Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Diikat Selimut Coklat
Nek Raisyah tampak melamun sejenak, lalu kembali bercerita dengan serius, dan empat pemuda itu mendengarkan dengan seksama.
“Waktu itu ... bulan suci Ramadhan. Pemuda-pemudi setiap sholat subuh, bahkan sebelum sholat, mereka sering berkumpul di teras Masjid. Kalau bahasa gaul yang mereka sebut Nenek dengar, namanya ‘Asmara Subuh’. Hari itu, tujuh hari hendak lebaran Idul Fitri, Nenek masih berkumpul bersama ibu-ibu lainnya di dalam Masjid setelah sholat subuh. Sedangkan putri bungsu dan cucu pertama Nenek, berpamitan ingin pergi marathon pagi-pagi bersama teman-temannya setelah sholat subuh.”
“Nenek tidak melarang, karena nenek percaya pada mereka. Apalagi mereka bergerombongan bersama, dan itu semua perempuan saja tidak ada laki-laki ....” Suara Nek Raisyah semakin pelan dan lirih.
“Mereka semua ada sembilan orang, tujuh diantaranya meninggal dunia, salah satunya, anak dan cucu Nenek, dua diantaranya selamat, tetapi mereka mengalami trauma dan syok berat.” Nenek terus melanjutkan ceritanya dengan air mata yang tiba-tiba menetes dengan sendirinya.
“Saat itu, kami mendengar teriakan dua gadis yang selamat itu. Nenek bertanya pada mereka, mereka hanya menangis dan menunjuk tempat kejadian, lalu mereka bilang, ‘Semua teman kami mati!’. Kemudian, mereka berlari dan berteriak-teriak ketakutan ....” Suara Nenek semakin terdengar kurang jelas, karena beliau berbicara dengan tercekat.
“Kami semua keluar dari Masjid, melihat satu anak tergeletak di tengah jalan dengan mobil yang masuk ke dalam parit. Para Bapak-bapak segera menolong anak yang tergelatak di jalan itu, tapi ....”
Nenek termenung, pikirannya kembali pada kejadian beberapa tahun silam, sambil bercerita....
Waktu itu,
“Tek, Uni, di siko masih ado korbannyo! —Tante, Kakak, di sini masih ada korban!" teriak seorang Bapak yang hendak menolong sang sopir, yang tengah pingsan berlumuran darah di dalam mobilnya.
“Apo? Masih ado korban? — Apa? Masih ada korban?” tanya seorang Bapak, dia langsung berjalan ke arah mobil, dia pun terkejut dan berteriak minta tolong pada semua orang.
Semua orang mulai berkerumun, bahkan ada yang muntah-muntah dan pingsan melihat tumpukan korban. Nek Raisyah juga ikut melihat, karena dua orang yang selamat itu adalah gerombolan teman-teman anak dan cucunya yang marathon bersama.
Dalam hati, beliau terus berdoa agar anak dan cucunya selamat, semoga mereka tidak menjadi salah satu korban kecelakaan. Sayangnya, apa yang dilihat Nenek Raisyah, memilukan hati.
Enam gadis bertumpuk seperti lapisan burger yang berisi telur, daging, sayur, tomat, dan saus, di dalam parit yang ditindih oleh ban mobil pick up L-300. Tubuh mereka berlipat-lipat berlumuran darah.
Putri sulung Nek Raisyah ada di himpitan ke tiga, kedua kaki putrinya sudah terkulai lemes, seolah seluruh tulang kakinya hancur, karena satu kaki berada di leher. Wajah putrinya masih terlihat bersih, tidak ada darah yang keluar di wajahnya, hanya saja darah keluar dari kaki dan pangkal pahanya.
Sedangkan cucu pertamanya, berada dihimpitan paling terakhir. Tubuh yang paling kecil, usia yang paling kecil, dan tubuh itu yang paling remuk, seluruh tubuh dan wajahnya berlumuran darah. Cucunya meninggal di tempat.
Putri pertama Nek Raisyah langsung pingsan ditempat saat melihat itu, suami putrinya menangis sambil menggendong tubuh putrinya yang berlumuran darah. Lalu, beberapa Bapak-bapak mengangkat lima tubuh lainnya ke atas mobil untuk melakukan pertolongan.
Diantara enam itu, masih ada dua gadis yang matanya terbuka, masih mengerjap sambil berkomat-kamit, air matanya terus menetes.
