Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#32
Anindia melirik dengan sangat malas. Sungguh, hal yang sangat amat tidak ia harapkan adalah pertemuannya dengan Hanafi. Tidak sangat tidak ingin bertemu dengan mantan suaminya. Tapi sayangnya, dia lupa. Mana mungkin mereka tidak akan bertemu. Secara, ini adalah pernikahan adik dari mantan suaminya itu.
"Anin, kamu sangat cantik." Bibir Hanafi tidak bisa menahan pujian itu agar tidak lepas.
Dengan tatapan mata yang penuh akan kekaguman, Hanafi terus melihat ke arah mantan istrinya. Memang, gaun indah berwarna krim kecoklatan itu terlihat sangat cantik di tubuh Nindi. Di padu pula dengan jilbab dengan warna yang sama. Dia memang terlihat semakin cantik di bawah kecantikan paras yang dia miliki.
"Kamu cantik sekali." Lagi, pujian itu kembali datang dari bibir Afi.
Desi yang tanpa sengaja mendengarkan pujian yang Afi lontarkan untuk Nindi, tentu saja langsung merasakan perasaan cemburu yang sangat kuat. Bagaimana tidak? Dia adalah istri Hanafi sekarang. Tapi, sedikitpun Afi tidak pernah mau meliriknya. Sedangkan si mantan istri, selalu saja ada dalam pikiran, menjadi bayangan yang selalu menghantui sang suami. Sungguh menyakitkan hati.
"Anin-- "
"Hanafi. Mama memanggil kamu untuk ke ruangan belakang. Mama ingin bicara," ucap Desi yang langsung datang dari arah belakang Afi.
"Katakan sama mama, aku akan datang nanti."
"Mama ingin bicara sekarang, Afi." Kesal Desi terlihat dengan sangat jelas.
"Aku sedang bicara dengan tamu. Mengerti?" Afi tidak kalah kesal karena ucapan Desi barusan.
Melihat situasi yang tidak memungkinkan, Nindi memilih untuk mundur. Menarik langkah untuk menjauh dari orang-orang yang ada di masa lalunya ini. Jujur, dia tidak ingin terjebak dengan kedua orang tersebut. Sungguh, dia datang hari ini bukan untuk merusak apa yang telah berlalu. Dia hanya ingin memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja sekarang. Bukan untuk merusak suasana.
Sadar akan Nindi yang ingin pergi, Hanafi langsung menahannya. "Anin, mau ke mana?"
"Ke sana. Permisi."
"Tunggu dulu, Anindia. Aku masih ingin bicara."
"Maaf, sepertinya, temanku ingin aku ke sana. Maaf sekali," ucap Nindi berbohong sambil melihat layar ponselnya.
Nindi yang tidak ingin diajak Afi bicara lagi, langsung menarik langkah besar setelah berucap. Dia benar-benar ingin pergi sampai Afi tidak punya kesempatan untuk mencegahnya.
"Anin."
Gagal menahan si mantan istri, Afi kesal bukan kepalang. Dia tatap tajam wajah Desi yang ada didekatnya. "Kamu benar-benar merusak suasana, Desi." Gumam Afi sambil melangkah pergi.
Desi yang mendengar ucapan itu tentu saja merasa kesal. Sungguh, dia ingin sekali marah. Tapi sayangnya, mau marah seperti apapun, dia tidak akan menang. Karena Hanafi tidak akan mau perduli padanya.
*
"Ada apa, Ma?" Nada kesal itu terdengar dengan sangat jelas.
Dia hadir di pesta pernikahan adiknya hanya karena permohonan sang mama. Jika saja dia tidak diperlukan di sana, mana mungkin dia akan hadir? Sang mama memohon kepadanya dengan susah payah. Karena setelah kebohongan mamanya terungkap, Afi tidak pernah berniat untuk pulang ke rumah.
"Fi. Mama ingin kamu berkenalan dengan sepupu mu. Sadan Huda."
Lelaki yang sedang duduk membelakangi pintu itu langsung berdiri. Saat wajah yang tidak lagi asing di matanya terlihat, Hanafi langsung membulatkan mata dengan sempurna.
"Apa?"
"Dia siapa?"
Sadan dengan senyum di bibirnya langsung mendekat. Uluran tangan untuk berkenalan langsung pria itu berikan. "Halo, sepupu. Sudah lama tidak bertemu," ucap Sadan dengan wajah manisnya tanpa luntur sedikitpun.
"Se-- sepupu? Kamu? Sepupu aku?"
"Iya. Kenapa, Afi?" Sang mama angkat bicara.
