NovelToon NovelToon
Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia
Popularitas:14.1k
Nilai: 5
Nama Author: Violetta Queenzya

kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..

berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.

hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Api dalam sekam

     "Paah, pokoknya Ela mau dia jadi milikku!" Suara Elara melengking, memecah keheningan ruang keluarga yang biasanya tenang.

    Ada getaran putus asa dan kekeraskepalaan yang jelas dalam setiap suku kata yang diucapkannya.

   Matanya menatap tajam ke arah ayahnya, Teo, seolah menuntut sebuah persetujuan yang tidak akan pernah ia dapatkan.

    Teo mendesah berat, kerutan di dahinya semakin dalam. Ia meletakkan koran yang tadi dipegangnya dengan sedikit sentakan.

    "Jangan ngaco, Ela! Kamu itu sudah besar, bisa berpikir jernih. Dia sudah beristri! Berani-beraninya kamu mengganggu rumah tangga orang, bisa-bisa kepala pindah tempat!" Suaranya bergetar, bukan karena marah semata, tapi lebih kepada kekecewaan dan kekhawatiran yang mendalam.

    Ia tahu, sekali Elara menginginkan sesuatu, ia akan mengejarnya mati-matian, bahkan jika itu berarti menghancurkan dirinya sendiri.

    Mama Elara, dengan wajah lelah, mengusap pelipisnya.

     "Elara, sayang... kamu ini seolah tidak ada laki-laki lain di dunia ini. Pikirkan baik-baik! Jangan membahayakan keluarga kita demi ego sesaatmu itu." Nada bicaranya lembut, namun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan.

    Ia mendekati putrinya, mencoba meraih tangan Elara, namun Elara menariknya menjauh.

    "Ego? Mama dan Papa tidak mengerti!" Elara berbalik, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dadanya sesak, seolah semua udara di ruangan itu menolak untuk masuk ke paru-parunya.

   "Ini bukan hanya tentang ego! Ini tentang apa yang aku rasakan! Aku... aku tidak bisa membiarkannya begitu saja." Kalimat terakhirnya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam isak tangis yang mulai pecah.

    Ia lari menaiki tangga, meninggalkan kedua orang tuanya terdiam dalam kebingungan dan kekhawatiran. Pintu kamarnya dibanting, suaranya bergema hampa di seluruh rumah, meninggalkan duka dan ketidakberdayaan di hati Teo dan istrinya.

  Elara ternyata diam diam mengidolakan Axel semenjak kuliah,ia sering melihat di televisi dan surat kabar.ia mngambil foto dilaci meja.

    "kak Axel seandainya kamu tahu perasaanku"sembari mengelus figura foto Axel"monolog elara.

     Sementara itu, ribuan kilometer dari hiruk pikuk permasalahan keluarga Elara, di sebuah apartemen mewah yang menghadap langsung ke jantung kota Jakarta, Letta sibuk dengan rencananya.

     Udara dingin dari pendingin ruangan tidak mampu meredam panasnya tekad yang membara di dalam dirinya.

    Setiap gerakan tangannya terukur, setiap tatapan matanya tajam dan penuh perhitungan.

Ia mengamati peta bisnis di layar tabletnya, menunjuk sebuah perusahaan multinasional raksasa yang terpampang di sana: Perusahaan Axel. Nama itu terukir jelas, dan seulas senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya.

   Ini adalah langkah berikutnya. Untuk bisa masuk ke dalam lingkaran terdalam Axel, ia harus menjadi bagian dari perusahaannya.

    Letta mengambil ponselnya yang tergeletak di meja marmer, jemarinya lincah mencari sebuah nama dalam daftar kontak: Tomy.

   Nama itu bersinar di layar, dan tanpa ragu, ia menekan tombol panggil. Telepon berdering dua kali sebelum sebuah suara berat menyambutnya.

"Halo, Tom? Boleh minta tolong?" Suara Letta terdengar tenang dan terkendali, tidak ada sedikit pun emosi yang terbaca, seolah ia sedang memesan kopi.

    Namun, di balik ketenangannya itu, tersembunyi sebuah misi yang jauh lebih besar dan kompleks.

Di ujung sambungan, Tomy terdiam sejenak, seolah sedang mencerna permintaan mendadak itu.

     "Minta tolong apa, Ta?" tanyanya balik, ada nada hati-hati dalam suaranya, seolah ia tahu bahwa permintaan dari Letta tidak pernah sederhana.

