Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33.
Komunikasi intens, kejujuran dan kepercayaan antara pasangan suami istri adalah kunci utama langgengnya pernikahan, tetapi harus dibarengi saling menjaga perasaan sayang dan cinta itu tetap utuh, tanpa membagi hatinya dengan orang lain.
Meski jarak dan waktu memisahkan keduanya, jika empat hal tadi pasangan saling komitmen, percayalah pernikahannya akan langgeng dan hubungan keduanya semakin kukuh.
Untuk pasangan baru seperti Cyra dan Fandy inilah, mereka harus coba untuk menerapkan keempat hal ini. Keduanya pasti butuh waktu dan proses untuk saling komitmen menjalaninya.
***
Cyra menatap tajam Fandy: “Bang Fan-Fandy… kamu!”
Mendengar nada suara Cyra yang marah, Fandy jadi ciut nyalinya. Dirinya sudah berusaha melepaskan pelukan Mira, tapi gadis itu enggan melepas bahkan semakin mengeratkan pelukannya.
Fandy semakin kesal, dengan kasarnya dia menarik tangan Mira dari lehernya. “Mira lepaskan, tolong jangan seperti ini! Aku sedang video call dengan istriku.”
“Biarkan saja dia melihat kita Bang,” ucap Mira tanpa merasa salah.
Cyra masih melihat dari ponselnya interaksi keduanya. Terlihat Fandy berjalan menjauh dari gadis itu.
Fandy: “Cyra. Maafkan aku, ini tidak seperti yang kamu lihat, kami tidak melakukan apapun."
Cyra dengan mata berkaca-kaca: “Akupun harap begitu Bang, tapi hatiku sakit saat melihatnya.”
Tanpa menunggu penjelasan Fandy lagi, Cyra langsung memutus video call dan menonaktifkan ponselnya. Tangisnya pun pecah, air mata menetes tanpa bisa ia cegah lagi.
“Haruskah aku mengalami untuk yang kedua kalinya? Apakah aku tak cukup untukmu bang?” ucapnya lirih dalam hati.
Di sisi lain, Fandy berusaha menelepon lagi istrinya, tapi sayangnya ponsel Cyra sudah tidak aktif lagi. Fandy memutuskan untuk mengiriminya pesan.
Fandy: Cyra istriku, mungkin saat ini aku sudah membuatmu terluka. Tapi percayalah, hati dan pikiranku selalu tertuju padamu. Demi Allah, aku tidak bermain hati dengan Mira.
Fandy: Jika hatimu sudah tenang, tolong kabari aku segera, ya?.
Fandy: Aku selalu sayang kamu dan hanya kamu seorang perempuan satu-satunya yang paling kusayangi di dunia ini Cyra.
Selesai mengirimi Cyra pesan, Fandy memilih keluar dari ruangan keluarga Ifan.
Dia butuh ruang, ingin menenangkan hati dan pikirannya. Membuang jauh-jauh emosi dan rasa ingin menumpahkan amarah dalam dirinya. Apalagi tadi, Cyra terluka karenanya.
Mira tak berhenti sampai di situ. Dia terus mengikuti Fandy kemanapun melangkah. Sempat dia tersenyum puas tadi, mendengar respon istri Fandy yang cemburu bahkan mungkin marah karena ulahnya.
Fandy berdiri di depan teras sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya sendu menatap langit malam yang indah, di terangi oleh cahaya bulan dan bertabur gemerlap bintang. Pikirannya menerawang jauh. Berharap, semoga Cyra memaafkannya.
Belum puas rasanya Fandy terdiam di sana. Mira lalu datang menghampirinya. “Apa yang Bang Fandy lakukan di sini?”
Fandy melirik kesal Mira yang seolah tidak bersalah karena ulahnya tadi. “Mengembalikan suasana hati dan pikiranku agar jernih kembali. Mira sendiri kenapa mengikutiku sampai ke sini?”
Mira menghela napas. “Aku khawatir padamu, juga takut Bang Fandy marah sama aku,” kata Mira seraya menatap Fandy.
“Setelah yang terjadi tadi dan melihat respon istriku, kamu baru sadar dan takut aku marah padamu,” ujar Fandy sinis.
“Aku melakukannya karena memang benar-benar mencintai dan peduli padamu Bang.”
