berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Shintia nyaris pingsan saat mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Satya. Tubuhnya gemetar hebat di mana ponsel yang menempel di telinga jatuh begitu saja. Air mata pun tak dapat lagi terbendung. "Sat... Satya ...." lirihnya.
Sementara itu di tempat Raska terlihat dirinya yang tak berhenti menyunggingkan senyum, kepuasan setelah anak buah suruhannya memberi laporan berhasil mencelakai Satya. Kini hanya tinggal sejengkal lagi menggapai Shintia karena Satya yang selama ini adi penghalang kedua setelah Yoga telah berhasil ia singkirkan.
"Ayah."
Raska yang berdiri di depan jendela kamarnya, berbalik saat mendengar suara putri tercinta.
"Hm, wajah ayah terlihat lebih cerah. Apa ada kabar bagus lagi?" tanya Oliva setelah berdiri di depan sang ayah.
Raska menghela nafas namun senyuman kembali terlihat. "Yah, kau benar. Sekarang penghalang ayah telah lenyap," jawabnya.
Sebelah alis Olivia terlihat meninggi. "Maksud ayah, anak buah ayah berhasil membunuh pria bernama Yoga itu?" tanyanya.
Raska merangkul Olivia dan melangkah menuju sofa di sisi ruangan kemudian duduk di sana. "Tidak, Sayang. Untuk pria brengsek itu, ayah menyimpannya saat pertunjukan terakhir."
Mendengar itu, Olivia menatap Raska dari samping dengan tatapan penuh tanya. "Jadi maksud ayah?"
"Satya. Anak buah ayah membuatnya kecelakaan dan aku yakin dia tidak akan selamat."
"Satya?" gumam Olivia dan terdiam sejenak. " Jadi, aku tidak akan punya kakak tiri?"
"Tentu saja. Atau, apa kau ingin memilikinya?"
Olivia menggeleng kemudian memeluk sang ayah dan menyandarkan kepalanya di dada. "Aku ingin hanya bersama ayah dan orang yang bisa membuat ayah bahagia," ucapnya seraya bermanja seperti anak-anak.
"Oh, ya, kakakmu belum kembali?" tanya Raska tiba-tiba. Setelah kejadian kemarin, Jessica pergi dari rumah.
Olivia menegakkan punggungnya dan menggeleng sebagai jawaban. "Sebenarnya aku penasaran kenapa ayah masih membiarkan kakak sampai hari ini? Aku selalu ingin menanyakannya tapi lupa," tanyanya dengan mengetuk kepala dan menjulurkan ujung lidah.
"Ah, apakah ayah belum memberitahumu? Itu semua karena kekayaan yang sekarang jadi milik ayah, akan sah jika dia dewasa," jawab Raska.
"Ayah tidak takut kalau kakak melapor ke polisi?"
"Atas tuduhan apa? Dia tidak punya barang bukti. Kau memang anak ayah yang selalu membawa keberuntungan untuk ayah. Untung saja kau menemukan surat itu meski hanya surat itu saja tidak akan cukup. Dan lagi, jika mereka berani mengusik ayah, kita hanya perlu mengajak mereka bicara dengan uang."
Olivia tertawa kecil. "Ayah benar. Hm, kira-kira di mana kakak sekarang?" gumamnya.
Di tempat lain terlihat Olivia yang mendatangi rumah Satya. Semalam ia menginap di sebuah hotel dan seperti rencana semalam, ia pergi ke rumah Satya untuk membicarakan apa yang telah terjadi. Namun, begitu sang empu rumah membuka pintu untuknya, ia begitu terkejut.
"Ta- Tante, ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Jessica dengan cemas melihat Shintia berlinang air mata dan tampak tidak baik-baik saja.
"Satya kecelakaan," jawab Shintia dengan suara bergetar dan berusaha menahan isak tangisnya.
"Apa?!" Jessica begitu terkejut. Apa ia tak salah dengar? Tapi, melihat Shintia sekarang, tentu saja itu pasti kenyataan. "Bagaimana bisa, Tante? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana keadaan Satya sekarang?" tanyanya bertubi-tubi. la seolah lupa mana mungkin Shintia tahu melihat dirinya saja masih di rumah.
Shintia menggeleng lemah. "Tante tidak tahu. Sekarang tante akan ke rumah sakit."