Sayangnya, semua gadis itu meninggal di jalan dan di rumah sakit. Hanya satu yang tersisa sampai tiga hari di rawat di rumah sakit M-Jamil Kota Padang, itu adalah anak perempuan yang tergeletak di tengah jalan raya tadi.
Begitulah nenek menceritakan sedikit kisah tentang meninggal anak dan cucunya pada empat pemuda itu.
Viko memeluk Nek Raisyah, menghapus air mata nenek itu dengan tangannya sendiri. “Maaf ya Nek, kami membuka luka lama nenek. Maaf ....” lirihnya.
“Tidak apa-apa, nenek tidak terluka karena kalian, nenek menangis karena rindu saja. Rindu yang tidak pernah ada obatnya.” Nenek mencoba tersenyum.
“Kalau suami Nenek meninggal karena sakit asma, lebih dulu satu tahun dari mereka berdua. Ya udah, kalian berdua lanjutkan lah menontonnya. Nenek tidur dulu ya,” ucap Nenek berpamitan.
“Iya Nek,” sahut mereka berempat.
Agung dan Diro duduk semakin merapat ke arah Saddam dan Viko saat Nenek Raisyah sudah masuk ke dalam kamarnya.
Viko mengganti beberapa chanel siaran, hingga muncul lah sebuah iklan film horor yang akan segera tayang di bioskop.
“Aaaaaa!” Agung dan Diro, bahkan Viko pun juga terkejut, saat melihat dimana adegan hantunya mengejutkan mereka yang muncul tiba-tiba.
“Hah, hah, gila! Udah, nggak usah nonton, yuk, masuk ke dalam kamar, ngeri aku!” Agung mengelus tengkuk dan bulu tangannya yang sudah berdiri. Nafasnya ngos-ngosan karena takut.
“Ya udah, yuk tidur!” Saddam berdiri dengan santainya, lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga.
Viko bergegas mematikan televisi dan juga masuk ke dalam kamar mereka, yang dibuntuti oleh Agung di belakang, sedangkan Diro sudah berlari mengejar Saddam dari tadi.
***
Nek Raisyah memiliki jam lonceng model lama, yang akan berbunyi dan berdentum di saat-saat tertentu.
Teng! Teng! Teng! Suara jam berbunyi, menandakan jam 12 malam tepat.
Agung merasa ingin buang air kecil.
“Viko! Viko!” Dia memanggil-manggil Viko sejak tadi, tetapi pemuda tampan murah senyum itu tertidur dengan sangat pulas.
“Sial! Viko, bangun! Temani aku dong! Aku mau pipis nih! Viko!” Dia mengguncangkan tubuh Viko lebih keras lagi. Akan tetapi, Viko tidur sangat nyenyak sekali.
Cukup lama, Viko tidak juga bangun. Sedangkan burung beonya sangat tegang. Akhirnya, Agung berlari ke kamar mandi dan masuk ke dalam kamar mandi.
Agung memejamkan mata, karena burung beonya terasa sangat sesak. Saat dia memejamkan mata, terasa seolah ada angin berhembus di tubuhnya, kakinya ada yang memegang. Agung membuka matanya, bergegas cebok dan memasang celana, menyiram tempat buang air kecil. Dia membuka pintu kamar mandi dengan cepat dan lari terbirit-birit.
Saat dia kembali masuk ke dalam kamar, tak ada Viko, dia hanya sendirian, hingga dia ketakutan dan mengetuk-ngetuk pintu kamar Saddam.
"Dam, Saddam!"
“Ah! Apa sih?” kesal Sadam dengan wajah kusam baru bangun tidur. “Apalagi sih, Gung? Enggak Diro, enggak kamu, cih. Apa?”
“Dam, Viko enggak ada di kamar, tadinya aku mau buang air kecil, ta-tapi—” Lutut Agung gemetar ketakutan.
Saddam berdecih sebal, dia keluar dan berjalan ke kamar sebelah, melihat Viko. Diro yang baru bangun tidur juga mengekor bersama Agung di belakang Saddam.
Saddam melihat ke sekitar, memang tak ada siapapun, hingga dia menyingkapkan tirai jendela. Dia melihat Viko tengah berdiri di luar sana, diam memunggung ke arah mereka.
“Itu Viko 'kan?” tanya Saddam, dua temannya menyembulkan kepala di kiri dan kanan kepala Saddam di jendela kaca yang masih terhalang teralis jendela.
