Kisah ini tampak normal hanya dipermukaan.
Tanggung jawab, Hutang Budi(bukan utang beneran), Keluarga, cinta, kebencian, duka, manipulasi, permainan peran yang tidak pada tempatnya.
membuat kisah ini tampak membingungkan saat kalian membacanya setengah.
pastikan membaca dari bab perbab.
Di kisah ini ada Deva Arjuno yang menikahi keponakan Tirinya Tiara Lestari.
Banyak rahasia yang masing-masing mereka sembunyikan satu sama lain.
____________
Kisah ini sedang berjuang untuk tumbuh dari benih menjadi pohon.
Bantu aku untuk menyiraminya dengan cara, Like, Komen dan Subscribe kisah ini.
Terimakasih
Salam cinta dari @drpiupou 🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumit
Di ruangan pribadi yang hening dan mewah itu, Dimitris Rayen Trovic, pria tua dengan aura dingin yang menusuk, mengangguk puas. Matanya yang tajam menatap satu per satu anggota keluarganya.
"Baiklah. Rencana sudah final," ujar Dimitris, suaranya pelan namun penuh otoritas. "Dimitrix, kau yang akan mengurus Tuan Alfod. Buatlah terlihat seperti kecelakaan. Pastikan tidak ada jejak."
Dimitrix menyeringai. "Jangan khawatir, Ayah. Aku akan melakukannya dengan bersih. Seperti yang kita latih."
Barbara memejamkan matanya, mengangguk setuju. "Lalu bagaimana dengan Sera dan yang lain?" tanyanya.
"Mereka akan menjadi langkah selanjutnya," jawab Dimitris. "Setelah kita mengambil alih perusahaan Alfod, kita akan menghancurkan mereka. Perlahan, tanpa ampun."
Tiara hanya bisa menunduk, gemetar. Ia telah menjadi bagian dari rencana gelap ini.
"Sekarang, kembalilah ke pesta. Berbaurlah dengan tamu lain. Bertindaklah seperti tidak ada yang terjadi. Kita mulai malam ini," perintah Dimitris, suaranya mengakhiri pertemuan rahasia mereka.
Mereka keluar dari ruangan itu, kembali menyatu dengan kerumunan tamu.
Barbara kembali memasang topengnya, tersenyum dan menyapa para tamu, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dimitrix dan Roselin berjalan beriringan menuju sudut lain.
Kembali di balik pilar, Yasmin menatap ke arah pintu ruangan. Ia melihat Barbara dan Tiara keluar, diikuti oleh Roselin dan Dimitrix. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang aneh.
"Mereka sepertinya akan bergerak," bisik Yasmin pada Sera. "Aku bisa merasakannya. Mereka sepertinya sudah menyusun rencana yang matang."
Sera mengangguk. Matanya meneliti setiap pergerakan Barbara dan Dimitrix. Ia melihat Dimitrix mengeluarkan ponselnya, lalu mengangguk kepada Roselin.
"Lihat!" bisik Sera, menunjuk dengan dagunya. "Dimitrix sudah mengirimkan pesan. Pasti terkait dengan langkah pertama mereka." Ia segera mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan kepada orang-orangnya.
"Sera, mereka akan mengincar siapa?" tanya Kana, suaranya tegang.
"Orang terpenting di antara kita, yang paling mudah dijangkau pastinya...." jawab Sera. "Tuan Alfod."
Wajah Deva memucat. Ia tahu ayahnya adalah target paling empuk. "Tidak. Aku harus..."
"Tunggu, Deva!" potong Sera, tangannya menahan Deva agar tidak bergerak impulsif. "Jangan bertindak sendirian. Itu persis yang mereka inginkan. Kita akan bergerak perlahan ."
Sera mengirimkan pesan lain, lalu menatap Deva. "Tiara ada di sana. Kita tidak tahu apa yang dia tahu. Kau harus mendekatinya, Deva. Cari tahu apa yang mereka rencanakan."
Deva mengangguk, lalu berbalik, mengambil napas dalam-dalam. "Aku akan melakukannya. Aku akan cari tahu."