Afi berucap tanpa menoleh. "Mama yakin dia sepupu aku?"
"Iya. Lah, kenapa memangnya?"
"Dia-- " Afi langsung mengantungkan kalimatnya.
Iya. Dia ingin mengatakan apa yang ada dalam benaknya saat ini. Mengatakan bahwa pria itu adalah pria yang sedang bersaing dengannya dalam merebut orang yang dia cintai. Sayang, bagaimana bisa kata itu dia lepaskan? Karena yang diperebutkan adalah orang yang telah putus hubungan dengannya gara-gara mamanya ini.
"Ba-- bagaimana bisa kamu jadi sepupu aku?"
"Ya tentu saja bisa, Hanafi. Orang dia adalah anak tante kamu," ucap mama Sadan yang baru muncul dari arah pintu.
"Tante Ria."
"Jadi, dia adalah Sadan Huda? Anak tante Ria?"
"Hm. Dia Sadan Huda. Anak tante, sepupu kamu."
"Bagaimana? Sudah sama-sama dewasa sekarang, bukan?"
"Oh iya, perusahaan keluarga tante mu akan berinvestasi ke perusahaan kita, Afi. Karena itu, sebaiknya, kalian berdua mengurus urusan kantor dengan baik nanti yah," ucap Nisa lagi dengan bahagia.
Tidak ada yang bisa Afi katakan untuk saat ini. Semuanya terasa sangat berat. Hanafi hanya bisa mematung tanpa suara. Sesaat setelah kedua mama pergi, Sadan langsung tersenyum mengejek.
"Mas Hanafi. Apa kabar? Aku harap, sangat baik sekarang ya."
"Kamu, kamu adalah pria yang sering datang ke kediaman mantan istriku, bukan? Ngapain kamu di sana? Jangan coba-coba buat-- "
"Oh, ho ho ho. Mas Afi ternyata masih sangat perduli yah pada mantan istrinya. Sampai-sampai, kamu rela jadi pengamat dari kejauhan hanya untuk melihatnya. Sungguh luar biasa. Sayang, hanya bisa jadi pengamat aja. Gak bisa mendekat karena gak punya nyali."
"Kamu! Apa yang kamu katakan barusan? Siapa yang tidak punya nyali. Tidak. Tunggu! Kamu tahu kalau aku adalah mantan suaminya Anin?"
Sadan tersenyum lebar. "Tentu saja aku tahu. Lalu kenapa?"
"Kamu tahu? Tapi kenapa kamu malah terus dekat dengannya? Apa tujuan kamu dengan mendekati dia?"
"Ssstttt. Jangan banyak bicara, Hanafi. Jangan nge-gas. Gak baik ya."
"Kamu!"
"Apa tujuan ku, kamu gak punya hak untuk tahu. Kamu siapa? Bukan siapa-siapanya Nindi. Tolong sadar diri, Hanafi. Jangan terus terhanyut dalam khayalan, oke?"
Belum sempat Afi menjawab apa yang baru saja Sadan bicarakan, denting pesan singkat langsung mengalihkan perhatian Sadan. Senyum manis langsung terkembang di bibirnya ketika membaca pesan tersebut.
Sesaat setelah membalas pesan yang masuk, Sadan langsung beranjak dari tempat di mana dia berduri sebelumnya.
"Maaf, aku harus pergi. Kita tidak bisa melanjutkan obrolan kita karena aku harus datang untuk memenuhi panggilan orang yang sangat penting untukku. Permisi."
Hanafi hanya terdiam tanpa menjawab apa yang Sadan katakan. Sedangkan Sadan, dia langsung bergegas pergi setelah selesai bicara.
Namun, Afi langsung tersadar sesaat setelah kepergian Sadan yang meninggalkan dirinya. "Orang penting? Orang yang yang dia maksud mungkin ... Anin."
Gegas, Hanafi bergerak untuk menyusul Sadan. Sayangnya, karena sudah kehilangan jejak dari si pria, Afi butuh waktu untuk menemukan orang yang dia cari di sekitaran banyak tamu undangan yang sedang hadir.
Dan, ketika mata itu menemukan Sadan, pria itu benar-benar sedang bersama Nindi. Sedang berbicara berdua sambil tersenyum lebar. Sikap kekanak-kanakan Sadan pun langsung muncul. Ya. Sikap itu hanya akan muncul di depan orang yang ingin Sadan ambilkan perhatian saja. Jika orang yang tidak ingin ia ambilkan perhatian, dia akan terlihat sangat dewasa dengan semua ketegasan yang dia miliki.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.