"Endria hanya milikku," tekannya dengan manik abu yang menyorot tajam.
***
Sekembalinya ke Indonesia setelah belasan tahun tinggal di Australia, Geswa Ryan Beck tak bisa menahan-nahan keinginannya lagi.
Gadis yang sedari kecil ia awasi dan diincar dari kejauhan tak bisa lepas lagi, sekalipun Endria Ayu Gemintang sudah memiliki calon suami, di mana calon suaminya adalah adik dari Geswa sendiri.
Pria yang nyaris sempurna itu akan melepaskan akal sehatnya hanya untuk menjadikan Endria miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jelitacantp, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perusak
"Mama ada apa?" tanya Endria gadis itu merasakan suasana saat ini berubah menjadi mencekam.
"Dasar wanita murahan! Tak tahu diri!" maki Utami tak berhasil menahan emosinya, melihat Endria di depannya membuat ia mengingat Gatra kemarin di mana sang putra begitu tersakiti saat melihat foto perselingkuhan itu.
Kedekatan Utami dan Endria selama ini sudah tak ada artinya, hancur dalam semalam.
"Mama ini sebenarnya kenapa?!" tanya Endria yang kali ini berapi-api, gadis itu kesal dan tak terima saat ia dikatai wanita murahan dan tak tahu diri tanpa sebab dan alasan.
"Jangan lagi panggil saya Mama, saya bukan mama kamu!" tekan Utami marah, mendengar Endria memanggilnya dengan sebutan mama membuat ia yang mendengarnya menjadi jijik.
Endria menghela napas. Oke, ia benar-benar sudah merasa bingung kali ini. Ia tak mengerti situasinya.
Endria berusaha tenang. "Ada apa?" tanyanya sekali lagi.
Utami membuka handbag-nya lalu mengeluarkan sebuah foto yang menjadi masalah kemarin lalu memberikannya pada Endria. "Mulai sekarang, jauhi kedua anak saya!" beritahu Utami menggebu-gebu lalu berdiri dari duduknya. "Cih, anak dan ibu sama saja. Sama-sama perusak," gumam Utami menghina sebelum pergi dari sana.
Endria mendengarnya, tanpa mempedulikan foto yang diberikan Utami dan belum ia lihat, gadis itu berdiri dari kursinya lalu menggenggam pergelangan tangan Utami yang hendak pergi.
"Apa maksudnya?! Anda bisa saja menghina saya tapi jangan pernah menghina ibu saya!" teriak Endria emosi, gadis itu tak bisa tenang di saat ibunya juga ikutan dihina oleh Utami, bukankah mereka berteman?
Utami menghempas kasar tangan Endria dari pergelangan tangannya. "Memang kalian berdua sama-sama perusak keluarga orang!" Utami memalingkan wajah, lalu melangkah pergi meninggalkan Endria.
Endria kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi. Pikirannya berkecamuk, Utami berubah dan wanita itu juga sempat menghinanya, dan apa tadi? Dia mengatakan untuk ia tak mendekati kedua putranya lagi, yang menyiratkan kalau Utami menginginkan ia dan Gatra putus, tetapi kenapa?
Endria menegakkan punggungnya, lalu membuka lipatan lembaran foto yang sedari tadi berada di genggamannya. Gadis itu tertegun melihat fotonya dan Geswa yang saling berciuman, jadi saat itu ada orang yang diam-diam memotret mereka berdua?
Dan inilah alasan kenapa Utami bersikap seperti itu tadi. Namun, sikap Utami tadi tak bisa dibenarkan hanya karena selembar foto ini.
Tiba-tiba rasa khawatir langsung merasuk ke dalam hatinya. Gadis itu berdiri lalu melangkah keluar sambil mengotak-atik handphone-nya, ia ingin menelepon Gatra.
Sebelum masuk ke dalam mobil, Endria terlebih dahulu menempelkan handphone-nya ke telinga, panggilan tersebut terhubung, tetapi langsung mati begitu saja.
Endria menatap bingung ke arah handphone-nya. Tak mengenal kata menyerah, gadis itu kembali menelepon nomor Gatra.
Namun, malah suara operator yang menyambutnya mengatakan bahwa nomor yang sedang dituju tidak aktif dan berada di luar jangkauan.
Apa-apaan ini? Apa Gatra sengaja mematikan handphone-nya?
Endria menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran buruk yang sempat merayap di otaknya, jangan karena hanya selembar foto ini hubungan yang sudah dijalin selama satu tahun lebih jadi berantakan, dan lamaran yang sudah diucapkan menjadi kalimat kosong belaka, alias mereka tak jadi menikah.
Meninggalkan nomor Gatra yang tidak aktif, Endria beralih menelepon nomor Geswa, nomornya aktif tapi tak diangkat.
Mereka berdua ini ke mana?!
Lalu Endria merubah sasarannya, kali ini gadis itu menghubungi Louis dan semoga kalian panggilannya dijawab.
