pada Jalu, "Ini mirip seperti di sekolah sebelumnya. Tapi kali ini... bukan karena kutukan, tapi seperti... jebakan."

Melati menatap Kirana. "Kami adalah korban. Ada yang sengaja menenggelamkan kelas ini... dalam waktu. Ruang ini berdetak berbeda. Kami terjebak dalam satu malam. Hari di mana semuanya... hilang."

Kirana melangkah lebih dekat, hingga air merendam kakinya.

"Siapa yang melakukannya?"

"Kepala sekolah lama. Dia percaya akan legenda pelaut tua. Bahwa untuk menjaga pantai ini dari badai dan tsunami, harus ada satu kelas tiap sepuluh tahun yang... 'dikorbankan'."

Kezia menutup mulutnya ngeri. "Mereka... dikunci dalam dimensi ini?"

"Kami tidak sadar pada awalnya," ucap salah satu siswa lain. "Tapi malam itu... jam berhenti berdetak. Guru kami menghilang. Dan perlahan, tubuh kami tak bisa meninggalkan tempat ini."

Jalu menatap air yang makin dingin. "Kenapa sekarang bisa muncul lagi? Kenapa kami bisa melihat kalian?"

Melati mengangkat tangannya, menunjuk Kirana. "Karena kalian... telah membuka satu rantai sebelumnya. Dan sekarang... kami meminta kalian membuka yang berikutnya."

---

Esok harinya, mereka menyelidiki arsip sekolah. Tidak ada data tentang kelas Melati. Tapi mereka menemukan lembaran tua—surat dari kepala sekolah lama, Pak Dharma, yang menyebutkan "ritual pengunci ombak". Ada simbol yang sama seperti yang pernah mereka lihat di altar SMA Purnama Jaya.

"Mereka memakai sistem yang sama, tapi dengan cara berbeda," kata Diriya. "Bukan altar darah, tapi kurungan waktu."

Kirana menarik napas panjang. "Jadi kita harus merusak jam pusat. Waktu mereka dikunci... mungkin bisa dibuka kalau kita hancurkan pusatnya."

---

Malam ketiga, mereka kembali ke lantai dua. Melati dan teman-temannya sudah menunggu. Di tengah kelas, ada jam besar tua berdiri, detiknya berjalan mundur.

"Hancurkan itu," kata Melati. "Dan waktu kami akan kembali."

Radit dan Jalu menghampiri jam dengan alat pemukul besi.

"Siap, Ra?"

"Siap."

Dengan satu hentakan— BRANG!

Jam itu pecah. Detikannya berhenti.

Suara ombak berhenti. Air surut. Cahaya putih membanjiri ruangan.

Melati menatap Kirana. "Terima kasih. Kami akan pulang. Tapi... tidak semua dari kami akan lenyap. Ada satu... yang tak bisa pergi."

Kirana menatapnya. "Siapa?"

Melati menunduk. "Aku. Aku yang mengiyakan kepala sekolah saat itu... karena aku takut kehilangan semua teman. Aku bagian dari pengunci. Aku tidak bisa bebas... kecuali ada yang menggantikan."

Kirana melangkah. "Aku akan—"

Namun Diriya menahan lengannya. "Tidak. Kita akan cari cara lain. Tanpa pengorbanan. Seperti di tempat sebelumnya."

---

Dengan bantuan Melati, mereka akhirnya menemukan catatan asli ritual pengunci dan menghapusnya dengan membakarnya di halaman belakang sekolah.

Saat api menghanguskan kertas itu, Melati mulai memudar. Namun senyum menghiasi wajahnya.

"Kau menemukan jalan... tanpa pengganti. Terima kasih..."

Dan dia lenyap. Ruangan itu menjadi ruang biasa.

---

Keesokan harinya, mereka meninggalkan SMA Cakrawala Laut. Enam sahabat. Enam penyelidik. Enam penjaga.

"Satu demi satu kita buka semua. Sampai tak ada lagi yang terkurung," ucap Kirana di atas tebing.

Radit menatap laut. "Dan ini baru awal."

---

Mereka kembali ke SMA Purnama Jaya dengan rasa lega dan sedikit lelah. Dua misteri sekolah telah mereka selesaikan. Tapi di ruang klub investigasi spiritual mereka, sebuah paket sudah menunggu di atas meja. Tanpa pengirim. Hanya label kecil bertuliskan:

“Untuk yang telah membebaskan.”

Isinya: sebongkah tanah merah dalam stoples kaca, sebuah foto tua berwarna sepia, dan secarik peta bertuliskan "SMP Satu Bangun Jiwa – Dulu Pesantren."

Kirana mengambil foto itu. Menampilkan sekelompok siswa berseragam putih dan pria tua berjanggut dengan sorban di kepala. Namun... seluruh wajah mereka dicoret tinta hitam.

"Ini mulai aneh," gumam Radit. "Siapa yang kirim ini?"

Diriya memeriksa tanah merah. "Tanah ini... bukan dari sekitar sini. Lebih lembap. Lebih berat. Seperti dari daerah rawa."

