Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Busking
Rayhan memasuki studio musik dengan tubuh lemasnya. Hari tu, ia terpaksa masuk karena Pak Rudy—dosen pembina klub sekaligus pengajar seni musik, akan menyampaikan sebuah berita tentang grup band mereka. Saat pintu terbuka, Ali dan Pandu sudah menunggu sembari membersihkan peralatan musik.
Alih-alih menyapa kedua sahabatnya, Rayhan justru langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Beberapa kali matanya coba ia pejamkan, namun kantuk tak kunjung datang. Tangannya mengusap wajah dengan kesal, sudah beberapa hari ini ia bergantung pada obat tidur. Sayangnya, hal itu pun tak cukup untuk membuatnya terlelap tanpa mimpi buruk.
“Lo masih belum bisa tidur, Ray?” tanya Pandu yang sejak tadi memperhatikan Rayhan yang terus membenarkan posisinya.
Rayhan terdiam, tenaganya habis bahkan hanya untuk sekedar mengeluarkan suara. Sedangkan Ali masih termenung dengan tangan sibuk mengelap gitar bass-nya, seperti memasang dinding kaca yang sengaja ia biarkan berdiri. Dan di antara mereka, hanya Pandu yang masih bisa berpikir rasional dan bersikap tegar semenjak kepergian Cassie.
Pandu menghela napas panjang, cukup sudah ia membiarkan keduanya bergelut dengan pikiran mereka masing-masing. Karena tak tahan dengan suasana yang kian canggung, ia akhirnya menarik Ali untuk duduk bersama Rayhan di sofa.
Dengan nada tegas Pandu berusaha menyadarkan mereka.
“Guys, gue tahu kalian masih kalut. Tapi serius, ini udah hampir satu bulan dan kalian masih diem-dieman kayak bocah?” tangannya menyilang di dada. Matanya bergantian menyapu ekspresi kedua sahabatnya. Rayhan yang memijit pelipisnya dan Ali yang bersandar dengan wajah muram.
“Kalian pikir band ini akan terus jalan kalau lo berdua kayak gini? Mana Rayhan yang dulu selalu penuh percaya diri? Mana Ali yang pecicilan? Kalau ada unek-unek, keluarkan sekarang! Jangan tunggu band ini bubar gara-gara lo berdua yang gak bisa atasi masalah kayak laki-laki.”
Rayhan menatap Pandu dengan raut bingung. Baru kali ini ia mendengarnya bicara panjang lebar. Namun ia merasa ucapannya kurang tepat. Baginya hubungannya dengan Ali sudah cukup baik sejak pertemuan di rooftop dulu. Diamnya kali ini bukan karena Ali, tapi karena malam -malam panjang yang ia habiskan tanpa tidur nyenyak.
“Lo ngomong apa sih? Siapa yang gak akur di sini? Gue cuman gak bisa tidur, gue capek.” Sahut Rayhan, suaranya terdengar kesal.
“Terus lo, Li? Kenapa diem aja? Bisu lo?” Pandu menoleh tajam pada Ali.
Udara di ruangan menegang, tapi sebelum mulutnya terbuka, pintu studio mendadak terbuka.
Pak Rudy masuk dengan gaya nyentriknya—jaket warna-warni, syal panjang, dan rambut yang sedikit berantakan seolah baru turun panggung. Wajahnya sumringah, dan tangan kanannya membawa selembar kertas, langkahnya ringan seolah membawa kabar kemenangan.
senyumnya makin melebar ketika melihat seluruh anggota sudah berkumpul.
“Sudah kumpul semua? Bagus bagus!” serunya ringan. Tak menyadari hawa studio yang tadi sempat memanas. Pak Rudy meletakkan kertas itu di atas ampli, lalu menepuk-nepuk tangannya. “Sebelum kalian mulai latihan, saya punya berita bagus buat kalian!”
Rayhan, Pandu dan Ali hanya diam menyaksikan tingkah heboh Pak Rudy.
“Apa kalian pernah busking?” tanya Pak Rudy tiba-tiba, sambil melepaskan syalnya dan menjatuhkan dirinya di kursi dengan santai.
Ketiganya saling pandang, lalu kompak menggeleng. Mereka terbiasa tampil dalam acara resmi saja, tak pernah terpikirkan melakukan busking di jalanan. Pikiran untuk turun langsung di ruang publik sama sekali tidak pernah terlintas.
