"Genduk Mara, putu nayune Simbah Demang. Tak perlulah engkau mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin anak turunku kelak tidak terlalu membanggakan para leluhurnya hingga ia lupa untuk selalu berusaha membangun kehidupannya sendiri. Tak ada yang perlu dibanggakan dari simbah Demangmu yang hanya seorang putra dari perempuan biasa yang secara kebetulan menjadi selir di kerajaan Majapahit. Kuharapkan di masa sekarang ini, engkau menjadi pribadi yang kuat karena engkau mengemban amanah dariku yaitu menerima perjodohan dari trah selir kerajaan Ngayogyakarta. Inilah mimpi untukmu, agar engkau mengetahui semua seluk beluk perjodohan ini dengan terperinci agar tidak terjadi kesalahpahaman. Satu hal yang harus kamu tahu Genduk Mara, putuku. Simbah Demang sudah berusaha menolak perjodohan karena trah mereka lebih unggul. Tapi ternyata ini berakibat fatal bagi seluruh keturunanku kelak. Maafkanlah mbah Demang ya Nduk," ucap Mbah Demang padaku seraya mengatupkan kedua tangannya padaku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
"Lastri, setelah ini, apa rencanamu? Aku tak pernah tahu siapa namamu hingga pak dhe mu menyebutkan namamu tadi. Maaf kita belum pernah memperkenalkan diri sebelumnya. Aku Soemitro," tanya Raden Soemitro dengan lembut pada gadis yang berada dihadapannya.
"Saya Soelastri, raden. Saya juga tidak tahu bahwa panjenengan adalah seorang demang di wilayah ini. Betapa bodohnya saya meminta bantuan seorang demang untuk membeli saya pada acara buka selambu. Mohon maafkan atas kelancangan saya, raden mas Soemitro," balas Lastri pada pemuda yang berada dihadapannya.
"Sebenarnya saya sudah menyiapkan seribu keping gobog bila kamu tetap memaksa saya mengikuti acara buka selambu itu. Saya bisa membeli dua kali lipat dari harga yang telah ditentukan oleh keluarga besarmu. Saya punya rencana melempar semua uang itu tepat di wajah mereka agar mereka semua tahu bahwa kamu lebih berharga dari uang gobog itu. Tapi belum juga acara lelang dimulai, aku sudah bisa membebaskankan kamu," seloroh raden Soemitro.
"Bila acara lelang itu dilaksanakan, apa yang dikatakan semua orang raden? Seorang demang membeli buka selambu warganya sendiri? Hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh mas demang," ucap Lastri sembari menundukkan wajahnya karena malu.
Masih teringat dipikirannya saat ia dengan pasrah memberikan tubuh dan hidupnya pada lelaki yang ternyata keturunan seorang raja dan seorang yang menjabat demang di wilayahnya. Dalam sikap lemah lembut dan pemberani, ternyata raden Soemitro juga menyiapkan uang dengan nilai dua kali lipat dari acara buka selambu miliknya. Uang seribu keping gobog bukanlah jumlah sedikit hanya untuk menebus kehormatan seorang gadis biasa seperti dirinya. Tapi mas demang raden Soemitro mampu melakukan hal itu untuk gadis biasa seperti Soelastri. Suatu penghormatan dan kebanggaan tersendiri di perlakukan seperti itu oleh seorang raden sekaligus seorang demang. Bila mengingat hal itu, Lastri begitu malu.
"Setelah ini, apa rencanamu?" tanya raden Soemitro mengulangi pertanyaannya.
"Seseorang yang tak memiliki uang sama sekali dan tidak memiliki tempat tinggal, apakah bisa merencanakan sesuatu dalam hidupnya, Raden Mas Sumitro? Aku juga tak bisa berpikir lagi saat ini. Nanti malam aku juga tak tahu akan menginap di mana? Bila hujan tetiba datang, aku juga tak tahu akan bernaung di mana. Pakaian pun juga hanya yang melekat di badan ini. Pakaian yang begitu tipis, yang begitu tak pantas untuk dipakai ini," kata Lastri sambil menutupi area dada dengan kedua tangannya dengan posisi wajahnya tetap menunduk.
Sekilas raden Soemitro menatap gadis itu. Ia memakai pakaian begitu tipis dan menerawang hingga ke kulit tubuhnya yang putih. Pakaian yang bisa membangkitkan birahi seorang lelaki yang memandangnya.
"Paijo, tolong bawakan jarikku ke sini."
"Inggih raden."
Paijo memberikan kain jarik pada tuannya.
"Pakailah jarik ini untuk menutupi tubuhmu dan tunggulah aku di pedati di bawah pohon beringin itu. Aku akan ke dalam pasar. Aku akan segera kembali," ucap raden Soemitro dengan nada lembut.
"Inggih raden."
Raden Soemitro terlihat memasuki area pasar, sementara Lastri menunggu di dekat pedati milik raden tersebut. Tak seberapa lama kemudian, pemuda berstatus demang itu menghampirinya.
