Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Putri Kesayangan
Bu Bianca terbatuk-batuk sambil berjalan menuju dapur, sebab ia mencium bau asap yang cukup pekat. Dengan langkah pelan, ia mendekati sumber bau itu dan menemukan putrinya sedang sibuk di depan kompor.
“Na, kamu masak apa? Asapnya sampai ke kamar Mama?” tanya Bu Bianca, masih terbatuk-batuk, matanya setengah menyipit karena asap yang mengganggu.
“Goreng ikan, Ma,” jawab Anna dengan suara sedikit cemas dan gugup.
“Astaga... kalau masak, cooker hood-nya dinyalakan dulu, Nana! Supaya asapnya nggak menyebar kemana-mana,” Bu Bianca buru-buru mencari tombol untuk menyalakan cooker hood.
“Oh, Maaf, Ma... aku lupa. Aku juga memang nggak biasa masak sih,” ucap Anna sedikit malu-malu sambil menatap minyak yang mulai berasap.
Bu Bianca melangkah lebih dekat, matanya meneliti penggorengan yang sedang berlangsung. “Lah, goreng ikan itu minyaknya agak banyak, Anna. Aduh, Ya Allah... lihat, ikannya jadi gosong seperti ini!” Ia tampak kesal melihat ikan yang sudah mulai hitam di tepinya lalu segera mematikan kompor.
“Hah? Jadi yang kayak gini itu gosong ya, Ma?” tanya Anna, raut wajahnya berubah antara bingung dan sedih.
Bu Bianca memandang putrinya dengan campuran rasa kesal dan lega karena Anna mau belajar, “Iya, ini yang namanya ikan gosong, bukan ikan kecap. Masaknya harus sabar dan pelan, jangan buru-buru.”
Di tengah situasi itu, Pak Reza tiba-tiba masuk ke dapur dengan langkah santai, bertanya karena penasaran, “Ada apa ini? Kok ribut-ribut di dapur? Kenapa asapnya banyak sekali?”
Bu Bianca mengeluh, “Anakmu itu, mau belajar masak. Kamu urus saja, Pa. Kepala Mama pusing bau asap ini.”
Dengan cepat, Bu Bianca melangkah keluar dari dapur, meninggalkan Pak Reza dan Anna berdua.
Pak Reza mengangkat alisnya, menatap putrinya dengan lembut, “Masak apa?”
“Ikan, Pa. Tapi kata Mama itu gosong. Kirain Mama mau ngajarin aku, taunya malah cuma dimarahi,” ujarnya dengan cemberut dan menatap ikan yang gosong di piring.
Pak Reza tertawa kecil, lalu bersandar santai di meja dapur. Ia menatap hasil gorengan itu, lalu berkata, “Mama kamu saja waktu seusia kamu nggak bisa masak, malah nggak pernah masak. Papa yang selalu masak di rumah.”
Anna menatapnya skeptis, “Tapi masakan Mama enak, kok, Pa.”
Pak Reza tersenyum hangat dan menatap mata putrinya, “Iya, itu karena papa yang mengajari Mama kamu. Sebenarnya, Papa nggak pernah memaksa Mama harus bisa masak. Itu semua kemauan Mama sendiri.”
Anna mengerutkan dahi, “Tapi, kenapa Mama nggak ngajarin aku, ya, Pa?”
Pak Reza tertawa lembut, lalu mengelus rambut Anna penuh kasih sayang. “Bukannya Mama nggak mau, Nak. Tapi kamu tahu sendiri kan, Mama kamu itu nggak sabaran. Apalagi kalau mengajari anaknya sendiri. Mama itu kayak melihat gambaran dirinya sendiri waktu seusia kamu. Jadi dia khawatir kalau kamu kesulitan seperti dia dulu.”
Anna termenung, mencoba memahami kata-kata ayahnya. “Jadi, Mama takut aku sama seperti dia dulu?”
“Iya, mungkin begitu,” jawab Pak Reza.
Suasana dapur menjadi hening sejenak, hanya terdengar bunyi detak jam dinding dan desiran cooker hood yang kini menyala dengan baik.
“Tapi, Pa... aku pengen banget bisa masak. Biar nanti pas nikah bisa masakin Juna,” ujar Anna dengan mata berbinar penuh harap.
Pak Reza meraih tangan Anna, menggenggamnya erat, “Baiklah. Papa akan ajari kamu masak. Kita akan belajar bersama-sama supaya kamu bisa masak dengan baik dan Mama nggak khawatir lagi. Biar kamu nanti bisa masak buat suami kamu juga.”
Mata Anna berbinar senang, “Beneran, Pa? Makasih, ya! Aku janji, aku akan belajar dengan sabar.”
Pak Reza tersenyum lebar, “Itu baru anak Papa, semangat terus ya.”