“Ngamen?” Ali bersuara, setengah ragu.
“Bukan sekedar ngamen, Li.” Jawab Pak Rudy, tersenyum penuh arti.
“Bapak mau kita busking di jalanan?” Rayhan menyahut, kali ini justru dengan nada yang terdengar lebih antusias daripada sinis.
Pak Rudy berdiri, melangkah mendekat ke arah meja, dan meletakan selembar kertas tadi. Undangan dari panitia Car Free Day terpampang dengan jelas, acara yang akan di adakan di pusat kota satu minggu lagi. Rayhan yang sejak tadi merasa lelah, mendadak menegakkan tubuhnya. Ada cahaya antusias yang lama tak muncul di matanya.
“Satu minggu dari sekarang, kalian siapkan tiga lagu ciptaan kalian dan lima lagu cover.” Ucap Pak Rudy mantap, seolah tak memberi ruang untuk menolak.
“Nggak terlalu mendadak, Pak?” Pandu memberanikan diri untuk menyela.
“Bukannya kalian selalu latihan di luar jadwal klub?” balas Pak Rudy cepat. Suaaranya penuh tantangan.
Beliau menyapu pandangan pada ketiganya.
“Ada apa ini? Kenapa band ini terlihat suram? Apa ada masalah?”
“Bukan apa-apa kok, Pak. Kami hanya sedikit sibuk dengan jadwal kuliah.” Balas Pandu buru-buru, menutup celah agar percakapan tak makin melebar.
Pak Rudy hanya mengangguk tipis.“Baiklah, kalau tidak ada masalah. Tapi pikirkan baik-baik tentang busking. Ini bukan penampilan biasa, banyak pengalaman yang akan kalian dapat. Mulai dari relasi, promosi untuk kampus dan kesempatan ngenalin lagu kalian ke publik.”
Setelah memberi kabar tersebut, Pak Rudy beranjak pergi, meninggalkan tiga anak muda yang masih mencerna baik-baik tentang busking.
***
Vania sedang berada di perpustakaan seperti biasa. Tumpukan buku tertata rapi menyerupai menara. Telinganya tertutup earphone, matanya fokus buku yang setebal KKBI. Sudah hampir tiga jam ia duduk tanpa beranjak sedikit pun.
Saat tubuhnya meregangkan diri, tiba-tiba tangannya membekap mulut. Hampir saja ia berteriak, terkejut dengan seorang pria yang entah sejak kapan sudah tertidur pulas di sampingnya. Kepalanya di letakkan di atas dua buku tebal sebagai bantal seadanya.
"Rayhan ..." bisik Vania pelan.
Sekilas ia merasa kesal, dengan kehadirannya yang tak pernah terduga. Namun, melihat wajah lelahnya yang tertidur lelap membuatnya luluh. Ia tahu betul, Rayhan sudah lama kesusahan dalam tidurnya. Dengan hati-hati Vania merapikan buku-bukunya.
Gerakan tangannya mendadak berhenti, saat mendengar suara lirih yang keluar dari bibir Rayhan.
“Vania ...” rancaunya dalam tidur. Matanya masih terpejam, tapi kedua alisnya saling bertautan.
“Jangan ... jauhin gue ...”
Napas Vania tercekat, seperti ada sengatan listrik yang merambat ke dalam dadanya. Ia melirik ke samping, mengamati lekuk wajahnya yang kelelahan.
“Mimpi apa yang membuat lo gelisah gini?”
Tak lama, setitik air mengalir perlahan di sudut mata Rayhan. Hati Vania terasa remuk seketika. Tanpa sadar, tangannya terulur menghapus air mata itu. Dan detik itu juga, saat jemari lentiknya menyentuh wajahnya, mata tajam nan legam itu terbuka perlahan.
Mata mereka bertemu cukup lama, saling memandang seolah bertukar rindu, dan sendu. Dengan lembut tangan Rayhan menggenggam hangat tangan yang hendak tertarik.
Senyum tipis muncul di bibirnya. “Cantik ....”
Tubuh Vania menegang, tak menyangka bahwa kata pertama saat matanya terbuka justru pujian untuknya.
“Jangan jauhin gue ....” ulangnya lagi. Kali ini dengan senyum yang masih dibalut air mata.
sholeh bgt rayhan nih wkwk