Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sesaat kemudian, motor Jack tiba di depan gerbang rumah Deva. Ia membiarkan Deva turun, lalu menatap gadis itu lekat-lekat.
"Makasih, nih helm lo." Deva menyodorkan helm yang tadi di pakainya pada Jack.
Akan tetapi, Jack justru menahan pergelangan tangannya. Pemuda itu menggeleng pelan.
"Nggak usah, itu buat lo aja. Siapa tahu lo bakal kangen sama gue!" jawabnya enteng.
Kedua pupil mata Deva melotot, "Geer banget lo, yang ada lo yang bakalan kangen sama gue."
"Emang, bukannya lo juga tahu itu?"
Deva mengerutkan dahi, mencoba menahan senyum yang ingin keluar. Dalam hatinya, ia tak menyangka Jack akan menjawabnya dengan begitu enteng.
"Jadi, lo yakin mau ngasih helm itu ke gue?" tanyanya sambil melipat tangan di dada.
Jack mengangguk, wajahnya serius meskipun senyum di bibirnya masih menggoda. "Iya, biar lo ingat sama gue terus. Setiap kali lo lihat helm itu, lo bisa ingat betapa gantengnya wajah gue."
Deva tak bisa lagi menahan tawa, ia terkekeh lalu menghela napas, merasa tersentuh oleh perhatian Jack yang terdengar konyol. Deva merasa ada sesuatu yang hangat di sudut hatinya.
"Lo emang sok romantis, ya? tapi, ya udahlah, makasih. Gue anggap sebagai kompensasi atas kejadian malam itu yang bikin lutut gue luka." Deva menjawab setelah meredakan tawanya.
Jack mengangguk, ia mengusap pucuk kepal Deva lembut. "Gue balik dulu, kalo kangen telpon aja."
"Ogah, ngapain juga gue harus ngangenin orang kaya lo." Sahut Deva seraya menyingkirkan tangan Jack dari kepalanya.
Bukannya tersinggung, Jack justru tersenyum hangat. "Oke, nanti gue aja yang telpon. Gue yang sering kangen sama lo."
"Nggak perlu! gue nggak butuh telpon dari lo." Tolak Deva mentah-mentah.
Jack mengangkat kedua bahunya acuh, ia menyalakan mesin motornya lalu menoleh sekali lagi ke arah Deva.
"Bye, Cantik." Ujarnya mengedipkan sebelah mata pada Deva sebelum menjalankan motornya menjauhi kediaman itu.
Jack merasa puas begitu melihat wajah Deva yang menunjukkan kekesalannya, ia menginjak kopling dan meninggalkan area rumah gadis itu.
"Sialan, ngeselin banget tuh orang!" dumel Deva seraya melangkah memasuki gerbang rumahnya.
***
Deva membuka pintu rumahnya, ia di kejutkan oleh suara bariton sang ayah yang sedang duduk di sofa single ruang keluarga.
"Habis dari mana kamu, Dev? kenapa jam segini baru pulang?"
Deva yang baru saja melangkah ke dalam rumah, seketika menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah ruang keluarga dan melihat ayahnya sedang menatap ke arahnya dengan pandangan rumit.
"Daddy, tumben pulang cepat." Sahut Deva, ia lupa dengan pertanyaan dari ayahnya barusan.
"Jawab, Dev! dari mana kamu!" bentak Dion, membuat Deva terdiam kaku.
"Aku dari kampus, Dad. Tadi nggak ada ojek yang bisa aku pesan, motor aku mogok, hp aku juga mati." Sahut Deva menjelaskan situasinya dengan jelas.
Dion menghela napas kasar, ia meminta Deva mendekat dan duduk di sofa. Gadis itu menurut, namun pikirannya tak bisa fokus sejak tadi. Ia heran mengapa ayahnya tiba-tiba berubah jadi galak, dan terlihat sangat marah padanya.
"Jelaskan ini sama Daddy, apa benar semua foto ini milikmu!"
Dion menyodorkan semua foto yang ia dapat sambil mengamati reaksi putrinya, terlihat jelas bahwa putrinya itu terkejut sama seperti saat ia menerima foto itu.
Deva menatap foto-foto yang berserakan di atas meja. Dalam foto-foto itu, ia melihat dirinya sendiri, tetapi dalam situasi yang tidak biasa.
Beberapa menunjukkan dirinya di sebuah klub malam, dan mengenakan pakaian mini. Ada satu foto yang di ambil dari jarak jauh, menunjukkan dirinya sedang di belai oleh seorang pria paruh baya.
"Daddy, ini... ini bukan aku!" Deva berkata dengan tegas, meski tak di pungkiri nada suaranya sedikit bergetar.
Dion mengerutkan kening, tidak mempercayai kata-kata yang meluncur dari mulut putrinya. "Kalau itu bukan kamu, lalu siapa gadis di foto-foto ini?"
"Daddy, aku berani bersum--"
Ucapan Deva terhenti, begitu ia merasakan kepalanya berdenyut nyeri. Ia memegang sisi kanan kepalanya, berharap bisa mengurangi sakitnya. Namun, itu tidak berguna.
Justru kepalanya semakin berdenyut-denyut, ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ingatan asing kembali muncul, seakan memaksa Deva untuk menerima memori itu.
"Akh... sakit!" rintihnya.
Dion berdiri dari sofa, dan menghampiri putrinya. "Dev, jangan pura-pura sakit seperti itu."
"Dad, sakit..." Deva memukul bagian kanan kepalanya.
"Tunggu sebentar, Daddy panggil dokter dulu." Ujar Dion mendadak ikut panik.
Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel, namun ketika ia hendak menekan nomor dokter Clein, tubuh Deva limbung dan jatuh ke pangkuannya.
"Deva, bangun! Deva." Panggil Dion.
Namun, tak ada jawaban sama sekali dari putrinya. Merasa keadaan semakin tak terkendali, Dion menggendong tubuh Deva dan membawa keluar rumah. Ia berniat pergi ke rumah sakit. Ketika ia tiba di teras rumahnya, suara Sera terdengar dari belakang tubuhnya.
"Om, mau kemana?" tanya Sera heran.
Dion menoleh, ia lalu menjawab. "Mau ke rumah sakit, Deva pingsan lagi."
"Om, sebenarnya aku..."
"Kita ngobrolnya nanti saja, ya. Om buru-buru." Potong Dion, ia berlari menuju mobil dan bergegas pergi ke rumah sakit tanpa menunggu Sera berbicara.
"Sial, kalau gini terus gue nggak bakal bisa gantiin Deva di keluarga ini!" gumam Sera sambil mengepalkan kedua tangannya.