     "Masukin gue ke perusahaannya Tuan Axel." Suara Letta terdengar datar, namun ada ketegasan membeku di baliknya yang membuat Tomy bergidik, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Ia tahu, ketika Letta meminta sesuatu, itu bukan permintaan, melainkan sebuah perintah terselubung.

    Di seberang telepon, Tomy menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian.

   "Maaf, Ta, tapi itu... itu di luar kapasitas gue. Gue nggak bisa." Ia berbohong. Tentu saja ia bisa, tapi risikonya terlalu besar. Keringat dingin mulai merembes di keningnya, meskipun ruangan itu ber-AC.

    Suara Letta di telepon mendadak menjadi lebih dingin, menusuk hingga ke tulang. "Yakin kamu tidak bisa, Tom? Atau... mau gue sebar video mesum kita?"

     Ada jeda sejenak, di mana hanya desiran napas Letta yang terdengar, seolah ia sengaja memberikan waktu bagi ancamannya untuk meresap. Letta tahu, dengan ancaman serendah itu, ia yakin Tomy akan luluh.

    Ia membayangkan Tomy akan panik, memohon, dan akhirnya menyerah.

    Namun, Tomy tidak semudah itu dijatuhkan. Otaknya berputar cepat. Ia tidak kehilangan akal. Kilatan amarah sempat melintas di matanya, namun ia menahan diri, memaksakan nada suara yang terdengar gentar dan ketakutan.

     "Jangan, Letta! Jangan!" Nada suaranya bergetar, penuh keputusasaan yang dibuat-buat, namun di baliknya ada rahang yang mengeras dan gigi yang terkatup rapat.

     "Turuti permintaanku, maka video itu akan aman dalam genggamanku." Suara Letta kembali normal, seolah kemenangan sudah di tangan.

    Ia tersenyum tipis, merasa memegang kendali penuh.

    Tomy memejamkan mata sesaat, mengambil keputusan. "Tunggu Tuan Axel pulang dulu. Setelah dia kembali, baru gue bisa kasih keputusan.

    Ini bukan hal yang bisa gue putuskan sendiri sekarang." Ia bicara cepat, berusaha membeli waktu, memberikan alasan yang terdengar masuk akal agar Letta tidak curiga.

   Tanpa menunggu balasan dari Letta, Tomy langsung memutus sambungan teleponnya. Jari-jarinya gemetar sedikit saat meletakkan ponselnya di meja, napasnya tersengal.

"Sialan kau, Letta!" Tomy mengumpat pelan, monolognya bergema dalam keheningan ruang kerjanya.

   Ia mengepalkan tangan, amarah yang sesungguhnya mulai meluap. "Terlalu licik kamu. Bermain kotor, ya?" Ia tersenyum sinis, senyuman yang tidak pernah ia tunjukkan di depan Letta.

    "Dia pasti berpikir gue bodoh," bisik Tomy dalam hati, matanya menerawang ke luar jendela, memandang gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang menjulang tinggi. "Dia yakin gue bakal luluh cuma dengan ancaman video rendahan itu? Hmmm... Letta, Letta, kamu terlalu meremehkanku." Sebuah tawa hambar keluar dari bibirnya.

     "Dia belum tahu kan? Dia belum lihat video rekaman dia siapa yang bersamanya waktu itu.

    Dia pikir cuma dia yang punya kartu as?"

Otaknya bekerja lebih cepat, menyusun strategi. Ini bukan hanya tentang Axel lagi, tapi juga tentang kehormatan. Ia harus membalikkan keadaan.

  Mereka memiliki sejarah panjang dan Tomy tahu Rico memiliki jaringan informasi yang sangat luas. "Sekarang saatnya bermain," gumam Tomy, sebuah senyuman berbahaya terukir di wajahnya. Ia menekan tombol panggil.

    Ia segera meraih ponselnya, ingin menelpon Rico. Namun, jemarinya terhenti di udara. Tidak mungkin. Ia tahu Mereka sedang dalam pertemuan penting di suatu tempat.Pertemuan yang melibatkan strategi besar,. Tomy mendengus kesal, frustrasi bercampur amarah.

   Ia harus menunggu, tapi menunggu bukanlah pilihan favoritnya saat ini.

    Jauh di pedalaman, tersembunyi di tengah rimbunnya hutan pinus yang sunyi, berdiri sebuah mansion megah.

   Dinding batu kokohnya berlumut di beberapa sisi, namun jendela-jendela besar yang berbingkai kayu gelap memancarkan kemewahan yang tak lekang oleh waktu.

