Zian Ali Faradis
Putih dan hitamnya seperti senja yang tahu caranya indah tanpa berlebihan. Kendati Ia hanya duduk diam, tapi pesonanya berjalan jauh.
Azaira Mahrin
kalau kamu lelah, biarkan aku jadi jedanya.
🥀🥀🥀🥀🥀🥀
Ketika lima macam Love Language kamu tertuju pada satu orang, sedangkan sudah ada satu nama lain yang ditetapkan, maka pada yang mana kamu akan menentukan pilihan.
Dira: pilih saja yang diinginkan.
Yumna: pilih yang sesuai dengan hati.
Aira; gak usah memilih, karena sudah ada
Yang memilihkan.
Kita mungkin bisa memilih untuk menikah dengan siapa. Tapi, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa.
Ada yang menganggap cinta pilar yang penting dalam pernikahan. Tapi, ada pula yang memutuskan bahwa untuk memilih pasangan, cinta bukan satu-satunya alasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Sudah satu jam lho kamu di sini. Gak mau bilang juga?" Pertanyaan Yumna itu dimaksudkan pada Dira. Hal itu terlihat dari tatapannya yang hanya menuju pada gadis manis bertubuh mungil itu. Bukan pada Aira yang duduk di dekat jendela.
"Aku? Mau bilang apa emang?" Dira balik tanya tak paham.
Sebelumnya ia tak pernah mengatakan mau membicarakan sesuatu pada Yumna, dan Aira. Aneh rasanya ketika tiba-tiba saja Yumna malah mengatakan demikian.
"Aku tau kok maksud terselubung kamu ke sini pagi-pagi," cibir Yumna. Ah si cantik ini rupanya tengah memakai kemampuan indra keenamnya-yang belum pernah diketahui oleh Dira, dan Aira.
"Aku kesini mau numpang sarapan," kata Dira. Mereka memang sudah sarapan bersama, lalu berpindah ruangan, dan kini duduk mengobrol santai.
"Kamu pagi-pagi kesini tuh sebenarnya mau curhat. Ngaku aja! dan buruan cerita, mumpung aku lagi ada waktu."
"Heleh telek kuda." Dira mengumpat lalu ngakak. Tangannya menoyor pundak Yumna yang memasang tatapan mencibir.
"Sok tau."
"Mau cerita apa, Dira?" tanya Aira.
"Kak Aira malah percaya dengan tebakan Yumna?" Dira menatap tak percaya, merasa ini lelucon. Tapi, kemudian ia tersenyum sendiri sambil memilin ujung hijabnya. "Sebenarnya memang ingin minta saran sih, dari kalian," akunya jujur.
"Nah kan." Yumna langsung acungkan jari telunjuk pada sahabatnya itu.
"Aura orang mau curhat itu beda. Dah buruan cerita. Sebelum kadaluarsa."
"Ayah tanya kapan aku mau dipertemukan dengan orang itu, yang mau dijodohkan denganku." Dira akhirnya mengungkap apa yang menjadi sedikit beban pikirannya sejak semalam. Tepatnya sejak Firman bertanya demikian.
Jadi ceritanya, saat Nadira Ayu jujur pada ayahnya tentang Zian, dan minta maaf karena telah berbohong. Saat itu juga ia menyatakan bersedia untuk bertemu dengan laki-laki yang dipilih sang ayah, dengan syarat ia berhak menolak jika memang tak ada kecocokan. Tapi, untuk itu Dira masih minta waktu. Karena untuk saat ini masih belum merasa siap.
"Trus?"
"Kalau aku gak bingung mau jawab, gak akan kesini pagi-pagi untuk curhat."
"Ketemu aja, kan hanya ketemu? Kamu bisa nolak kalau memang gak suka. Tapi kalau langsung ditolak sebelum tau, itu gak adil buat orang itu." Yumna si paling suka blak-blakan itu aslinya ya seperti ini. Dia tidak tegaan sebenarnya. Seperti sarannya kali ini untuk Dira, dia masih memikirkan perasaan laki-laki yang hendak dijodohkan dengan sahabatnya itu. Padahal ia tahu kalau Dira tidak suka.
"Iya ya. Mudah aja sih kedengarannya. Tapi kok aku merasa belum siap ya."
Dira mengucap itu seraya telungkupkan wajahnya ke atas meja. Sebuah ekspresi yang menunjukkan kalau dia memang merasa berat.
"Kamu gak akan pernah siap, selama di hati dan pikiranmu hanya ada Zian."
Nah kan, pembaca percaya sekarang, kalau si Yumna memang seblak-blakan itu orangnya.
"Kok arahnya ke Zian sih." Dira nampak gak suka.
"Jujur aja. Apa ucapanku salah? Hanya Zian aja kan yang ada dalam pikiranmu."
Sebuah serangan telak dari Yumna untuk Dira.
"Apa kamu gak, Yumna. Aku tau kok gimana hancurnya perasaanmu saat gak satu frame lagi sama Zian. Kamu bahkan pingin resign sekarang kan dari kantor. Dah gak semangat kerja lagi kayak dulu."
