Seberapa tega orang tua kamu?
Mereka tega bersikap tak adil padaku namun segala macam kepunyaan orang tuaku diberikan kepada adikku. Memang hidup terlalu berat dan kejam bagi anak yang diabaikan oleh orang tuanya, tapi Nou, tak menyerah begitu saja. Ia lebih baik pergi dari rumah untuk menjaga kewarasannya menghadapi adik yang problematik.
Bagaimana kisah perjuangan hidup Nou, ikuti kisahnya dalam cerita ini.
Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUJUK
“Iya No’?” jawab Wicaksono dengan suara khas orang bangun tidur. Matanya saja belum terbuka lebar, hanya sekilas melihat nama kontak yang memanggilnya saja kemudian dia berniat memejamkan mata lagi. Terdengar suara Nou yang menangis dan panik, mata Wicak terpaksa membuka lebar bahkan dirinya segera menyibakkan selimut. “Oke tunggu sebentar, aku ke kos kamu sekarang,” ujar Wicaksono langsung cuci muka dan gosok gigi dan ganti celana ambil jaket dan kunci motor langsung meluncur ke kos Nou.
Wicak tahu kepanikan Nou karena dia memang sempat cuti karena sang ibu sakit, sekarang beliau kambuh dan dibawah tetangga ke rumah sakit, tentu saja menambah kegusaran gadis itu. Wicak mengendarai mobil dengan kecepatan penuh, terlebih suasana jalan juga lengang, tak sampai setengah jam Wicak sudah sampai di depan kos gadis itu. Tampak gadis itu menunduk sedih, menunggu di depan kos, menunjukkan bahwa ia tak sabar untuk segera pulang.
“Maaf, Pak. Saya merepotkan Bapak, saya cuma kepikiran Bapak, bahkan untuk naik transportasi umum pun, saya gak kepikiran karena tengah malam juga,” jelas Nou take nak hati pada bosnya.
“Iya, gak pa-pa. Udah tenang saja, sekarang kita menuju ke rumah kamu, tolong chat mama saya,” ujar Wicak sembari menyodorkan ponselnya ke arah Nou. Tak lupa Wicak pun menyebutkan password ponsel.
Ma, aku antar Nou pulang, ibunya kambuh. Titip kantor ya Ma. Wicak mendikte apa yang akan ditulis Nou pada sang mama. Wicak kembali menyuruh Nou untuk mengirim pesan pada Yesi.
Batalkan dan jadwalkan ulang agenda pertemuan saya selama tiga hari ke depan, saya ada urusan mendadak ke luar kota.
"Kenapa sampai 3 hari, Pak?” tanya Nou yang ia pikir Wicak akan langsung pulang, tapi kasihan juga sih kalau sampai kelelahan di jalan.
“Kamu yakin bisa saya tinggal sedangkan kamu sekarang sepanik ini,” ujar Wicak bijak sekali. Sampai Nou mewek. Terharu.
“Terima kasih, Pak. Maaf saya gak bisa bayar kebaikan Bapak.”
“Udah gak usah nangis, kamu doa yang banyak, cek keadaan ibu kamu ke tetangga,” agar Wicak fokus pada jalan, apalagi sebentar lagi menuju tol.
Nou menahan tangis saat kabar dari Mas Dul yang mengatakan ibu Nou dimasukkan ke dalam HCU, kondisinya kritis, tidak hanya urusan lambung menurut observasi awal dokter, ternyata ada serangan jantung juga. Nou shock juga karena selama ini ibu tak punya Riwayat penyakit jantung. Wicak dan Nou berhenti saat ada masjid saja untuk sholat shubuh, tak lama langsung kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit. Bahkan untuk mengisi perut hanya dengan roti yang mereka sempat beli di rest area saat sholat tadi.
Bu tunggu Nou, tiba-tiba saja batin Nou cemas seperti ini. Ia mengirim pesan pada Iin untuk ke rumah sakit melihat sang ibu, Kafa sementara biar dititipkan ke mertua atau tetangga. Nou tak enak kalau terus merepotkan Mas Dul, sepupunya pun dihubungi dan menyanggupi jam 7 nanti ke rumah sakit. Sedangkan Iin sendiri tak merespon pesan Nou.
“No’ tenang,” ucap Wicak yang melirik Nou. Gadis itu gelisah dengan mencoba menghubungi siapa pun untuk cek sang ibu.
“Saya takut ibu saya pergi, Pak. Saya mau menemani beliau.” Wicak mengelus kepala Nou yang tertutup jilbab instan, setidaknya agar tenang. Wicak berusaha secepat mungkin, perjalanan mereka jauh membutuhkan waktu hampir 10 jam, tentu harus berhati-hati juga.