    Udara dingin pegunungan menyusup melalui celah-celah, membawa aroma pinus yang menenangkan, kontras dengan ketegangan yang menguar di dalam salah satu ruangan paling rahasia mansion itu.

   Di sana, di depan layar laptop, dua sosok identik duduk berhadapan. Mereka adalah vanya vany, si kembar yang memiliki peran penting dalam menjaga Rara.

    Wajah mereka, meski serupa, memancarkan ekspresi yang berbeda. Vanya, dengan tatapan lebih tajam dan serius, sedang memutar ulang sebuah rekaman video. Itu adalah rekaman Letta, tengah berdiskusi dengan seseorang yang wajahnya disamarkan, detail rencana yang tak terduga

   "Sialan," gumam vany, yang biasanya lebih kalem, kali ini rahangnya mengeras. Ia mencondongkan tubuh ke depan, matanya terpaku pada layar.

    "Letta benar-benar menjalankan rencana selanjutnya... Ada nada ketidakpercayaan bercampur kekhawatiran dalam suaranya.

    Mereka berdua terkejut. Rencana ini terlalu berani, terlalu berisiko, dan terlalu cepat.

vanya menghela napas panjang, jarinya berhenti pada tombol pause.

    "Kita harus memikirkan langkah selanjutnya. Ini bisa merusak segalanya atau... justru membuka jalan baru." Ia menyilangkan tangan di dada, pikirannya berpacu, mencoba memprediksi setiap kemungkinan dampak dari tindakan Letta.

   Suasana di ruangan itu menjadi tegang, diselimuti bayangan strategi rumit yang harus segera mereka susun.

   Di sisi lain mansion, suasana terasa jauh lebih ringan, kontras dengan ketegangan di ruang rahasia si kembar.

   Di ruang tamu yang luas, Vanya duduk di sofa empuk, memeluk lututnya, tatapannya kosong menatap perapian yang menyala. Meskipun api menari-nari dengan ceria, ekspresinya dipenuhi kegelisahan.

"Vanya, kamu ngapain sih? Kok kelihatannya banyak pikiran begitu?" Suara seorang pria muda, yang ternyata adalah Bara, menginterupsi lamunannya.

    vanya baru saja meninggalkan ruang rahasia, mencoba meredakan pikirannya sejenak.

   Ia melihat adiknya, Vany, yang biasanya ceria, kini termenung.

Vanya tersentak. Ia menoleh, senyum tipis terpaksa terukir di bibirnya. "Eh, enggak kok, Kak Bara. Cuma... cuma lagi santai saja." Ia berusaha terdengar normal, tapi sorot matanya tidak bisa berbohong.

    Ada beban yang jelas di benaknya, sesuatu yang tidak ingin ia bagi. Bara menatapnya curiga, namun memilih untuk tidak mendesak. Ia tahu Vanya akan bicara jika sudah siap.

    Sementara itu, dari salah satu kamar di lantai atas, suara merengek yang familiar terdengar. Itu adalah adik bungsu mereka yang manja. Ia baru saja terbangun dari tidur siangnya, dan seperti biasa, langsung memiliki keinginan yang harus dituruti.

  "Tolong beliin rujak, Rara pengin!" perintah Rara

"Bentar ya, Rara. Kakak suruh Kak Bara nyariin," jawab Maya, kemudian ia segera melangkah keluar, menuju ruang tamu di mana Bara baru saja duduk.

    Ia melihat Bara sedang menghela napas, mungkin masih memikirkan Letta. Maya mendekatinya, senyum tipis di wajahnya. "Kak Bara, boleh minta tolong?" tanyanya lembut,

   nadanya jauh lebih sopan dibandingkan vany Bara menoleh, ada sedikit kelelahan di matanya, tapi ia mengangguk. Ia tahu, jika Maya meminta tolong, itu pasti penting dan bukan sekadar manja.

    "Kak Maya, tunggu!" Vanya menghentikan langkah Maya yang hendak kembali ke kamar Rara.

    Wajah Vanya terlihat tegang, kekhawatiran terpancar jelas di matanya. "Letta... dia melanjutkan rencananya. Dia memaksa Tomy untuk memasukkannya ke perusahaan Tuan Axel." Suara Vanya terdengar berbisik, seolah takut ada yang mendengar, meski hanya mereka berdua di sana.

    Maya menghela napas panjang, bola matanya bergerak cepat, berpikir keras. Pergerakan Letta yang agresif adalah ancaman bagi rencana besar mereka.

    "Besok kita bahas ini dengan Kak Rico. Sekarang, aku harus kembali ke kamar dulu, takut Rara nyariin," pamit Maya, ada urgensi dalam nada suaranya.

