Reksa pemuda tampan yang berusia 20 tahun,ia memiliki rahasia yg ia sembunyikan yaitu memiliki hobi makeup hingga menjadi vloger beauty/selegram terpopuler,banyak brnd terkenal yang ingin mengendorsnya.shutt...ini kisah Reksa tidak ada yang tau kecuali dirinya sendiri.
no plagiat.
real karya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fanesya elyin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Senja menembus celah tirai apartemen. Aroma nasi hangat dan sisa teh melati memenuhi ruangan kecil itu. Theo sudah tertidur di sofa, masih mengenakan piyama dino, tangan kecilnya memeluk boneka sambil sesekali mengigau, “Pii… jangan habisin es krim Theo…”
Reksa duduk di lantai, bersandar ke sofa, sambil scroll komen-komen positif dari video kemarin. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tetap waspada.
Bagas muncul dari dapur dengan dua gelas air putih. Ia duduk di sebelah Reksa, menyerahkan satu gelas tanpa bicara.
Setelah meneguk, Bagas membuka suara. Pelan. Berat.
“Sa...”
“Hm?”
“Gue udah mikir cukup lama. Gue mau ambil kerja sampingan.”
Reksa langsung menoleh. “Kerja sampingan? Bukannya lo lagi ngerjain skripsi juga?”
“Iya,” Bagas mengangguk pelan. “Justru karena itu. Semester akhir. Banyak pengeluaran. Dan sekarang kita bertiga. Gue gak mau semua beban finansial ke lo doang.”
Reksa menghela napas. “Gas… lo nggak harus mikirin itu sendirian.”
“Gue tahu.” Bagas tersenyum tipis. “Tapi Gue juga pasangan lo. Papa-nya Theo. Kalau cuma andelin konten lo, kita nggak bisa terus begitu. Gue mau bantu. Gue harus bantu.”
Reksa terdiam.
Bagas melanjutkan, suaranya lebih mantap, “Gue dapat tawaran remote dari studio desain. Freelance part time. Bisa dikerjain dari rumah, waktunya fleksibel. Gajinya nggak gede, tapi lumayan buat bantu-bantu bulanan, kebutuhan Theo, dan… masa depan kita.”
Reksa menatap Bagas lama. Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan. Ia akhirnya mengangguk.
“Kalau lo yakin bisa bagi waktu…”
“Bisa. Gue udah atur jadwal. Skripsi pagi, kerja siang, malam buat lo dan Theo.”
Reksa mencubit lengan Bagas pelan. “Papa-papa kek gini yang bikin hati meleleh.”
Bahas tertawa pendek. “Pii-nya juga harus janji nggak kerja terus. Kadang biar Gue yang jaga Theo.”
Reksa mengangguk. “Oke. Kita bagi. Tapi jangan paksain diri, ya? Kalau lo tumbang, gue yang panik.”
Bagas mengangguk.
Mereka saling bersandar. Theo masih tidur pulas di sofa, di tengah-tengah mereka. Rumah kecil itu tak pernah ramai. Tapi di dalamnya, ada dua orang dewasa yang kini tak lagi hidup untuk diri sendiri, tapi untuk satu bocah kecil yang mereka sebut rumah.
...
Hari-hari Bagas berubah drastis sejak keputusannya untuk kerja sampingan. Bangun pagi bukan lagi tentang nyalain alarm buat kuliah—sekarang, itu soal menyiapkan susu Theo dulu sebelum semuanya dimulai.
Pagi – 06.30 WIB
“Papaaa, bangun… Theo mau susu dingiiin~”
Bagas mengangkat kepala dari bantal, mata masih berat, tapi tangannya otomatis meraih Theo yang manjat kasur seperti ninja kecil. Sambil mengucek mata, dia turun ke dapur, menyiapkan susu, dan membuka laptop di meja makan.
Di layar: bab 3 skripsinya yang penuh coretan revisi.
Di samping laptop: Theo duduk sambil makan biskuit, sesekali menunjuk layar.
“Itu apa, Pa?”
“Ini? Tugas kuliah Papa. Nanti Theo juga bakal nugas, kalau udah sekolah.”
Theo mengangguk paham. “Theo mau gambar aja dulu…”
Siang – 13.00 WIB
Setelah skripsi, Bagas langsung geser ke kerjaan remote-nya. Desain katalog, revisi feed klien, dan bales email. Sambil sesekali ngelirik jam, memastikan bisa jemput cucian sebelum sore.
Di ruang tengah, Reksa lagi syuting konten. Kadang suara opening-nya bikin senyum sendiri:
“Hi bestieessss, welcome back 💋✨”
Bagas menggeleng. “Pas di depan kamera bisa kayak diva, pas di dapur masak mi rebus pake sedih.”
Theo tiba-tiba masuk kamar kerja bawa kertas. “Papa, gambar Theo udah selesai! Papa liat ya!”
Bagas berhenti desainnya sebentar dan memeluk anak itu. “Sebentar, sayang. Papa lagi kerja, ya?”
Theo menunduk kecewa, tapi Bagas mengusap rambutnya dan menambahkan, “Abis ini Papa liat, janji.”
Sore – 17.30 WIB
Reksa selesai konten. Giliran dia yang urus Theo.
Bagas pindah tempat ke balkon, headset on, video call dengan klien sambil nyeruput kopi instan.
“Ya, Kak. Bisa banget. Saya ubah tone-nya jadi lebih soft dan modern. Paling lambat malam ini, ya.”
Di belakangnya, suara Theo dan Reksa main robot-robotan pecah di udara.
“KRAKK! Aku serang kamu, monster mie instan!!”
“Kyaaa~ jangan makan lipstick Pii!”
Bagas cuma bisa senyum, mencoba tetap fokus.
Malam – 22.00 WIB
Theo sudah tidur. Reksa juga sudah rebahan dengan sheet mask nempel di pipi.
Bagas masih di depan layar. Final revisi desain, lalu lanjut satu halaman skripsi. Matanya perih, tapi hatinya... penuh.
Reksa mengintip dari kamar. “Udah jam sepuluh, Papa. Waktunya istirahat.”
Bagas menjawab tanpa menoleh, “Sebentar lagi. Tinggal sedikit.”
Reksa datang mendekat dan memeluk dari belakang. “Kalau lo tumbang, siapa yang bantu jaga Theo besok?”
Bagas tersenyum lelah. “gue kuat. Demi kalian.”
Malam itu, saat akhirnya rebahan, Bagas menatap langit-langit sambil menarik napas panjang.
Capek? Iya. Tapi ini capek yang nggak ingin dia tukar dengan apa pun.
Karena di akhir setiap hari, ada tawa Theo, pelukan Reksa, dan rasa hangat yang tak bisa dibeli dengan uang.
...
Tbc