Terdengar suara bahwa teleponnya diangkat.
"Ya, Nona?" tanya Louis setelah pria itu terdengar berdehem di seberang sana.
"Bosmu ada di mana?" tanya Endria mencari Geswa tanpa ingin berbasa-basi.
Louis terdiam sebentar, saat ini ia sedang berada di kantor dan Geswa masih berada di penthouse-nya. "Di penthouse-nya, Nona, di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan." Karena tidak ada himbauan dari Geswa kalau ia dilarang memberitahu siapa pun atas keberadaannya, Louis pun menjawab pertanyaan Endria dengan baik dan benar.
"Baiklah, terima kasih, Louis," balas Endria.
Sebelum Endria mematikan sambungan telepon mereka Louis buru-buru kembali berkata. "Penthouse-nya ada di lantai paling atas, nona harus menekan tombol berlogo bel yang terletak di lift kedua di samping lift biasa supaya bisa masuk."
Endria mengangguk, lalu mematikan sambungan teleponnya. Gadis itu membuka pintu mobil lalu masuk kemudian mengendarai mobilnya secara ugal-ugalan sampai-sampai ia tak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di penthouse yang Louis maksud.
Endria memarkir mobil tepat di depan lobi secara sembarangan, sampai-sampai ditegur oleh satpam di sana.
Tak mau repot, Endria tanpa aba-aba melempar kunci mobilnya ke arah satpam tersebut. "Tolong diparkirin, ya? Nanti aku bakalan kasih tip banyak, makasih!" teriak Endria sambil berlari memasuki gedung penthouse tersebut.
Gedung yang sangat besar dan memiliki arsitektur dan interior yang begitu mewah.
Si satpam yang menerima kunci mobil Endria hanya bisa menggerutu dalam hati. Dasar anak jaman sekarang!
Endria berdiri di depan lift, info dari Louis memang benar kalau di sini ada dua lift. Manik hazelnya menatap lift tersebut satu persatu, mencari tombol berlogo bel.
Nah! Gadis itu menemukannya. Lift yang berada di sebelah kiri, cukup unik sebab lift tersebut cuma memiliki dua tombol, dan yang satunya adalah fingerprint. Lift ini seperti lift pribadi.
Satu kali gadis itu menekan belnya, kata Louis lagi, ia harus menunggu sampai Geswa yang berada di atas sana mendengar belnya lalu mengizinkannya untuk masuk.
Endria bersidekap tangan, kaki kanannya mengetuk-ngetuk lantai, dan matanya fokus menatap ke arah lift.
Dua menit menunggu, tapi tidak ada jawaban.
Ia pun mulai bertanya-tanya, apa benar Geswa berada di atas sana?
Endria mendongak, eh, ternyata ada kamera kecil yang terpasang di atas pintu lift. Mungkin itu yang memberitahu sang pemilik unit siapa yang hendak berkunjung.
Endria mendengkus kasar, hilang sudah kesabarannya. Gadis itu menekan bel secara beruntun sampai-sampai Geswa di atas sana yang sedang tertidur merasa terganggu. Lalu dengan terpaksa pria itu beranjak dari kasur nyamannya.
"Maaf Dek, tolong jangan berbuat rusuh di sini. Ini lift khusus, kalau ingin ke lantai atas, bisa memakai lift yang ada di sini." Seorang satpam yang berbeda menegur Endria dengan sopan.
Melihat tingkah meresahkan Endria yang sedari tadi menekan tombol bel, membuatnya buru-buru untuk menegur sebelum pemilik unit datang dan memarahi mereka.
Endria menoleh. "Maaf, Pak, tapi saya punya urusan sama pemilik unit ini," jawab Endria tak peduli, gadis itu kembali memencet-memencet tombol yang kalau bisa berbicara mungkin akan berteriak kesakitan.
"Nggak bisa Dek, mungkin kamu salah orang, pemilik unit bukan orang biasa." Si satpam mulai menarik lengan Endria, menghentikan kelakuannya yang mulai meresahkan.
Tapi Endria tetap kukuh, gadis itu menarik tangannya lalu kembali memencet bel, ingin segera bertemu dengan Geswa.
Si satpam yang awalnya sopan mulai merasa kesal pada Endria, dan satpam itu mulai mengira bahwa Endria tidak waras apalagi ia sempat melihat Endria yang berbicara sendiri, maka dengan sekuat tenaga ia menyeret paksa gadis itu untuk menjauh dari lift.
Namun, belum cukup tiga langkah, suara denting dari lift di sebelah kiri terdengar, lift-nya terbuka menandakan sang pemilik unit sedang ada dan menerima kedatangan Endria.
Pelan-pelan sang satpam menjauhkan tangannya dari Endria, mulutnya mengatup rapat, tak bisa berkata apa-apa.
"Bapak gue tandain, ya?" Mata Endria melotot lalu berpaling kemudian melangkahkan kakinya menaiki lift tersebut.