Lady Seraphine Valmont adalah gadis paling mempesona di Kekaisaran, tapi di kehidupan pertamanya, kecantikannya justru menjadi kutukan. Ia dijodohkan dengan Pangeran Pertama, hanya untuk dikhianati oleh orang terdekatnya, dituduh berkhianat pada Kekaisaran, keluarganya dihancurkan sampai ke akar, dan ia dieksekusi di hadapan seluruh rakyat.
Namun, ketika membuka mata, ia terbangun ke 5 tahun sebelum kematiannya, tepat sehari sebelum pesta debutnya sebagai bangsawan akan digelar. Saat dirinya diberikan kesempatan hidup kembali oleh Tuhan, mampukah Seraphine mengubah masa depannya yang kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celestyola, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gebrakan dari Putra Mahkota
...**✿❀♛❀✿**...
Keesokan harinya, sebuah kabar beredar lebih cepat daripada hujan semalam. Dari pelayan ke prajurit, dari prajurit ke bangsawan, hingga akhirnya memenuhi lorong-lorong istana.
Kabar itu berisi tentang Putra Mahkota Wilhelm telah mengumumkan sebuah keputusan yang mengejutkan seluruh kekaisaran. Keputusan itu yakni penobatan dirinya sebagai Kaisar akan segera digelar dalam waktu tiga hari.
Bukan hanya itu, penobatan itu sekaligus pengangkatan Lady Beatrice Hawthorne sebagai Permaisuri.
Apa-apaan itu? Kaisar bahkan baru saja wafat! Putra Mahkota dan Lady Beatrice Itu saja bahkan belum melangsungkan pernikahan! Bagaimana mungkin seorang Lady menjadi permaisuri tanpa memiliki hubungan suami istri dengan sang Kaisar itu sendiri?
Apakah Putra Mahkota mengabaikan aturan yang ada hanya agar dapat menduduki dan mengamankan tahtanya dengan cepat? Jika iya, sungguh Kekaisaran ini akan jatuh ke dalam kekacauan!
Lorong-lorong istana seketika riuh. Para pejabat tinggi berbisik-bisik, sebagian menahan amarah, sebagian lagi menahan rasa takut. Faksi-faksi yang selama ini hanya bergerak diam-diam kini dipaksa menampakkan sikap. Jika tidak, mereka akan kehilangan kesempatan!
Di Prince’s Quarters sendiri, kabar itu sampai ke telinga Frederick lebih dulu lewat seorang pengawal kepercayaannya. Sang Pangeran hanya berdiri di dekat jendela, menyimak laporan itu dengan wajah setenang batu.
“Jadi, Wilhelm tidak ingin menunggu lama, rupanya,” ucapnya datar.
Seraphine, yang juga telah berada di sisinya, terkejut. “Yang Mulia… ini jelas tindakan provokasi. Penobatan dan pengangkatan permaisuri tanpa melakukan pernikahan? Bukankah ini terlalu—”
“—tergesa?” Frederick memotong dengan suara rendah. Ia menoleh ke arahnya, wajahnya tampak dingin.
“Tidak. Wilhelm tidak pernah tergesa. Ia selalu merencanakan setiap langkahnya. Termasuk ini.”
Seraphine terdiam, menatap Frederick dengan sedikit cemas.
“Dengan begitu,” lanjut sang pangeran, “ia menutup semua celah. Bangsawan yang mungkin hendak mengajukan protes kini tak punya waktu untuk menghimpun kekuatan. Dan dengan mengangkat Beatrice sebagai Permaisuri.”
Frederick menghela napas singkat lalu kembali melanjutkan ucapannya, “ia mengikat faksi keluarga Hawthorne ke dalam takhta. Satu panah untuk dua buruan, yah ini memang taktik khas dari seorang Wilhelm.”
Seraphine menggigit bibirnya. “Tapi, Yang Mulia, rakyat pasti akan merasakan ada yang ganjil. Penobatan ini terlalu dini. Bukankah justru akan menimbulkan gejolak?”
Frederick menatap keluar jendela, ke arah bendera hitam yang masih berkibar setengah tiang di halaman istana. Matanya tetap dingin.
“Wilhelm tidak peduli pada gejolak. Ia lebih peduli pada kekuasaan. Dan ia tahu, gejolak itu bisa dipadamkan dengan besi dan api.”
Keheningan menyelimuti mereka. Suara lonceng duka yang masih berdentang samar di kejauhan kini seakan berubah menjadi dentang perang—mengingatkan semua orang bahwa istana tak lagi berada dalam masa berkabung, melainkan dalam pusaran perebutan kekuasaan.
Belum sempat percakapan mereka mereda, seorang pengawal kepercayaan Frederick mengetuk pintu dengan tergesa. Napasnya tampak terengah, wajahnya diliputi kegelisahan yang begitu kentara.
“Yang Mulia, ada laporan penting,” ucapnya serak.
Frederick menoleh singkat, tatapannya dingin. “Bicara.”
Pengawal itu menunduk, lalu berkata lirih, “Tabib yang menangani Yang Mulia Kaisar sebelum beliau wafat… ditemukan terburu-buru meninggalkan istana semalam. Sebelum kepergiannya, ia terlihat bertemu dengan seorang nona dari keluarga Duke Armand. Dan… ada saksi mata yang melihat tabib itu menerima sekantung besar emas.”
Keheningan melingkupi ruangan.
Seraphine menegang. “Seorang nona dari keluarga Duke Armand?” suaranya bergetar, tapi cepat ia kendalikan.
