Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 Pesan Masuk
Pesan masuk.
Isi pesan hanya sebuah foto tulisan tangan di kertas yang ditempel di pintu kamar. "Naru dilarang masuk!" dengan coretan emoji marah kecil buatan tangan di dekat tanda seru. Tulisan itu rapi banget, terlalu rapi untuk disebut marah…
tapi justru itu yang bikin bulu kuduk Naru berdiri. “Apa harus semarah itu cuma karna cemburu sama sahabat sendiri?”
Ia mengernyit, jempolnya melayang di atas kolom chat, hendak membalas. Belum sempat mengetik satu huruf pun, muncul ‘My Dear sedang mengetik…’ Naru menunggu, jantungnya ikut deg-degan.
“Kamu nggak boleh ketemu sama aku! Jangan pulang ke rumahmu! Pulang aja ke rumahku dan tidur sama Kak Muha!”
“Haah?” Naru terpaku, menatap layar lekat-lekat. “Ini… ini bentuk ngambek atau jebakan maut?”
Ia mengetik pelan, “I--”
Belum sempat selesai, muncul lagi.
“Nggak usah dibalas!!”
"Aaarrgg!!" Naru frustrasi campur gemas. “Istri introvert ini bener-bener ninja dalam hal ngambek, YA! Gimana caranya gue minta maaf kalau semua pintu, chat, dan bahkan udara udah ditutupin begini?”
Ia bersandar di jok, mengusap wajahnya pelan. Lalu bergumam lirih dengan nada setengah pasrah, “Ya Tuhan… biar aku aja yang kalah lagi kali ini. Asalkan dia kembali cinta kepadaku.”
Seulas senyum nakalnya muncul. “Baiklah, kalau begitu...” ia memutar setir mobil pelan, arah tujuannya langsung berubah. “Terpaksa aku harus cari wanita lain buat nemenin aku tidur malam ini.” Nada suaranya datar, “Selingkuh satu malam pun nggak papa kan? Toh, yang penting aku bisa tidur nyenyak.”
Ia bergumam sambil mengetuk setir. “Tapi… aku harus siapin sogokan dulu nih biar dia mau. Masalahnya, bukan si kecil Hana yang perlu disogok… tapi ayahnya.” Ia tertawa sendirian di mobilnya.
Makan malam itu terasa asing.
Nuha menatap meja panjang yang dulu pernah jadi tempat tawa keluarga besar Hartono Rudi. Ia masih bisa mengingat malam-malam hangat bersama bunda, ayah, Dina, dan sosok pria yang tak bisa ia ingat siapa dia saat obrolan sederhana terasa seperti pelukan.
Tapi malam ini berbeda.
Sangat berbeda.
Seperti panggung, Nuha merasa menjadi satu-satunya penonton yang tahu, cinta dalam keluarga itu perlahan sedang dipertaruhkan. Entah dari firasat atau naluri, jika ia tak segera mengakhiri makan malam itu, akan ada pembicaraan yang tak menyenangkan.
Ibunda, tetap anggun tanpa perlu berusaha. Tatapannya lembut, namun tegas. Ia tak bersaing, tak menunduk, tapi juga tak menantang. Hanya diam. Keanggunan lahir dari hati yang sudah terlalu sering disakiti tapi memilih tetap tenang.
Nuha hanya mencoba menikmati makanan, tak ingin menghiraukan apapun. Tapi batinnya penuh rasa kesepian, "Aku jadi ingin Naru menemaniku."
Sekarang…
Ia menelan sisa air di tenggorokan, lalu perlahan menaruh sendok dan garpu sejajar di sisi kanan piring, tanda ia telah selesai. “Ibunda, Ayah, Nuha sudah selesai. Mohon izin untuk kembali ke kamar,” ucapnya sopan, suaranya bergetar tipis.
Belum sempat ia berdiri, jemari ibunda tiba-tiba meremas tangannya yang terletak di pangkuan. Remasan itu lembut tapi kuat. Nuha terdiam. Apakah ibunda melarangnya pergi? Atau justru mencoba memperingatkan sesuatu? Atau bicara 'Tetaplah di sini. Dan perhatikan pertengkaran ini tanpa perlu meledakkan emosi.'
Dan sebelum ia sempat menafsirkan maksud itu, suara Ayah memecah keheningan. “Nuha, duduklah sebentar.”
“Em... baik, Ayah.”
Naomi mencibir pelan, “Dasar nggak sopan.” Suara itu seperti goresan pisau di dada. Nuha menahan diri sekuat tenaga agar tidak terpancing lagi.
Dengan berani Naomi menegakkan punggungnya, meniru gaya ibunya dengan sempurna. Bahkan cara ia menatap Nuha pun sama, tatapan manis yang membungkus rasa ingin menyingkirkan, ingin menunjukkan bahwa dialah yang paling layak duduk di sisi keluarga itu.
Ayah berkata dengan nada pelan, “Mumpung Naru tidak di sini. Nuha, sudah berapa bulan pernikahan kalian berjalan?”
“Eh... itu...” Nuha gelagapan. Pertanyaan itu datang tanpa peringatan. Nuha tak bisa menjawab.
“Ayah lihat, sampai sekarang kamu belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan.” Nada suaranya menajam, “Ayah khawatir... kamu tidak bisa hamil seperti Naomi.”
Dada Nuha seakan disambar petir. Tangannya bergetar di atas pangkuan. Saking kesalnya, ia tak sadar ucapannya meluncur begitu saja, lirih namun cukup terdengar. “Itu... bukan urusan Ayah...”