    Ia tahu betapa pentingnya informasi Vanya, tapi ia takut Rara terbangung.

    "Baik, Kak," jawab Vanya, mengangguk patuh, namun bayangan Letta dan ancamannya pada Tomy masih menari-nari di benaknya. Ia tidak bisa mengusir rasa cemas itu.

     Sementara itu, Bara sudah melesat keluar dari mansion, meninggalkan Bi Inah yang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah seseorang yang sudah dianggap anak sendiri.

   Senyum geli terukir di wajah wanita paruh baya itu saat ia membayangkan Bara yang kebingungan mencari rujak.

    Ia pamit untuk beristirahat, membiarkan Bara dengan misinya yang unik.

    Bara sendiri kini sudah berkendara selama lebih dari satu jam. Jalanan kota canberra dipenuhi salju, dan misi sederhana "mencari rujak" berubah menjadi petualangan yang membingungkan.

    Ia sudah mencoba bertanya di beberapa toko kecil, tapi jawabannya selalu sama: "Rujak? Apa itu, Mas?" Lesu, Bara akhirnya menyerah.

    Ia menepikan mobil mewahnya di pinggir jalan yang ramai, mengambil ponselnya.

   "Rujak... apa sih isinya?" gumamnya, mengetikkan kata kunci itu di mesin pencari. Bertahun-tahun tinggal di Canberra, ia hanya mengenal fruit salad, tidak pernah tahu ada hidangan dengan buah-buahan dan bumbu pedas manis yang disebut rujak.

   Sebuah ide terlintas di benaknya. Daripada pusing mencari, lebih baik ia membuatnya sendiri. Setelah mendapatkan daftar bahan dan sedikit panduan cara membuat bumbu, Bara segera menuju ke pusat perbelanjaan buah dan sayur terdekat.

    Semua bahan sudah terbeli, keranjang belanjaannya penuh dengan buah-buahan segar dan rempah-rempah.

    Bara merasa sedikit lega. Ia kembali ke mobil dan melaju menuju mansion.

   Namun, di tengah perjalanan, tepat di sebuah persimpangan sepi, sebuah mobil hitam tiba-tiba memotong jalannya, memaksa Bara menginjak rem mendadak.

   Jantungnya berdebar kencang.

Dari mobil hitam itu, muncul segerombolan pria bertubuh kekar, mengenakan seragam serba hitam dengan logo misterius di lengan.

   Feeling Bara mengatakan, ini pasti suruhan kakaknya. Ia sudah sering mengalami hal seperti ini. Sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya. Mereka tidak pernah menyerah.

    Pertarungan yang tak seimbang pun tak terelakkan. Bara, dengan gerakan tangkas dan terlatih, berhasil menghindari pukulan pertama yang mengarah ke wajahnya.

   Ia membalas dengan tendangan lurus ke arah perut salah satu penyerang. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, Bara bukanlah orang sembarangan.

    Ia adalah produk pelatihan keras yang diberikan keluarganya untuk melindungi diri. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, suara "buggh!" dan "argh!" memenuhi udara.

    Bara berusaha sekuat tenaga, setiap gerakan diperhitungkan untuk melumpuhkan tanpa harus membunuh.

    Sebuah pukulan telak menghantam rahangnya, membuat kepalanya terhuyung. Ia merasakan perih yang membakar, namun rasa sakit itu justru memicu amarahnya.

    Akhirnya, setelah beberapa menit pertarungan sengit, dengan beberapa penyerang tergeletak di tanah dan sisanya mulai kelelahan, mereka memutuskan untuk mundur.

    Mobil hitam itu melesat pergi meninggalkan Bara yang terengah-engah dengan wajah memar dan sudut bibir berdarah.

   Bara menatap mobil yang menjauh itu dengan tatapan penuh dendam. Apa lagi yang mereka inginkan? batinnya. Ia mengusap darah di bibirnya dan melanjutkan perjalanan.

   Sesampainya di mansion, Bara langsung berteriak memanggil Bi Inah, "Bi Inah! Bi Inah!"

    "Nggak usah teriak, Kak! Bibi sudah masuk kamar," sahut suara Vanya dari dalam.

    Ia baru saja kembali dari depan dan terkejut melihat Bara berdiri di ambang pintu dengan wajah babak belur.

    "Ada perlu apa?" Raut wajah Vanya seketika berubah khawatir. "Kak Bara... Kak Bara habis berkelahi?" tanyanya, mendekat dengan cepat, matanya membelalak melihat luka memar di wajah Bara.

