Sang raja terakhir tiada, dan bayangan mulai merayap di antara manusia.
Ketika dunia runtuh, satu-satunya harapan tersisa hanyalah legenda yang tertulis di sebuah buku tua. Riski, pemuda yang mencari ibunya yang menghilang tanpa jejak, menemukan bahwa buku itu menyimpan kunci bukan hanya untuk keluarganya… tetapi juga untuk masa depan dunia.
Dalam perjalanannya, ia harus melewati misteri kuno, bayang-bayang kutukan, dan takhta yang menuntut pengorbanan jiwa.
Apakah ia akan menemukan ibunya… atau justru menjadi Raja Terakhir yang menanggung beban akhir zaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Arc Penjelajahan Bagian 4
Nafas Riski terengah-engah. Wajahnya tertunduk sejenak—darah menetes perlahan dari goresan yang menganga di wajahnya.
"Riski..." Teriakan Sinta memecah keheningan dalam Rumah tua itu.
Rizal melangkah cepat menghampiri Riski yang sedang terluka. Riski menepis pelan tangan Rizal dari bahunya. Ia pun tersenyum tipis seolah ia menikmati rasa perih itu." Rizal... aku suka bagian ini. Tolong menepi, takutnya bilah pisauki melukai kalian." Mendengar larangan itu, mereka berempat segera menepi, membuat ruang tengah rumah itu jadi kosong.
"Mungkin kau belum pernah merasakan pedihnya penyesalan. Kita akan hitung dosa-dosamu disini." Riski berdiri perlahan. Aroma darah menusuk masuk ke hidungnya.
"Cih... Sok kuat. Tapi sejauh ini belum pernah ada orang yang mengimbangiku" Pria itu berjalan pelan mendekati Riski.
Riski menatap tajam ke arah lawannya." Iya... Dan akan kupastikan matamu tidak akan melihat matahari lagi."
Tak membuang waktu, pria itu melangkah maju, pedangnya menebas deras, mendesing membelah udara. Riski memutar tubuh, menghindar secepat kilat. Di saat yang sama, pisaunya meluncur dari genggaman, menembus jarak di antara mereka—menusuk tepat ke dada pria itu.
Tak ada teriakan, tapi pria itu hanya tertunduk. Tangan kirinya meraih gagang pisau, mencabutnya pelan. Darah hitam pekat menetes ke lantai, mengeluarkan bau anyir yang menusuk hidung.
Riski tertegun dan langsung bergerak mundur menjaga jarak. “Oh.. maaf aku lupa. Kau… bukan manusia.” Riski tersenyum tipis." Parakan yah... Jadi semuanya jelas sekarang."
Pria itu mengangkat wajahnya—mata merah menyala, urat hitam menjalar di leher. “Mereka memanggilku Parakan.” Suaranya berat, menggema seperti dari dua mulut sekaligus.
Seketika udara di sekeliling mereka menghangat. Bayangan di dinding mulai bergerak sendiri, dan lantai kayu di bawah kaki Riski bergetar halus. Parakan tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang menghitam. “Sekarang… mari kita mulai yang sebenarnya.”
Nafas Riski terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Di wajahnya terpancar kepuasan—namun pikirannya berputar cepat, mencari celah. Suara petir menyambar menggetarkan malam yang sunyi.
Matanya menyapu ruangan, menangkap sesuatu di sudut. Sebuah meja. Dalam sekejap, Riski melesat ke arahnya dan meraih lampu lentera tua. Tanpa ragu, ia melemparkan lentera itu ke arah pria yang terus maju.
Lentera melayang, pecahan kaca berhamburan di udara sebelum api menyala, membakar pakaian pria itu dengan kobaran merah menyala. Sorot matanya yang sebelumnya penuh amarah kini berubah menjadi kabur, wajahnya memutar dalam kesakitan.
Manfaatkan momen itu, Riski melayangkan pisaunya dengan cepat. Bilah dingin itu menggores lengan pria, membuatnya terkejut dan kehilangan keseimbangan. Pedang di tangannya terlempar jauh, beradu dengan lantai dengan suara nyaring.
Pria itu menggeram, api yang membakar lengannya membuatnya makin beringas. Dengan satu tangan yang masih kuat, ia meraih sisa-sisa pakaiannya yang terbakar, lalu melepaskan suara lolongan penuh amarah.
Riski tak memberi kesempatan. Ia melangkah maju, mata tajam mengawasi setiap gerakan musuhnya. Pedang pria itu sudah hilang, tapi tangannya yang lain masih menggenggam kekuatan gelap yang berdenyut di udara.