Mereka sampai di rumah sakit menjelang siang hari, Nou langsung berlari menuju ruang HCU sesuai yang dikabarkan Mas Dul. Di depan ruangan hanya ada Mas Dul dan sepupu Nou, sedangkan Iin katanya ke sini setelah makan siang karena masih ada acara di sekolah.
“Dokter sudah visit Mas?” tanya Nou, dan Mas Dul mengangguk, wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu. “Lalu kata dokter apa?” Nou tak mendapat jawaban yang memuaskan. Ia diminta Mas Dul untuk menemui perawat jaga sekaligus melihat sang ibu.
Wicak bersama Mas Dul dan sepupu Nou di depan ruangan. Wicak dengan ramah bersalaman dengan Mas Dul dan sepupu Nou.
“Kelihatannya gak lama, Mas!” ujar Mas Dul pada Wicaksono. Tentu saja bos muda itu kaget, pasalnya Nou tadi memiliki kekhawatiran akan ditinggal sang ibu. “Kata dokter tadi jantung ibu sangat lemah, dan masih bertahan karena alat bantu medis,” Wicak memejamkan mata. Tak bisa membayangkan Nou bagaimana mengetahui keadaan sang ibu.
“Memang sakit yang kemarin belum sembuh ya, Mas?” tanya Wicak, sebulan yang lalu Nou cuti karena ibunya sakit, dan sekarang kambuh dengan kondisi lebih parah.
“Kalau selama ini memang karena lambung, Mas. Cuma kemarin ada peristiwa di rumah ibu Mbak Nou, hanya saja apakah Mbak Nou dikasih tahu atau tidak.”
“Kayaknya enggak, Mas Dul. Biasanya kalau Budhe cerita ke mbak Nou, Mbak Nou langsung konfirmasi ke saya,” sambung sepupu Nou.
“Peristiwa apa?” tanya Wicak ingin tahu, kalau mencari tahu di Nou jelas gadis itu tak mau jujur, terlalu mandiri hingga merasa bisa menyelesaikan semuanya.
“Budhe bertengkar dengan adik Mbak Nou, Mas,” ujar sepupu Nou yang memang mendengar teriakan ibu Nou, jadi sepupu Nou dan ibunya langsung cek keadaan rumah Nou. Kejadian itu setelah maghrib, ibu Nou marah besar sampai menunjuk Iin, sedangkan Kafa menangis histeris.
Ibu Nou telah menampar Iin, karena dia dan suaminya menggadaikan surat tanah dan rumah ke bank kredit, kebetulan sudah jatuh tempo 3 bulan tak bayar, petugas bank kredit it uke rumah dan budhe marah sekali. Entah untuk apa uang sebanyak itu, mungkin ibu Nou kepikiran dan sakit mendadak begini. Apalagi beliau juga punya Riwayat tekanan tinggi.
“Adiknya Mbak Nou itu agak miring, Mas. Kasihan Mbak Nou yang selalu disuruh mengalah, bahkan kasur Mbak Nou diambil sama si Iin,” ujar sepupu Nou ikut kesal. Wicak hanya menghembuskan nafas berat, pantas saja Nou begitu semangat mencari uang. Ternyata permasalahan keluarganya tentang ekonomi. Mas Dul dan sepupu Nou pamit, sekarang Wicak sendiri, ia mengirim pesan ke Nou mau ke kantin dulu mencari kopi.
Sedangkan Nou menahan tangis melihat keadaan sang ibu, yang dipasang beberapa alat. Ia terus menggenggam tangan sang ibu, pikiran buruknya tadi takut menjadi kenyataan.
“Harusnya ibu ikut Nou saja, biar gak kepikiran rumah tangga Iin. Jadinya ibu sakit begini. Bu, Nou sedang berusaha mengumpulkan uang yang banyak, Bu. Biar kalau ibu minta umroh, Nou bisa ikut mendampingi ibu juga. Sehat ya Bu, langsung Nou daftarkan umroh kalau ibu sehat!” ucap Nou dengan tangis dan bibirnya bergetar hebat. Nou mencium tangan lemah sang ibu. Mengingat perjuangan beliau menguliahkan Nou, sedangkan gaji PNS bapak sebagai tukang kebun sekolah tentu tak cukup, beliau jualan nasi dan gorengan agar bisa menyekolahkan Nou setinggi mungkin.
Sekarang Nou sedang berjuang membalas apa yang pernah dikeluarkan sang ibu, tapi kondisi ibu yang tidak memungkinkan. “Bu, ibu senang kah dipasang alat begini? Emang gak sakit? Ayo bangun yuk, sehat lagi!” Nou terus membujuk meski ia tahu kondisi ibunya sudah sangat lemah.
lanjuut sesi 2 nya yaa thoor 🥰