“Sudahlah Mira, jangan kamu teruskan lagi. Bagiku, ini tak perlu kita bahas lagi. Tolong tinggalkan aku sendiri di sini!”
Mira menggeleng kuat. “Apa salahnya sih Bang? Aku sudah jujur dengan perasaanku, tolong pahami aku juga!” Mira bersikeras ingin tetap di sana.
Fandy terdiam, matanya kembali menatap langit malam. Dia membiarkan Mira berdiri di sampingnya. Malas mulutnya bicara lagi. Pikirnya, gadis ini sungguh keras kepala .
Karena Fandy hanya diam dan fokus melihat langit tapi mengabaikan dirinya, Mira dengan gemasnya berdiri di depan Fandy. Memeluk lagi pelukis tampan kesayangannya dengan sangat erat.
“Aku tak peduli Abang sudah beristri, yang kutahu aku nyaman berada di sisimu. Tadi saat dilukis, kuperhatikan tatapanmu seakan terpesona. Karena aku terlihat sangat cantik, kan?
Fandy kembali terkejut, Mira selalu sesuka hati memeluknya. “Mira. Kenapa kamu selalu seperti ini? Aku ini lelaki beristri bukan pelukis aji mumpung yang memanfaatkan pesona modelnya!” tegas Fandy.
“Biar saja Abang mau bicara apapun, aku hanya ingin kamu tahu dan sadar. Perasaanku ini bukanlah main-main, aku akan menunggumu sampai kapanpun!” ucap Mira tak kalah tegasnya dengan Fandy.
“Ckckck… kamu gila Mira! Sudah cukup lepaskan! Aku harus menyelesaikan lukisanmu yang terakhir,” kata Fandy memaksa Mira melepas pelukannya dan cepat berlalu dari sana.
Mama Ira berada tak jauh dari mereka, ternyata dia melihat semuanya. Sejak Mira memeluk Fandy di dalam dan saat barusan tadi. Melihat putrinya masih di teras, bergegas mama menghampiri dan memeluknya.
“Fandy benar sayang dan kamu memang salah. Perasaanmu tidak salah, tapi ada kalanya perasaan itu tidak selalu menerima balasannya,” bijak Mama Ira sembari mencium kening Mira.
“Tapi aku sungguh-sungguh mencintainya Ma. Aku bukan remaja lagi, bisa membedakan apa itu cinta ataupun kagum semata,” kata Mira sambil berderai air mata di pipinya.
“Kamu akan menemukannya nanti sayang, yang pasti bukan Fandy orangnya,” ujar Mama Ira dengan lembut.
Tetapi Mira tak patah arang, dia akan tetap membuktikannya pada Fandy juga mamanya kalau cintanya nanti akan berbalas suatu hari nanti.
Sementara itu, Fandy sudah fokus kembali menyelesaikan lukisan Mira, meski pikirannya masih sedikit kalut. Dia tak peduli, hanya ingin mengakhiri pekerjaannya dengan baik.
Sapuan kuasnya mewarnai kanvas dengan presisi. Pemilihan warna disesuaikan dengan latar dan tampilan model sepenuhnya.
Matanya memindai sementara hasil di kanvas, masih ada yang kurang. Tangannya lalu bergerak lagi mewarnai setiap sisi dengan cermat tanpa terkecuali.
Fandy ingin hasilnya sempurna agar Mira dan keluarga puas dengan hasil akhirnya. Tekadnya malam ini harus benar-benar selesai sepenuhnya.
***
Di kamar yang terasa hening dan sunyi, diiringi isak tangis Cyra. Tak lama dia menghapus air matanya. Dia membatin, membulatkan tekad akan menghadapinya semuanya besok.
“Bang Fandy itu suamiku. Pernikahan kami sah di mata agama, hukum dan negara.”
“Meskipun dia bukan barang, tapi aku merasa dia hanya miliku seorang. Perempuan lain tak ada hak untuk merebutnya dariku bahkan memilikinya.”
“Kali ini, aku tak akan membiarkan lagi perempuan lain merebut lelaki yang kusayangi. Tunggu aku Mira dan lihat saja nanti!”
sudah nolak malah di biarkan ada2 saja nih Fandy😩