Dira balik menyerang Yumna dengan fakta yang ia ketahui.
"Ih sok tau." Yumna pun melayangkan tatap tak suka.
"Bukan sok tau, kamu aja yang gak mau ngaku."
Yumna tampak ingin menimpali, namun urung saat terdengar ucapan Aira.
"Kok malah debat sih. Bukannya kalian mau cari solusi."
"Ini Dira kak. Aku kan cuma ngasih saran."
Yumna mengadu dengan wajah kesal.
"Yumna juga kak, pakai bawa-bawa Zian." Dira juga mengadu dengan alasannya sendiri.
"Tapi kan fakta," elak Yumna.
"Yang aku katakan juga fakta." Dira jelas tak mau kalah.
"Fakta apaan--"
"Udah cukup!" Aira menengahi. "Di hati kalian itu sama-sama hanya ada Zian, itu faktanya." Aira malah kian menegaskan.
"Kak Aira." Yumna, dan Dira ajukan protes bersamaan.
"Mau ngelak? Butuh bukti? Saat kalian berdebat untuk ngasih donor darah ke Zian waktu dia kecelakaan, itu buktinya."
Dira, dan Yumna langsung bungkam.
"Jadi gak usah saling tuding, perasaan kalian itu sama," kata Aira lebih lanjut. Ia tahu hal ini adalah topik sensitif untuk dibahas. Tapi, Aira gerah sendiri dengan ulah dua orang sahabatnya yang sudah dianggap adik-adiknya sendiri itu saling berargumentasi untuk memenangkan pendapat pribadi. Padahal jatuhnya sama. Mereka merasakan hal yang sama.
"Harus ya, Kak diperjelas kayak gitu." Yumna melayangkan protes dalam sebentuk tanya.
"Aku gak suka kalian ribut, saling tuding, padahal aslinya sama," jawab Aira.
"Kami ribut dan saling tuding gitu hanya bercanda doang, Kak," timpal Dira.
"Bercandain hal yang fakta, maksudnya?"
"Trus, Kak Aira ingin kami validasi? Padahal kami sama-sama tau kalau Zian itu ngasih perhatian lebih ke, Kak Aira,"
Kata Yumna. Hal mana membuat Aira memicingkan mata.
"Iya. Zian selalu prioritasin kak Aira." Dira setuju dengan ucapan Yumna.
"Malah aku yang diserang, itu penilaian dari mana coba?" Aira menatap Yumna dan Dira bergantian.
"Oh banyak. Salah satunya, momen sedehana tapi manis di ultah Diandra. Apa yang dilakuin Zian, dan apa yang dikatakannya, kalau Kak Aira gak nyadar dengan itu semua, ya kebangetan."
Wahh. Ternyata si Yumna tidak hanya berani bicara blak-blakan pada Dira saja, pada Aira juga ia maju. Padahal si gadis ayu itu sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Tapi, untuk satu hal yang fakta, Yumna memang tidak takut bicara terus terang di depan siapa pun.
"Benar. Itu yang kami ketahui, dan yang gak kami ketahui, yang hanya dilihat dan dirasakan kak Aira saja, pasti banyak. Kalau kak Aira bilang gak tau, itu berarti sedang mengingkari kenyataan." Dira malah ikut-ikutan melayangkan serangan.
"Kalian gak tau ya, kalau aku dan Zian itu memang biasa saling melempar candaan konyol." Aira mengingatkan.
"Zian bercanda, dan serius itu beda, Kak," sahut Dira.
"Kak Aira tuh sangat peka. Kalau masih mau bilang gak ngerasa ya berarti dusta," tambah Yumna.
Kalau Aira bilang Yumna, dan Dira itu adik yang gak ada akhlak, boleh tidak sih??
Aira diam. Mungkin Itu jalan paling aman. Karena Yumna benar, jika ia menyangkal, berarti ia berdusta. Dan gadis itu tidak mau disebut sebagai pendusta. Tapi kalau diakui, malah itu lebih tidak benar lagi. Setidaknya Aira tahu satu fakta tentang Zian, yang tidak diketahui oleh Dira, dan Yumna.
"Zian, akan menjaga diri untuk tidak terlibat perasaan dengan wanita mana pun. Itu karena dia menjaga amanah dari almarhum ayahnya." Sesaat kemudian Aira berkata pelan, tapi mengandung ketegasan yang kuat.
Dira, dan Yumna kali ini terdiam. Mereka tau keseriusan dari ucapan Aira tak bisa lagi diabaikan begitu saja.
"Amanah itu berupa seorang gadis yang sudah ditunjuk sebagai calon istri Zian," lanjut Aira dengan tatapan dalam menyapu wajah kedua sahabatnya.
"Jadi, perihal Zian sudah dijodohkan itu benar?" tanya Dira, suaranya tak kalah pelan.
Aira mengangguk pasti.
"Aku tau ini dari ustad Raizan, dan Zian juga membenarkan."