"Ini baju untukmu. Bila menurutmu coraknya kurang pas, belilah lagi sesuai keinginanmu. Ini uang seribu keping gobog yang rencananya buat acara buka selambumu. Ini kuberikan padamu bukan untuk membelimu. Tapi sebagai pegangan bila kamu membutuhkannya. Kamu mulai sekarang hidup sendiri tanpa keluarga besarmu. Itu pasti sangatlah sulit. Kumohon terimalah," ucap raden.
"Tapi ini terlalu banyak raden. Pakaian ini saja sudah lebih dari cukup untukku," balas Lastri.
"Kumohon terimalah. Bolehkah aku menawarkan sesuatu padamu? Di dekat rumahku, ada Surau. Tinggallah di sana dengan pengawasan penuh dariku. Saya juga minta tolong padamu, ajarkanlah mengaji dan tata cara salat pada Ibuku. Aku akan membayarmu sesuai dengan keinginanmu. Berapapun itu akan kubayar. Kuharap kamu tidak menolak penawaranku tersebut," ucap raden Soemitro menyerahkan dompet kain serut berwarna hitam pada Lastri.
"Terima kasih raden. Saya terima tawaran panjenengan."
Mereka bertiga kembali pulang dengan raden soemitro sebagai saisnya.
"Saya merasa sungkan duduk di samping perempuan cantik seperti mbak Lastri ini, raden. Biar saya saja yang mengais pedati ini," ucap Paijo malu.
"Guayamu kui lho. Cek erame jo Paijo," seloroh raden Soemitro yang membuat Lastri tersenyum.
Sesampainya dirumah, Lastri menyalami mbah ibu dengan lembut di bale rumah.
"Ayune. Sopo jenenge iki? Silakan duduk nduk."
"Lastri. Inggih bu."
"Bu, Lastri nanti akan menempati surau di depan rumah. Bila ibu berkenan, Lastri juga bisa mengajari ibu tata cara salat dan mengaji. Untuk makan dan lain sebagainya, dia bisa membantu memasak di dapur," ucap raden Soemitro pada ibunya.
"Mengapa gadis itu tidak disuruh tinggal di rumah ini saja? Di bale sama ibu. Toh kamu sama Paijo juga di dapur. Kasihan gadis itu bertempat tinggal sendiri di Surau."
"Bila bertempat tinggal di sini, saya takut dengan omongan orang karena kami tidak memiliki ikatan apapun. Saya takut bila ia tinggal di sini akan banyak fitnah yang beredar di lingkungan ini. Saya tidak mau membuat nama gadis itu semakin tercemar karena kami satu rumah."
Seusai salat maghrib, mbah ibu dan raden Soemitro terlihat duduk diruang bale sembari mengawasi surau di halaman rumah.
"Saya juga berencana menjodohkan perempuan itu dengan lelaki baik yang bisa memberikan masa depan yang lebih baik untuk perempuan itu," ucap raden Soemitro sambil menyantap pisang godog buatan mbah ibu.
"Apa kamu tidak memiliki rasa suka sedikitpun pada perempuan itu?" telisik mbah ibu pada putranya tersebut.
"Aku hanya seorang demang bu. Hanya seorang centeng Belanda. Saat tadi dipasar,pak dhe Lastri juga bilang aku ini antek Belanda. Kalau bisa, janganlah perempuan itu bersamaku. Dia pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku. Dia pantas mendapatkan bangsawan yang lebih baik dariku. Bukan seorang centeng Belanda sepertiku," elak raden Soemitro.
"Apa yang bisa diharapkan dari lelaki sepertiku, bu? Aku hanya seorang putra selir raja. Aku hanya seorang demang di desa ini. Soelastri pantas mendapatkan lelaki yang berada di atasku. Seorang Bupati atau seorang gubernur, atau seorang kolonial misalnya. Aku tak pantas bersamanya karena aku merasa tak bisa menjamin kebahagiaan atau apapun. Saat ia bersamaku, aku tidak bisa memberikan apa yang dia butuhkan. Aku juga bukan seorang pelindung yang baik untuknya bu."
"Tapi sepertinya, Lastri begitu mencintaimu."
"Cinta bisa datang setelah menikah. Witing tresno jalaran soko kulino. Saat pernikahan, awalnya mereka tidak saling menyukai. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka pasti akan saling menyukai. Melihat Soelastri bahagia dari jauh saja, itu sudah lebih dari cukup untukku."
Sementara itu di surau
"Raden Mas Demang. Janjiku tetap sama. Panjenengan adalah orang yang menyelamatkanku dari perkosaan kala itu. Tubuh, hati dan jiwa ini tetap untuk panjenengan selamanya. Itulah janji Soelastri pada panjenengan, pada raden mas demang, Soemitro," ucap lirih Soelastri di atas sajadahnya.