"Revan tetap disini," perintah Sera. "Jangan biarkan mereka curiga, dan kau Yasmin... awasi Dimitrix. Aku akan mengawasi Barbara. Kana, tetaplah bersamaku."
Mereka semua bubar, menyebar di kerumunan, berbaur dengan para tamu.
Namun mata mereka tetap tajam mencari setiap pergerakan musuh.
____🐦🐦🐦🐦____
Deva berjalan di tengah keramaian, matanya mencari sosok Tiara. Ia melihatnya berdiri sendirian di dekat meja prasmanan, memegang segelas jus jeruk. Deva mendekatinya dengan langkah santai, mencoba menyembunyikan ketegangan yang merayap di dalam dirinya.
"Sayang...." sapa Deva, suaranya terdengar lembut, seolah tidak terjadi apa-apa.
Tiara terkejut. Ia mengangkat wajahnya, menatap Deva dengan mata bengkak. Pipi kirinya masih memerah akibat tamparan Barbara. "Mas Deva," bisiknya, suaranya bergetar.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Deva, matanya menatap tajam ke arah pipi Tiara.
Air mata Tiara kembali mengalir. "Aku... aku tidak tahu, Mas."
"Aku tahu, kamu bisa. Kamu bisa melewati semua ini," kata Deva, mengambil tisu dari meja dan mengusap air mata Tiara. "Aku tahu kamu bukan seperti mereka."
Tiara menatap Deva, matanya memancarkan kebingungan dan ketakutan. "Apa maksudmu, Mas?"
"Aku tahu, kamu dipaksa untuk berada di sana. Aku tahu kamu tidak ingin melakukan semua ini," jawab Deva. "Tapi kamu harus kuat, Tiara. Kamu harus menjauhi mereka. Aku akan membantumu."
Tiara menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa, Mas. Oma..." Ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Aku tahu," sahut Deva, suaranya penuh empati. "Tapi kamu tidak sendirian. Ada aku."
Deva menyentuh tangan Tiara, mencoba memberikan kekuatan. Tiara membalasnya, genggamannya erat, seolah ia tidak ingin melepaskan Deva.
Di sisi lain, Yasmin bergerak dalam bayangan. Ia mengikuti Dimitrix dan Roselin dari kejauhan, memastikan tidak ada yang melihatnya. Yasmin melihat mereka berbisik-bisik, lalu berjalan ke arah Tuan Alfod yang sedang berbicara dengan beberapa tamu.
Yasmin segera mengirim pesan kepada Sera. "Mereka bergerak. Targetnya adalah Tuan Alfod. Mereka akan menjebaknya."
Sera yang membaca pesan itu segera melihat ke arah Tuan Alfod, ia melihat Dimitrix dan Roselin mendekatinya. Sera segera mengambil langkah cepat, ia harus menghentikan mereka. Ia tidak peduli apa pun caranya, ia harus menghentikan rencana mereka.
"Deva, cepat bawa Tuan Alfod pergi dari sini. Sekarang!" bisik Sera melalui headset kecil yang ia kenakan.
Deva yang mendengar perintah itu segera menarik Tiara. "Tiara, kamu harus ikut aku," bisiknya. Tiara mengangguk, lalu mengikuti Deva. Mereka berjalan cepat, melewati kerumunan orang, menuju ke arah Tuan Alfod.
"Ayah, kita harus pergi sekarang," kata Deva, suaranya tergesa-gesa.
Tuan Alfod terkejut. "Ada apa, Deva? Kenapa kamu panik?"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Ayah. Kita harus pergi sekarang," jawab Deva. Ia memegang tangan Tuan Alfod dan menariknya menjauh.
Dimitrix yang melihat Deva dan Tuan Alfod pergi, menyeringai. "Jangan khawatir, kita akan bertemu lagi."
Deva, dengan tangan yang menggenggam erat lengan Tuan Alfod, berjalan cepat.
Ia sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti. Jantungnya berdebar kencang, antara panik dan amarah yang membara.
"Ada apa ini, Deva?" tanya Tuan Alfod, bingung dan sedikit terengah-engah.