Tiba-tiba, pria itu mengangkat tangan kirinya, dan dari ujung jarinya muncul semburan asap hitam pekat yang bergerak liar seperti ular. Riski menghindar dengan lompatan gesit, napasnya masih berat, tapi otaknya tetap fokus.
“Parakan…” bisik Riski dalam hati, mengenali ilmu hitam yang menyelimuti musuhnya.
Api yang membakar pria itu mulai padam perlahan, namun kegelapan semakin pekat, menyelimuti tubuhnya seperti bayangan hidup.
Riski menyiapkan pisaunya, tahu bahwa pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.
Riski bergerak cepat, berguling ke arah pedang yang tergeletak tak jauh dari pria itu. Ia memanfaatkan momentum, segera mengayunkan pedangnya ke arah leher lawan. Ayunan pedang yang cepat membelah udara langsung menebas leher Parakan. Kepala pria itu jatuh ke lantai dan berguling menjauh dari tubuhnya.
Tapi, tubuh Parakan tak kunjung tumbang. Sebuah senyuman mengerikan terukir di wajah yang tergeletak di lantai.
“Aww... sakit. Bwahahaha...” Parakan tertawa terbahak-bahak.
Bela dan Sinta seketika muntah sejadi-jadinya, sementara Amira sama sekali tak bergeming.
Mata Riski membelalak. Nafasnya naik turun tak teratur melihat kejadian tak terduga itu.
“Ke... kenapa bisa?” bisiknya dengan suara parau.
Dengan pedang masih tergenggam erat, ia menarik napas dalam-dalam meski masih terengah-engah, mencoba mengumpulkan kembali fokusnya.
Tubuh makhluk itu bergerak tak terduga. Riski menjaga jarak. Tubuh itu pun berjalan perlahan mendekati kepalanya yang tergeletak di lantai.
Tangannya yang penuh dosa itu langsung meraih kepalanya dan menyambungkan ke lehernya. Suara tulang yang bergerak terdengar halus.
Tangan Riski gemetaran. Jantungnya berdegup kencang dengan nafas yang tak kunjung stabil." Kau menjual jiwamu ke iblis hah?"
Parankan itu menoleh ke arah Riski dan kawan-kawan." Suttt... Aku yang salah karena terlalu berekspektasi tinggi. Awalnya kukira akan mendapatkan lawan yang sepadan. Tapi, ahh... Sungguh kecewanya aku."
Ia memutar tubuhnya dan berjalan mendekat ke arah Rizal dan kawannya. Pria itu menjulurkan tangannya" White Angel, serahkan saja gulungan itu."
Bela dan Sinta menangis, wajah mereka pucat pasi menatap makhluk hitam yang kini berdiri tepat di hadapan mereka. Suasana menjadi tegang, udara seolah membeku dalam keheningan yang menakutkan.
Rizal tak tinggal diam. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan tasnya ke arah tangan pria itu, menghantam dengan keras. Wajah makhluk itu berubah merah padam oleh amarah.
“Manusia hina, kau akan merasakan penderitaan,” geramnya, suaranya serak dan penuh kebencian.
Tangan berurat pria itu melesat ke leher Rizal dengan kecepatan mengerikan. Dalam sekejap, Rizal terangkat sedikit ke udara, cengkeraman itu membuat napasnya tersengal dan tubuhnya bergetar, berjuang melawan tekanan yang mengekangnya.
Rizal menggenggam tasnya erat, berusaha melepaskan diri dari cekikan kuat itu. Napasnya memburu, otot lehernya menegang melawan tekanan tangan Parakan. Namun, semakin ia berjuang, cengkeraman itu malah makin mengerat.
“Rizal!” teriak Bela sambil menangis, mencoba meraih tangan pria hitam itu. Tapi makhluk itu mengangkat tangannya, menciptakan gelombang gelap yang mendorong Bela dan Sinta mundur beberapa langkah.
Melihat hal itu, Riski menerjang lagi, ia mengayunkan pedangnya ke arah tangan pria itu. Tak sulit, pria itu menangkap serangannya itu.
Derit keras mengiris keheningan, diikuti oleh langkah-langkah berat yang bergema menuruni anak tangga. Suara itu makin dekat, membawa aura ancaman yang membuat darah beku di pembuluh darah semua yang hadir di ruangan itu.
Semua mata tertuju ke arah pintu, napas tertahan menunggu sosok yang akan muncul dari bayang-bayang.
"Oke, kita pakai cara yang manusiawi," Pedang itu ia hempaskan dengan kuat sehingga Riski terdorong mundur. Riski kehilangan keseimbangan dan akhirnya ia jatuh dan terseret di lantai yang licin.
Bersambung....