“Iya Dam, itu terlihat seperti punggung Viko.” Diro dan Agung menyahuti.
“Woi, kalian lagi ngapain?” tanya Viko di belakang mereka. Dari arah pintu kamar, tengah berkacak pinggang.
“Vi-Viko!” Agung dan Diro serta Sadam menoleh, lalu membalik kembali wajah mereka bertiga, tidak menemukan Viko yang berdiri memunggungi mereka di luar jendela.
“K-ka-kau kapan masuk? Tadi masih berdiri di sana!” tunjuk Agung ke arah luar jendela.
“Aku? Kapan aku keluar? Aku tadi ke kamar mandi karena kau yang ajak. Kau malah meninggalkanku,” jawab Viko berdecih sebal menatap Agung.
“Hah? Kau menemaniku? Yang benar saja? Jelas-jelas aku ke kamar mandi sendirian, kau tidak mau aku bangunkan!” bantah Agung tegas.
“Aneh, kau masih mimpi ya, jelas-jelas tadi kau menghimpit ku, mengikat tanganku dengan selimut, lalu menarikku, memaksaku untuk keluar menemanimu!” sanggah Viko tak kalah serius.
“Selimut? Aku cuma punya kain sarung, Viko.” Agung menatap Viko dan beralih melihat sarungnya masih berserak di atas ranjang dan tak ada selimut coklat di sana.
Mereka semua kembali diam. Pikiran mereka sudah berkelana kemana-mana.
“Ya sudahlah, aku ngantuk, kalian berdua sepertinya masih sama-sama belum sadar, nih. Aku mau balik ke kamar dulu, kau mau di sini, atau kembali bersamaku, Dir?” tanya Saddam pada Diro.
“Aku ikut!” jawab Diro cepat, dia bergegas mengikuti Saddam.
“Kami juga!” ucap Viko dan Agung menarik sarung dan selimut beludru milik mereka masing-masing.
Perkataan Agung terakhir membuat Viko berpikir. Tadi, dia melihat agung mengikat tangannya dengan selimut coklat, tetapi selimut itu bahkan tidak ada, dan Viko juga ingat, tadi sore Agung hanya mengeluarkan sarung dari dalam tas. Dia melihat sendiri, tak ada bawaan Agung yang serupa dengan selimut coklat itu.
“Ya udah, kalo kalian mau ikut dan tidur bersama!” Saddam berjalan terlebih dahulu, diikuti tiga temannya.
Mereka tidur dengan sangat sempit dan saling berhimpitan berempat, di ranjang yang sebenarnya hanya bisa ditempati untuk dua orang saja.
“Vik, beneran kau tadi tidak keluar rumah?” Diro kembali bertanya setelah mereka tidur di tempat tidur dan berselimut menutupi tubuh.
“Iya, aku hanya ke kamar mandi, menemani Agung.”
“Tapi, Vik. Aku beneran sendiri ke kamar mandi dan kamu tidur nyenyak,” sambung Agung. “Bahkan aku ketakutan karena kakiku seolah ada yang memegang, makanya aku menggedor-gedor pintu kamar Saddam.
“Saddam dan Diro masuk ke dalam kamar. Kamu sudah nggak ada di dalam kamar. Kemudian, Saddam membuka sedikit tirai jendela dan mengintip, kami bertiga melihatmu berdiri diam memunggungi kami dari jendela itu, terus ... tiba-tiba aja kamu memanggil kami dan sudah ada dibelakang kami, pas kami menoleh, apa yang kami lihat tadi, sudah nggak ada. Benar 'kan Dam?” Agung meminta pembenaran pada Saddam.
“Sudahlah, mungkin tadi kita semua kelelahan, jadi salah lihat. Kalian tuh kalo tidur jangan lupa baca doa mau tidur, jangan banyak pikiran,” tutur Saddam. Dia menghidupkan hp nya dan memutar ayat Al-Quran di hp itu.
“Sudah, sekarang baca do'a tidur!” Setelah berkata seperti itu. Saddam memejamkan matanya. Sedangkan tiga temannya masih ketakutan.
Selang dua jam berlalu, tiga teman Saddam itu masih belum tidur dan saling berpegangan, sedangkan Saddam sudah mengorok dengan keras.
“Saddam nambahin takut aja deh, ngoroknya kenceng banget,” sungut Diro yang tidur diantara Agung dan Saddam.
Ya, ditengah-tengah ada Agung dan Diro, lalu dibagian tepi, ada Viko dan Saddam.