Anna tersenyum mengangguk, baginya papanya adalah segalanya, tidak pernah marah, selalu memberikan pengertian dan mengajari banyak hal, selalu memberikan cinta dengan tulus, tentunya ayah yang sangat sabar.
Anna melihat ikannya yang gosong, menghela nafas panjang. Rasanya sayang membuang-buang makanan.“Ikan yang gosong ini diapain, Pa? Di kasih kucingnya mama, bisa gak ?” tanya Anna.
“Iya, bisa-bisa kamu yang dimakan mama,” saut Rafi kakak Anna, yang tiba-tiba datang menghampiri.
“Iss, kakak. Kaget tahu! Eh, istri kakak mana? Gak ikut?” tanya Anna meletakkan ponselnya di meja dapur lalu melihat sang kakak menyalami pak Reza.
“Gak, kakakmu masih ada pekerjaan.” Rafi menerima uluran tangan Anna yang hendak menyalaminya.
Pak Reza melipat tangannya melihat kedua anaknya itu. Kedua anaknya itu sering gaduh, tetapi saling menghormati, saling menjaga satu sama lain.
Tiba-tiba ponsel Anna berdering. Ia terkejut sampai menjerit kecil. Pak Reza dan Rafi tertawa melihat tingkah putrinya.
“Nada dering hapemu kurang kenceng, aturan pakai sound horek” ujar Rafi tertawa kecil
Anna sedikit cemberut lalu buru-buru mengangkat ponselnya.“Ya, Jun.”
“Sayang, kamu dimana? Aku sudah di tempat kita janjian,” balas Juna dibalik sambungan ponselnya.
“Hah?” memangnya kita janjian ya?” Anna benar-benar lupa sudah janji apa dengan Juna.
“Astaga… Hari ini kita foto prewed, Sayang…”
“Hah? I–iya. Aku kesana. Tunggu setengah jam aku sampai.” Anna mematikan sambungan ponselnya.
Pak Reza dan Rafi saling pandang menahan tawa melihat kehebohan Anna.“Pa, maaf. Aku pergi dulu. Aku ada janji sama Juna, tapi lupa. Tolong bersihkan sisa aku masak. Nanti mama marah lagi. Bye, Pa. Love you puuulll.” Anna setengah berlari menuju kamarnya di lantai atas, tetapi sebelum sampai di ujung anak tangga, ia kembali ke dapur, menghampiri pak Reza.
Anna mencium pipi sang Papa. Sebagai ucapan terima kasih dan sayangnya pada papanya.“Sayang, Papa.” Anna tertawa kecil lalu berlari ke lantai atas.
Pak Reza menggeleng dan tersenyum.“Adikmu itu ada saja tingkahnya, Raf.”
“Pasti nanti rumah sepi, kalau Anna sudah nikah, Pa?”
Pak Reza menghela nafas panjang, memahami jika putra putrinya kelak mempunyai kehidupan sendiri.“Mau bagaimana lagi? Kamu dan Anna kelak punya kehidupan masing-masing. Dan Mama-Papa juga sama kan? Yang penting kalian semua akur-akur sama pasangan dan saudara. Cukup keluarga kakak dan adik mamamu yang kacau, tapi keluarga kecil kita jangan.”
Rafi mengangguk mengerti sambil mengingat keluarga dari pihak sang mama, om dan pamannya yang mempunyai istri yang tidak hanya satu.
“Pa, Nana berangkat ya,” pamit Anna masih berjalan di anak tangga.
Pak Reza mengerutkan keningnya, melihat baju yang dikenakan sang putri.
“Kamu kok, pakai baju hanfu?” tanya pak Reza melihat Anna menghampirinya.
“Iya, Pa. Tema prewed aku mau pakai baju hanfu. Ini sekalian aku pakai, biar sampai sana tinggal makeup.” Anna menyalami pak Reza.
“Kakak antar ya?” tanya Rafi, ingin mengantar sang adik.
“Istri kakak nanti nyariin.”
“Nanti biar dia nyusul ke lokasi prewed kamu. Kakak mau jagain kamu.” Rafi tersenyum meraih tas adiknya.
Anna mengangguk senang lalu memanggil sang mama yang sedang tidak dikamar untuk berpamitan.“ Ma…”
“Sssttt, Mama kamu lagi tidur. Kepalanya masih pusing. Sudah sana,” saut pak Reza cepat agar suara Anna tidak mengganggu istirahat sang istri.
“Ya sudah. Bye, Papa,” pamit Anna berjalan keluar bersama Rafi.
Pak Reza menggeleng pelan. Tidak menyangka putri kesayangannya itu sudah mau menikah, berharap pria yang dipilihkan untuk putrinya itu adalah pria yang tepat.
***