"Kalau begitu aku ikut!" seru Jessica. Setelahnya ia pun bergegas ke rumah sakit tempat Satya berada dengan Shintia.
Setengah jam kemudian keduanya sampai di rumah sakit. Dan tak berselang lama tangis Shintia pecah di dalam kamar mayat sementara Jessica terduduk lemas di luar. Hanya mendengar tangisan Shintia saja sudah membuat tubuhnya gemetar, apalagi jika harus masuk ke dalam dan melihat langsung mayat Satya.
Tiba-tiba setetes air mata jatuh melewati ujung mata Jessica. la mengusapnya dengan telapak tangan dan menatap jejak air mata yang membuat tangannya basah. Kenapa ia menangis? Padahal bisa dibilang dirinya sama sekali tak ada hubungannya dengan Satya. Mengenal pun belum berapa lama.
Tapi, mendengar bagaimana tangis Shintia membuatnya seolah dapat merasakan kesedihannya.
Jessica menengadah di mana hatinya bergetar dengan kejadian ini. Padahal ia telah berharap pada Satya, tapi manusia memang tak bisa berharap pada manusia. Yang bisa menjadi tempatnya menaruh harap hanyalah pada Sang Pencipta.
Satu bulan berlalu sejak kepergian Satya, sejak saat itu Shintia tinggal di rumah seorang diri. Seiring berjalannya waktu dirinya sudah bisa menerima walau kadang masih terus teringat sang putra. Saat ini Shintia terduduk di sofa ruang tamu menatap pintu dengan tatapan mata kosong. Dirinya tersadar dari lamunan saat ketukan dari luar terdengar.
Shintia memejamkan mata sejenak berusaha meraih kesadaran kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah membuka pintu.
"Bagaimana keadaanmu?"
Tepat setelah membuka pintu, perhatian Raska telah menyambut. Shintia hanya diam dan mepersilakan Raska masuk ke dalam rumah.
"Shin, jangan terlarut selamanya dalam kesedihan. Aku yakin, Satya akan sedih melihatmu seperti ini," ucap Raska. la masih berdiri setelah mengambil langkah masuk ke dalam rumah, menatap punggung Shintia yang tampak rapuh.
Shintia hanya diam sampai akhirnya setengah berbalik menatap Raska dan berusaha merekahkan senyuman namun terasa begitu berat. "Terima kasih ," ucapnya dengan suara lirih. Sejak kepergian Satya, Raska tak berhenti memberinya semangat walau sia-sia. Hanya Raska yang selalu ada karena dirinya tak punya siapa-siapa lagi. Terlebih saat beberapa hari yang lalu dirinya didatangi orang tak dikenal yang menanyakan keberadaan Yoga. Dan tentu saja itu adalah anak buah Raska.
Raska begitu sempurna bersandiwara dan begitu licik membuat Shintia semakin tertekan hingga tak punya pilihan lain selain berada dalam dekapannya. Raska tak akan berhenti sebelum Shintia menjadi miliknya.
Sementara itu di tempat lain, terlihat Yoga yang duduk bersebelahan dengan Satya mengawasi Shintia lewat kamera tersembunyi yang terpasang di rumahnya. Satya tidak mati. Yoga datang menyelamatkannya dan membuat skenario seakan Satya tewas dalam kejadian tersebut.
Satya melirik sang ayah yang tak melepas pandangan sedikitpun dari layar notebook di atas meja. la pun kembali teringat saat pertama kali membuka mata setelah kecelakaan itu dan mendapati wajah ayahnya lah yang pertama kali ia lihat. la tidak tahu apa maksud ayahnya yang sebenarnya kenapa membiarkan ibunya dekat bahkan seperti sengaja semakin dekat dengan Raska.
"Jika ayah cemburu, kenapa tidak menghabisinya saja?" celetuk Satya tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangan dari sang ayah. Tangannya masih terbalut gips dengan jejak luka di kepala masih terlihat.
Yoga melirik Satya lewat ekor mata. "Ikuti saja skenario yang dibuatnya," jawabnya. Karena Yoga yakin Raska pasti memiliki tujuan lain.
Satya hanya diam dan kembali menatap layar notebook di atas meja. Dan saat kembali menoleh menatap ayahnya, ia merasa ayahnya seperti sengaja. Seperti seseorang yang sengaja menikmati permainan yang dibuat lawan. Untuk apa? Jika nyawa seseorang dipertaruhkan di dalamnya?