“Siapa?” tanyanya kemudian.
Pengawal itu menggeleng. “Saksi hanya mengatakan ia perempuan muda. Mengenakan kerudung, wajahnya tertutup sebagian. Namun pelayannya bersumpah bahwa kereta yang membawanya milik keluarga Duke Armand.”
Frederick tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tidak terkejut, tidak gusar. Hanya diam, menatap kosong ke arah lilin yang berkedip di meja.
Seraphine menunduk dalam-dalam, pikirannya berpacu. Menebak-nebak siapa sosok itu, yang jelas, ini bukan sebuah kebetulan.
“Apakah tabib itu masih di dalam wilayah ibukota?” tanya Frederick datar.
“Belum diketahui, Yang Mulia. Tapi kami temukan jejak kuda yang mengarah ke jalan barat. Sepertinya ia berusaha keluar dari ibukota.”
Frederick akhirnya bangkit dari kursinya. Tubuhnya tegap, sorot matanya sedingin baja.
“Cari dia,” ujarnya pelan tapi tegas.
“Bawa dia kemari, hidup-hidup,” perintahnya kemudian.
Pengawal itu menunduk dalam, lalu segera mundur untuk melaksanakan perintah sang junjungan.
Seraphine menatap Frederick, wajahnya yang biasanya selalu tenang, kini diliputi kekhawatiran.
“Yang Mulia, jika laporan ini benar, maka dugaan kita bukan sekadar spekulasi. Memang benar ada seseorang yang mendalangi kematian Kaisar. Dan keluarga Duke Armand juga terlibat,” ucap Seraphine sembari menatap sosok Frederick yang kini tampak lebih muram dari biasanya.
Padahal, pada malam mereka berbincang hingga subuh, sosok itu tampak telah mencair.
Frederick memalingkan wajah dari Seraphine, menatap keluar jendela di mana bendera hitam masih berkibar di bawah hujan.
“Aku sudah menduganya,” katanya dingin. “Sekarang tinggal buktinya.”
Di kejauhan, suara petir mengguncang langit. Seakan menegaskan bahwa badai besar baru saja dimulai.
......................
Malam harinya, di Kediaman Marquis Valmont
Malam itu, sebelum jam makan tiba, kediaman Marquis Valmont diselimuti sunyi yang berat. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan dedaunan yang masih meneteskan air.
Lampu-lampu minyak di koridor mansion keluarga bangsawan itu menyala dengan redup, cahayanya bergetar tertiup angin yang menyelinap dari jendela yang setengah terbuka.
Di tengah ketenangan itu, sosok berjubah gelap bergerak dengan hati-hari, ia berhasil menyelinap seolah ia mengenal tempat ini dengan baik.
Gerakannya nyaris tanpa suara, hanya sesekali lantai kayu tua itu terdengar berderit lirih. Sosok itu menyusup melewati halaman belakang, menunggu saat para penjaga bergantian ronda.
Tangannya cekatan membuka pintu dapur kecil yang terletak tak jauh dari ruang makan utama. Bau hangat kaldu ayam dan rempah menguar dari sana.
Sosok berjubah itu berhenti sejenak, menajamkan telinga. Hanya terdengar suara dengkuran tipis dari salah satu juru masak yang ketiduran di sudut dapur.
Senyum tipis tersungging di wajah si penyusup, lalu ia merogoh kantung hitamnya. Dari sana ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan kehitaman, bertekstur sedikit kental, dengan aroma samar logam yang menusuk.
Dengan gerakan hati-hati, ia membuka tudung panci yang mengepul pelan. Uap hangat menyentuh wajahnya, tangannya bergerak cepat, menuangkan racun itu ke dalam kaldu. Cairan hitam itupun larut perlahan, menghilang dalam sup yang berona keemasan tanpa meninggalkan jejak.
Sesaat, penyusup itu hanya berdiri di sana, memperhatikan cairan itu berputar mengikuti riak kuah. Ada kepuasan dingin di matanya—satu langkah lagi, dan keluarga Valmont akan kehilangan salah satu anggota berharganya.
Namun ia belum selesai. Ia menambahkan racun pada roti lembut yang telah dipanggang khusus untuk Aurelia. Sebagai langkah antisipasi, ia juga membubuhkan racun lain yang tak memiliki warna dan aroma di sana. Namun, sama mematikannya dengan racun yang ia tuangkan pada kuah kaldu tadi.
Penyusup itu lalu melangkah mundur, memastikan semua terlihat alami. Panci telah ditutup kembali, roti pun ersusun rapi seakan tak pernah tersentuh. Ia menyapu dapur dengan tatapan singkat, lalu kembali menyelinap ke kegelapan malam, seakan ia memang tak pernah ada di sana.
Di kejauhan, lonceng malam berdentang pelan menandai pergantian jam. Para penjaga berganti ronda, tanpa menyadari bahaya telah menunggu di meja makan keluarga yang mereka lindungi.
Sementara itu di dalam kamar mungilnya, Aurelia yang polos tengah menunggu jam makan tiba dengan hati riang. Ia tidak tahu bahwa makanan hangat yang akan segera dihidangkan untuknya telah menjadi senjata yang akan membuatnya melihat apa itu maut.
...**✿❀♛❀✿**...
...TBC...
bikin dadas dikit thur creakter ceweknya biar semangat bacanya
ya sampah
bisa buat sedikit badas biar semangat bacanya😂😅