Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke kongo, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dermaga dan doa
Mentari Makassar menyapa dengan sinar lembut pagi itu, menembus kabut tipis yang menggantung di atas Pelabuhan Soekarno–Hatta. Suara burung camar bercampur dengan dengung mesin kapal dan peluit panjang dari arah dermaga. Hari itu bukan hari biasa, bukan hanya bagi satu kota, tapi bagi ratusan keluarga prajurit yang berdiri di tepi dermaga, menunggu momen yang selalu datang dengan dua wajah, bangga dan kehilangan.
Di tengah barisan prajurit berseragam loreng, berdiri tegap seorang lelaki dengan wajah teduh tapi tegas, dia adalah Mayor Infantri Byantara Aswangga, Danyon termuda di jajaran Kodam XIV/Hasanuddin. Seragamnya rapi, sepatu hitamnya mengilap, tapi matanya penuh kerinduan yang sulit disembunyikan.
Hari ini adalah hari pelepasan Satgas Batalion Garuda-13, pasukan yang akan diberangkatkan untuk melaksanakan tugas operasi pengamanan di Papua. Dua bulan sudah berlalu sejak Kalea, adik perempuannya, berangkat ke Kongo dalam misi perdamaian dunia.
Kini, giliran dirinya, bukan menyeberangi samudra ke benua lain, tapi menuju tanah sendiri yang sama beratnya, bahkan mungkin lebih berat, Papua. Negeri nan elok di batas negeri, namun siapa sangka keindahan nya telah merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa. Telah menetas kan jutaan air mata seorang ibu, istri, adik, kakak, dan juga anak.
Ia tertawa kecil melihat barisan prajuritnya. Ada yang gugup, ada yang bersemangat berlebihan, dan ada pula yang wajahnya setengah ingin menahan tangis.
Lalu ia sadar sesuatu, dari ratusan orang di sekelilingnya, hanya dia yang berdiri tanpa seorang pedamping di sisinya.
“Umur sudah kepala tiga, tapi istri gak ada juga…” gumamnya geli, nyaris tak terdengar. Ia menggeleng pelan, senyumnya getir tapi jenaka.
Langkah-langkah kecil mendekat dari arah parkiran. Dua sosok yang selalu membuat hatinya tenang, Letkol (Purn) Aswangga dan Bu Aswangga, kedua orang tuanya. Rambut mereka mulai memutih, tapi sorot matanya tetap seperti dulu, penuh kebanggaan.
“Byan!” panggil sang ibu, setengah berlari kecil.
Byantara menoleh dan tersenyum lebar. “Mama! Papa!”
Ia segera menunduk, mencium tangan keduanya, lalu memeluk mereka erat.
“Kenapa kamu celingukan, Byan?” tanya Bu Aswangga heran.
“Lihat istri nyasar, Ma,” jawabnya asal.
Bu Aswangga sempat melotot kecil, lalu tertawa terbahak.
Pak Aswangga ikut tergelak, menepuk punggung anaknya.
“Makanya kamu nikah, Byan. Jangan iri lihat orang.”
Byantara terkekeh, menggandeng tangan ibunya yang dingin karena angin laut.
“Nanti pulang satgas kan Byan nikah, Ma. Tenanglah, Mama-ku cinta,” katanya manja, membuat ibunya mencubit lengannya pelan.
“Duh, kamu ini, sudah Danyon lo tapi kelakuannya kayak anak remaja.”
Byantara hanya tertawa makin keras. “Biar kelakuan remaja, tapi tanggung jawabnya sudah seperti kolonel, Ma.”
Pak Aswangga tersenyum tipis. Di matanya, sosok anak laki-laki itu masih seperti dulu, bocah keras kepala yang selalu ingin terlihat kuat di hadapan dunia.
Mereka berjalan menuju area tenda istirahat, lalu berhenti sejenak di bawah pohon ketapang besar. Byantara menatap sekitar, lalu bertanya pelan,
“Swastmita enggak ikut, Ma? Gak kelihatan dari tadi.”
Sang ibu menoleh pada suaminya, lalu menjawab lembut,
“Kemarin mau berangkat bareng kita ya, Pa? Rupanya dia ada operasi mendadak. Jadi katanya titip doa aja buat kamu.”
Byantara menarik napas panjang, separuh kecewa, separuh pasrah.
“Dia sama Lea sama aja, Ma. Pemberi harapan palsu. Apa karena mereka sahabatan dari kecil ya, makanya akalnya sama?”
“Kamu ini ya, Byan, gak boleh gitu,” tegur sang ibu sambil menahan tawa. “Perempuan itu kalau diam bukan berarti lupa, kadang cuma nunggu kamu datang duluan.”
Byantara hanya mengangkat bahu. “Kalau ditunggu duluan terus, kapan perang dimulai, Ma?”
Suasana hening sejenak. Angin laut membawa aroma solar dan asin yang khas. Suara jangkar kapal terdengar dari kejauhan, mengingatkan bahwa waktu makin sempit.
Byantara melirik jam tangannya, lalu berdecak kecil.