"Kenapa kita harus pergi terburu-buru seperti ini?"
"Ayah, aku akan jelaskan semuanya nanti. Percayalah padaku," jawab Deva, suaranya tercekat. Ia melihat ke arah Tiara yang masih mengikutinya. Wajah Tiara pucat pasi, matanya penuh ketakutan.
Tiara menoleh ke belakang, melihat Dimitrix dan Roselin berjalan santai, tetapi mata mereka terus menatap ke arahnya. Ia tahu, mereka tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Saat mereka tiba di pintu keluar, tiba-tiba seorang pria tambun dengan setelan jas hitam menghalangi jalan mereka. "Maaf, Tuan Alfod. Anda tidak bisa pergi begitu saja," ucap pria itu, suaranya datar.
Deva mengepalkan tangannya. "Minggir!"
"Saya tidak akan minggir, Tuan Deva. Saya hanya mengikuti perintah," jawab pria itu, sambil mengeluarkan sebuah pistol dari balik jasnya.
Tuan Alfod terkejut. "Apa ini, Deva?! Siapa dia?"
"Ayah, tetap di belakangku," bisik Deva. Ia tahu, pertempuran tidak bisa dihindari. Ia harus melawan.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar.
DOR!!!
Pria tambun itu jatuh tersungkur. Deva, Tuan Alfod, dan Tiara terkejut. Mereka menoleh, melihat Yasmin berdiri di kejauhan, dengan pistol di tangannya.
"Cepat pergi dari sini! Aku akan mengurus ini!" teriak Yasmin.
Deva mengangguk, lalu menarik Tuan Alfod dan Tiara, berlari menuju mobil. Mereka masuk ke dalam mobil, dan Deva segera menginjak gas, meninggalkan pesta di belakang mereka.
Di mobil, keheningan mencekam. Tuan Alfod menatap Deva, matanya penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi, Deva? Siapa mereka? Kenapa mereka ingin membunuhku?"
Deva menghela napas. Ia menatap Tuan Alfod, lalu menatap Tiara. Ia tahu, ia harus menjelaskan semuanya, bahkan jika itu menyakitkan.
"Ayah... aku... aku kehilangan ingatan sepuluh tahun lalu. Dan sekarang, aku hanya mengikuti rencana Sera," jawab Deva, suaranya bergetar. "Kata Sera orang-orang yang ingin menghancurkan kita. Dan mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita."
Tuan Alfod mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"
"Ibu Tiriku, istri ayah yang sekarang..." bisik Deva, suaranya penuh amarah. "Ibu dan keluarganya, Trovic, mereka bersekongkol. Mereka ingin membunuh ayah.
Tuan Alfod membeku. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Deva, tidak percaya.
Tiara menangis. "Mereka ingin membunuh Opa, aku takut."
"Tiara?" tanya Tuan Alfod, bingung.
"Ayah, dia hanya pion dalam permainan mereka," jawab Deva. "Dia juga korban."
Deva yang kini terjerat oleh pesona istri keduanya itu selalu saja menjadi wakil setiap pertanyaan yang ditujukan untuk Tiara.
Deva mengemudikan mobilnya dengan cepat. Ia tahu, mereka tidak bisa kembali ke rumah. Mereka harus mencari tempat yang aman. Ia segera menghubungi Sera.
"Sera, kita berhasil keluar," bisik Deva.
"Tapi mereka mencoba membunuh Ayah. Aku harus menyembunyikan Ayah dan aku membawa Tiara bersamaku."
"Bagus.... Ah tidak masalah, aku juga ingin mengobrol dengan wanita jalang itu," jawab Sera. "Aku akan mengirimkan lokasinya. Pergilah ke sana. Dan jangan biarkan ada yang tahu."
"Jaga ucapanmu Sera! Kirim lokasinya" Bentak Deva, lalu mematikan ponselnya.
Tanpa sadar Deva membela Tiara.
Sedangkan disisi Sera sedang mengumpat habis-habisan. "Hah sialan! Apakah dia barusan membentakku?"
.