Brakk!
Ayah menggebrak meja. Semua peralatan makan bergetar. “Kamu tahu,” suaranya membentak, “keluarga ini membutuhkan penerus! Seorang pewaris yang akan menjaga nama besar keluarga kita. Kalau kamu tidak bisa memberi keuntungan bagi keluarga ini, Ayah akan meminta Naru untuk menceraikanmu dan menikahi Naomi.”
“Hah...?” Nuha nyaris kehilangan napas. Ia menunduk, tubuhnya semakin gemetar hebat. Kata 'cerai' itu terdengar seperti vonis.
Ayah melanjutkan, dingin tanpa jeda, “Di dalam kandungan Naomi... ada benih Naru di sana. Naomi akan melahirkan putra Naru beberapa minggu ke depan. Dan Ayah akan melindungi anak itu.”
Nuha terpaku. Pandangannya kosong.
“Ja... jadi itu benar?” Suaranya nyaris tak keluar, hanya bisikan yang pecah di ujung air mata.
“Kamu sudah tahu jawabannya,” sahut Ayah dingin. “Kamu boleh meminta pisah, kalau tidak sanggup lagi bersanding dengannya.”
“Anata!!”
Suara Ibunda meninggi. Ia berdiri, kursinya terhempas ke belakang. Meski ia tak menampik juga ingin mengharapkan cucu, mendengar menantu kesayangannya direndahkan, Ibunda tak ingin tinggal diam.
Ruangan seketika membeku.
Dentang jam dinding terasa menekan udara.
Rasanya Nuha ingin kabur dari meja itu, ingin berlari sejauh mungkin dari tatapan yang menekan dan kata-kata yang menyakitkan. Tapi sebelum tubuhnya sempat bergerak, jemari ibunda menggenggam tangannya makin erat.
“Tetaplah berdiri, sayang. Jangan kalah.” Bisikan itu begitu lembut, namun mengandung kekuatan yang membuat Nuha menelan tangisnya bulat-bulat. "Kamu percaya Naru menghamili Naomi? Percaya putraku yang begitu besar cintanya kepadamu berani berkhianat di belakangmu? Percaya seorang Rui Naru putra Bunda Rui Maya serendah itu?"
Nuha menggeleng, dengan berani ia menatap Naomi. "Itu bukan bayinya. Naru sangat mencintaiku. Aku percaya sama dia. Kamu berbohong, Naomi. Kamu gunakan kata-kata manismu untuk menipu Ayah."
"Kkkuuurang ajarrr," Naomi mendesis dan hampir meledakkan emosinya.
Ibunda lalu memanggil dan memberi isyarat agar putrinya tak ikut larut dalam ketegangan orang dewasa. “Dina.chan, Kamu ke kamar dulu ya, putriku. Nee...” Senyumnya seindah bunga sakura yang berguguran di musim semi.
Dina menatap satu per satu wajah di meja makan, seolah mengerti lebih dari yang seharusnya. Lalu dia mengangguk. “Baik, Ibunda.”
“Bunda sayang kamu, putriku.”
“Dina juga sayang sama bunda. Saranghae~” Gadis itu membentuk lambang hati di atas kepalanya sebelum berlalu dengan langkah kecil yang ringan, berusaha pura-pura tidak melihat air mata yang hampir jatuh di mata ibunya.
Begitu Dina menghilang di balik pintu, udara seolah berubah. Keheningan terasa tebal dan panas.
Ibunda mengangkat wajahnya menatap suaminya, mata yang biasanya teduh kini berkilat seperti kaca yang memantulkan cahaya api. “Anata, kamu dengar itu? Kamu bisa menghancurkan rumah tangga kita, tapi jangan harap kamu bisa menghancurkan keluarga menantuku. Aku ada bersama mereka, mereka nggak akan berpisah.”
Tatapannya lalu beralih ke arah Mamiya yang duduk manis dengan senyum yang terlalu tenang untuk situasi setegang ini. Mamiya mengenakan gaun beludru merah marun yang jatuh lembut di bahunya, seakan ingin menutupi dosa yang berkilau di balik mutiara di lehernya. Seperti nyonya besar rumah yang ingin memastikan setiap pandangan tertuju padanya.
Setiap kali ia tertawa kecil, ujung matanya melirik ke arah Ayah, seolah ingin memastikan siapa yang paling mencuri perhatian malam ini.
“Ooh... jadi begitu, ya. Karena dia. Mamiya, wanita yang dulu menjadi sahabatku kini sedang berusaha menggeser posisiku di rumah ini. Begitu, Mamiya?”
Seketika, Mamiya menundukkan kepala sopan, tapi ada lengkungan tipis di sudut bibirnya yang hanya bisa dilihat oleh Nuha.
Suara ayah terdengar berat, menahan amarah.
“Maya, turunkan nada bicaramu.”
Namun ibunda tidak bergeming.
Ia tetap tegak dengan sorot mata yang tajam namun bermartabat, "Aku hanya mengingatkan siapa sebenarnya nyonya rumah yang sah. Kalian nggak akan mudah menyingkirkanku. Sekalipun kamu suamiku. Kamu punya kuasa atas keluarga ini, tapi kamu nggak akan bisa meruntuhkan kekuasaanku. Harta, tahta dan apapun milik ayahku, nggak akan kubiarkan jatuh ke tangan kalian!"
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