Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 9: Konflik di Gudang Sumber Daya: Mempersiapkan Pondasi
Matahari pagi menembus kabut lembah, menerangi halaman utama Sekte Awan Hening. Di antara hiruk-pikuk murid luar yang berbaris untuk latihan, Yu Chen berdiri di sisi lapangan dengan tubuh tegap dan tenang.
Sudah seminggu sejak ia keluar dari Ruang Refleksi. Ia masih memegang status sebagai pelayan, tapi tubuhnya berubah jauh dibanding sebelumnya. Qi-nya mengalir lebih padat dan stabil, dan setiap langkahnya terasa lebih ringan.
Namun kekuatan baru itu datang dengan satu masalah besar: laparnya energi.
Teknik Naga Mengubah Tulang tahap lanjut menuntut Qi dalam jumlah luar biasa. Batu Roh tingkat rendah yang dulu cukup untuk sehari kultivasi, kini habis dalam satu jam.
“Jika terus seperti ini, aku tidak akan bisa melangkah ke Pondasi Spiritual,” gumamnya pelan, menatap tangan yang memancarkan cahaya Qi samar.
Untuk maju, ia butuh Batu Roh tingkat menengah — tapi sumber daya itu hanya diberikan kepada murid luar yang memiliki cukup poin kontribusi sekte.
Masalahnya, pelayan seperti dirinya tidak punya akses ke sistem itu.
---
Siang hari, setelah menyelesaikan tugasnya di halaman latihan, Yu Chen mendatangi Gudang Sumber Daya, bangunan batu besar di kaki tebing tempat sekte menyimpan pil dan Batu Roh. Di pintu masuk berdiri dua murid luar dengan jubah biru, memeriksa daftar penerima.
“Nama?” salah satu bertanya dengan nada malas.
“Yu Chen, pelayan. Aku ingin menukar hasil kerja tambang sebelumnya.”
Murid itu mendongak dan menatapnya dengan wajah sinis. “Pelayan tidak berhak menukar Batu Roh tingkat menengah. Kau hanya boleh menerima jatah biasa.”
Yu Chen menatap daftar itu. “Aku menyerahkan hasil tertinggi saat di tambang. Harusnya aku punya catatan.”
Yang lain menertawakan kecil. “Hasil tinggi tidak berarti apa-apa tanpa status. Kau pikir sekte ini adil?”
Yu Chen menahan napas. Ia tahu percuma berdebat. Tapi saat ia hendak berbalik, suara yang sudah lama ia kenal terdengar dari belakang.
“Lihat siapa yang datang. Pelayan berbakat itu.”
Cao Feng berjalan masuk bersama dua pengikutnya. Tubuhnya tampak sehat kembali, meski masih ada sedikit bekas luka di rahangnya. Tatapannya tajam, tapi senyum di bibirnya dingin.
“Mau mengambil Batu Roh, Yu Chen? Sayang sekali, semua Batu Roh tingkat menengah sudah dialokasikan untuk para murid berkontribusi tinggi.”
Yu Chen berbalik, menatapnya tenang. “Aku hanya ingin menukar yang seharusnya milikku.”
Cao Feng tertawa pelan. “Dan siapa yang bilang itu milikmu? Kau bahkan bukan murid luar resmi.”
Kerumunan kecil mulai terbentuk di sekitar mereka. Murid luar lain menatap dengan minat.
“Aku dengar kau kuat sekarang,” lanjut Cao Feng. “Bagaimana kalau kita buktikan kekuatanmu di arena kontribusi? Jika kau menang, aku akan beri satu Batu Roh tingkat menengah. Tapi kalau kalah, kau mundur dari semua kegiatan sekte selama sebulan.”
Suasana langsung riuh. Arena kontribusi adalah tempat murid menyelesaikan perselisihan secara resmi di hadapan pengawas sekte. Tidak ada larangan menggunakan teknik, tapi tanggung jawab akibat luka ada pada peserta.
Yu Chen berpikir sejenak. Ia tahu ini jebakan, tapi juga kesempatan. Ia butuh Batu Roh itu — dan sekaligus ingin tahu seberapa kuat dirinya setelah mencapai Tahap 3.
“Baik,” katanya akhirnya. “Kapan?”
Cao Feng tersenyum puas. “Sekarang.”
---
Arena kontribusi berbentuk lingkaran batu di tengah halaman. Puluhan murid berkumpul di sekeliling, berbisik penuh antusias.
“Pelayan akar abu-abu melawan murid inti,” salah satu berkomentar. “Berani juga anak itu.”
“Cao Feng terkenal dengan Teknik Awan Memotong Angin. Sekali serang bisa pecahkan batu.”
Yu Chen berdiri diam di tengah arena, menarik napas dalam. Qi-nya berputar stabil, siap keluar kapan saja.
Cao Feng mengangkat tangan, dan cahaya biru terang muncul di sekelilingnya. “Aku akan tunjukkan batas antara pelayan dan murid sejati.”
Ia menembakkan serangan pertama — pusaran angin tajam meluncur ke arah Yu Chen, menghantam tanah dengan keras. Debu dan batu beterbangan.
Tapi ketika kabut debu memudar, Yu Chen masih berdiri, tanpa luka. Qi naga di tubuhnya memantul di kulitnya seperti pelindung tak terlihat.
“Serangan yang indah,” katanya tenang. “Tapi terlalu ringan.”
Ia melangkah maju. Tanah di bawah kakinya retak kecil. Lalu, dalam satu gerakan, ia menghantam udara dengan telapak tangan terbuka.
Cahaya ungu keemasan meledak dari telapak tangannya, membentuk bayangan naga yang melesat lurus ke depan. Suara raungan rendah menggema di seluruh arena.
Cao Feng mencoba menahan, tapi kekuatan itu terlalu besar. Dinding Qi-nya hancur, dan tubuhnya terpental ke belakang, jatuh keras di luar lingkaran arena.
Kerumunan langsung hening.
Tetua pengawas yang berjaga di dekat situ berdiri kaget. “Pertarungan selesai! Pemenangnya—Yu Chen.”
Beberapa murid bertepuk tangan ragu-ragu, sebagian lagi hanya menatap tak percaya. Seorang pelayan, mengalahkan murid inti.
Cao Feng merangkak bangun, wajahnya merah padam. Tatapan matanya ke Yu Chen bukan lagi sekadar benci—tapi ketakutan.
Yu Chen menatapnya tanpa kata, lalu berjalan keluar arena. Murid pengawas memberinya Batu Roh tingkat menengah sesuai kesepakatan, meski dengan tatapan tak percaya.
---
Sore menjelang. Yu Chen duduk di tepi kolam roh, menatap Batu Roh yang kini berkilau di tangannya. Energinya jauh lebih murni dan berat dari batu biasa.
Saat ia memejamkan mata, kristal di dadanya bergetar halus, seolah menyambut santapan baru.
Ia bisa merasakan jalan berikutnya: Pondasi Spiritual, tahap di mana tubuh, Qi, dan jiwa harus menyatu. Dan jika ia gagal di tahap itu, seluruh energi yang telah ia bangun bisa hancur dalam sekejap.
Ia menggenggam Batu Roh itu erat. “Aku sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang.”
Di kejauhan, gong sekte berdentang pelan, menandakan malam latihan dimulai. Tapi di balik gunung utara, awan gelap perlahan berkumpul, seolah langit sendiri tahu bahwa perubahan besar sedang menunggu di bawah permukaannya.