“Ma, Pa, Byan lapar. Dari pagi belum sempat makan. Yuk, kita ke warung di ujung pelabuhan. Saya traktir.”
“Wah, kalau ditraktir bapak Danyon, Mama mau dua porsi,” canda ibunya.
“Tapi jangan yang pedas ya, Ma,” sela Pak Aswangga.
“Lho, Pa, kita di Makassar. Kalau gak pedas, bukan makan namanya!”
Tawa mereka bertiga pecah lagi, mengalir hangat di antara debur ombak dan deru kapal KRI.
Warung kecil di pinggir pelabuhan itu sederhana. Meja kayu, bangku panjang, dan kipas tua yang berdecit. Tapi bagi Byantara, tempat itu punya kenangan, dulu saat taruna magang di Hasanuddin, ia sering makan di sana dengan rekan-rekannya sambil bercanda soal masa depan yang waktu itu masih samar. Kini, masa depan itu sudah di depan mata, tapi terasa lebih sunyi.
“Ma, Pa, pesen apa? Byan kayaknya nasi goreng aja,” ucapnya.
“Papa sama yang biasa aja, ikan bakar sama sambal mangga,” sahut Pak Aswangga.
“Kalau Mama mau es kelapa dua, biar yang satu buat cuci tangan,” gurau ibunya.
Byantara tertawa, lalu memesan sambil memberi hormat pura-pura pada pelayan warung. “Pesan, dua ikan bakar, satu nasi goreng, dan dua kelapa muda.”
Sang pelayan tersenyum, mengangguk dan lalu meninggalkan mereka.
Mereka duduk berhadapan. Byantara tampak santai, tapi sesekali pandangannya menerawang ke arah laut. Tangannya mengetuk meja pelan, seperti mengusir gelisah yang tak mau hilang.
Pak Aswangga memperhatikannya cukup lama, sampai akhirnya ia bersuara,
“Byan.”
“Ya, Pa?”
“Papa perhatikan kamu dari tadi… pikiranmu jauh ya?”
Byantara tersenyum kaku. “Enggak, Pa. Cuma mikir, gimana kalau nanti misi kali ini enggak semudah yang dibilang di kertas.”
“Memang gak pernah ada tugas yang mudah, Nak, lagian ini kan bukan operasi pertama mu di sana. Ingat sebelum ini bukannya kamu tentara organik di Papua, jadi anggap saja kamu pulang,” jawab Pak Aswangga pelan. “Tapi sebenarnya yang berat bukan peluru, yang berat itu kalau kamu kehilangan arah.”
Byantara terdiam. Kata-kata ayahnya itu menembus tepat di hatinya. Ia tahu, di Papua nanti, yang akan ia hadapi bukan cuma medan berat dan ancaman bersenjata, tapi juga pertarungan batin antara tanggung jawab dan rindu. Yang seperti ia rasakan saat ia bertugas di Nabire.
Suasana makan siang mulai cair ketika hidangan datang. Mereka makan bersama seperti dulu, sebelum dunia sibuk menuntut Byantara untuk selalu tegas. Namun, di tengah kunyahan, Byantara mendadak menatap ayahnya serius.
“Pa, aku mau tanya sesuatu.”
“Hm?”
“Papa yakin mau jodohin anak Om Rizwan sama Lea?”
Pak Aswangga menaruh sendoknya, menatap anaknya dengan mata penuh pertimbangan.
“Iya. Papa lihat anak itu baik kok. Lembut, sopan, pangkatnya tinggi juga. Kenapa?”
Byantara meneguk air putih, menarik napas, lalu berkata perlahan,
“Baik sih memang, Pa… tapi…”
“Tapi apa?” sela sang ibu.
Byantara menatap mereka bergantian, lalu menghela napas pelan.
“Byan cuma merasa… ada baiknya kalau Lea itu menghabiskan hidupnya dengan orang yang benar-benar memahami dia.”
Pak Aswangga mengernyit. “Maksudmu?”
Byantara cepat menggeleng. “Bukan Byan maksud Byan, Pa. Tapi… ada orang lain yang dari dulu ada di sisinya.”
“Siapa?”
“Pa, coba lihat Satria. Dari Akmil, dari tugas di taktakan, sampai penugasan luar negeri, mereka berdua selalu sejalan. Dan waktu kecelakaan di Sentul dulu, Byan lihat gimana cara Satria melindungi Lea. Itu bukan sekadar rekan, Pa… ada rasa yang lain di situ.”
"Tapi selama ini di depan papa, papa lihat tingkahnya biasa saja," ujar pak Aswangga.
"Pa.... Papa ini kan pernah jadi prajurit muda Lo," ucap Byantara. "Masa papa gak ngerti dia lagi jaga etika," lanjutnya.
"Jadi gimana menurut mu Byan?" tanya pak Aswangga akhirnya.
"Byan ikut gimana keputusan papa dan Lea saja," jawab Byantara.
"Yasudah itu nanti kita bicarakan saat kalian pulang satgas, kalian harusnya pulang bersamaan kan?" tanya pak Aswangga.
"Harusnya sih, pa."