Nila memeriksa peta. "Bangun Jiwa itu di pelosok. Kita harus naik bus, lalu ojek. Tapi sekolah itu... sudah tutup puluhan tahun."

---

Tiga hari kemudian, mereka sampai di desa terpencil tempat SMP Satu Bangun Jiwa dulu berdiri. Sekolah itu kini hanya reruntuhan. Gedung tua yang tinggal setengah, dinding berlumut, dan atap runtuh sebagian.

"Tempat ini kayak lokasi film horor," gumam Kezia.

Warga desa enggan bicara. Tapi ada satu kakek tua yang menghampiri mereka saat melihat foto yang mereka bawa.

"Ini... tempat dikuburnya 'yang salah arah'. Dulu tempat belajar... berubah jadi tempat pelatihan. Bukan ilmu biasa. Tapi ilmu... menyimpan arwah."

Mereka semua menegang.

"Kalian lihat?" lanjut kakek itu. "Foto itu punya kutukan. Siapa yang mencoretnya... akan dicari arwah yang tak selesai."

---

Di malam hari, mereka nekat memasuki bekas sekolah. Lorong-lorong sempit dan licin. Ada sisa papan tulis, meja belajar, dan tumpukan kitab tua berserakan. Namun yang paling mencolok adalah ruangan kecil berpintu besi di ujung barat.

Kirana membuka pintu itu.

Di dalamnya, sebuah kursi kayu berdiri menghadap tembok. Di belakang kursi, sebuah tulisan besar:

“Duduk dan lihat ke dalam dirimu.”

Tanpa ragu, Radit duduk.

Beberapa detik tak terjadi apa-apa.

Lalu matanya membelalak.

"Aku... aku melihat mereka... anak-anak... dikurung. Mereka... dipaksa menjaga ilmu. Mereka... sudah mati, tapi tak bisa pergi."

Radit jatuh pingsan.

Kirana memeluk tubuhnya dan berteriak, "Bawa dia keluar!"

---

Mereka merawat Radit di rumah penduduk. Malam itu, saat sadar, Radit menggenggam tangan Kirana dan berbisik, "Seseorang... masih hidup. Yang memulai semua ini. Kita harus temukan dia."

---

Pagi harinya, mereka menggali dekat pondok tua yang tampak seperti tempat ritual. Di sana mereka temukan kotak kayu berisi kitab tua dan potret sang pendiri—yang ternyata sama dengan pria dalam foto, wajahnya dicoret.

Dan di belakang potret itu, terukir kata: "Selama kitab ini masih utuh, arwah mereka akan terus berjaga."

Tanpa ragu, mereka membakar kitab tersebut.

Saat api menyala, angin kencang bertiup. Dari balik pohon-pohon tua, suara-suara lirih mulai memudar. Seolah arwah-anak yang tertahan akhirnya bebas.

---

Namun saat mereka bersiap kembali, seorang pria paruh baya datang menghampiri mereka.

"Jangan pikir ini akhir. Kalian membangunkan lebih dari yang kalian pahami. Tanah ini... hanya pintu awal."

"Siapa Anda?" tanya Kirana tajam.

Pria itu tersenyum dingin. "Aku... yang menjaga sisa-sisa mereka yang masih tertahan. Dan sekarang... kalian yang masuk ke dalam lingkarannya."

bersambung

1
Wulan Sari
lanjut bikin penasaran
SecretS
lanjut kak, lagi seru loh ini !!!!
Husein
kereeennnn 👍👍
Tiara Bella
wow author kesana kemari bawa cerita seru....semangat ya
MARQUES
cerita sangat bagus kalau bs lanjutkan terus pertualangan Kirana tanpa ada cinta cintaan thor biar cerita ny makin menarik trus untuk di baca sekian saran saya thor 🙏😄
Cindy
lanjut kak
mustika ikha
penasaran thor kelanjutannya, /Determined//Determined//Determined//Determined/
Tiara Bella
takut bacanya tp penasaran hehehhee.....
Tiara Bella
berasa lg nnton sinetron sh....
Wulan Sari
ayo lanjut lagi anak indigo mengatasi apa lagi semangat 💪 Thor 👍
Wulan Sari
critanya menarik membuat kadang terbayang sendiri gimana kalau kenyataan🙂
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
Tiara Bella
jantung Aman pemirsah.....wkwkwkkww
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Cindy
lanjut kak
RA
ceritanya seru, lanjutttt dan semangat
RA
semangat
Sribundanya Gifran
lanjut
mustika ikha
berasa ikut ke dalam cerita dengan cerita yg menakutkan diikuti suara musik horor atau gamelan yg mistis, thor ceritanya menakutkan tapi membuat penasaran, jd lanjutkan/Joyful/
Wulan Sari
semangat Kirana kamu pasti bisa menyesuaikan semua keseimbangan dunia ayoooo, ....
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏
Wulan Sari
seru lanjutkan Thor semangat 💪👍 trimakasih 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!