    "Vany, tolong obati wajah Kak Bara," perintah Vany pada dsaudara kembarnyai, atau mungkin lebih tepatnya, kepada Bara, tangannya sudah bergerak refleks mengambil kotak P3K dari lemari obat.

     "Sini biar saya saja, Kak. Kakak duduk saja," Vanya memegang lengan Bara, menuntunnya ke sofa. Tangannya dengan cekatan menyiapkan kapas dan antiseptik.

    Bara menggeleng pelan, rasa sakit di wajahnya sedikit mereda berkat sentuhan lembut Vany.

    "Sini biar saya saja, Kak. Kakak duduk saja," jawab Vanya, lalu dengan cekatan mulai mengupas buah-buahan yang dibawa Bara.

    Ia memanggang kacang, menyiapkan gula merah, dan dengan lincah meracik bumbu rujak. Aroma segar dan pedas mulai menyebar di dapur.

    Selagi Vanya asyik meracik rujak, Vany tangannya yang telaten membersihkan memar di wajah Bara.

    Bara begitu intens memandang Vany. Ada ketenangan dalam gerakannya, fokus di matanya yang indah, dan aura kebaikan yang terpancar dari dirinya.

    Pandangan Bara yang tak terputus itu membuat Vany salah tingkah, pipinya merona tipis. Sebuah senyum tipis terukir di bibir Bara, melupakan sejenak rasa perih di wajahnya.

    Tepat pada saat itu, suara pintu utama terbuka. Axel, Mark, Rico, dan Steven masuk, baru saja kembali dari pertemuan mereka. Steven, yang berjalan di belakang, langsung melihat pemandangan di ruang tamu, Vany yang tengah mengobati Bara dengan begitu dekat dan akrab.

    Dadanya terasa sakit, sebuah sengatan cemburu yang tak bisa ia bendung. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia memilih langsung masuk ke kamarnya, membanting pintu dengan sedikit keras.

    Vany, yang sempat melihat Steven, merasa tidak enak. Ia takut Steven salah paham, mengira yang tidak-tidak.

   "Siapa yang nyerang kamu, Bar?" tanya Axel, melangkah mendekat, tatapannya tajam menatap luka di wajah sahabatnya.Ia langsung bisa menduga ada sesuatu yang tidak beres.

   Bara mendengus. "Paling juga suruhan kakak gue," jawabnya santai, meski ada nada kepedihan yang samar di suaranya.

    Konflik dengan kakaknya seolah tak berujung.

"Butuh bantuan?" Axel menawarkan, ekspresinya serius. Ia tahu betul bagaimana kerasnya kakak Bara.

    "Boleh," jawab Bara, mengangguk. Matanya menatap Axel dengan tatapan sendu. "Gue penasaran tujuannya apa. Kenapa dia masih saja mengincar gue? Bukankah semuanya telah gue kasihkan padanya?" Ada keputusasaan dan kelelahan yang nyata dalam pertanyaannya.

    Axel menoleh ke arah Rico. "Rico, itu tugas kamu. Steven, suruh dia meretas CCTV rumah kakaknya Bara. Aku ingin tahu apa yang terjadi dan apa yang mereka rencanakan.

   " Nada suara Axel penuh otoritas, dan Rico segera mengangguk patuh.

    "Baik, Tuan," jawab Rico.

"Gue ke kamar dulu," pamit Axel. Ia menaiki anak tangga menuju kamarnya, membuka pintu dengan hati-hati agar tidak mengganggu Rara yang sedang tidur pulas.

   "Selamat malam, Tuan," sapa Maya, yang baru saja keluar dari kamar Rara.

"Hmm, malam. Kamu sudah boleh istirahat, May," perintah Axel, suaranya pelan dan menenangkan.

Maya turun, bergabung dengan Rico dan Mark di ruang tamu.

   Sementara Vanya masih sibuk meracik rujak yang kini hampir selesai, aroma pedas manisnya memenuhi ruangan, kontras dengan ketegangan dan intrik yang baru saja terungkap.

1
LISA
Wah terjadi tragedi yg sgt tak terduga moga tuan Smith dpt ditemukan..juga Ny Smith dpt tertolong.
LISA
Tuan & Ny Smith serta Justin memberikan warna dalam RT Axel & Rara..bahagia terus y keluarga Axel & Rara
LISA
Senengnya baby twins udh lahir..selamat y utk Rara & Axel juga utk Venzo udh jadi kakak nih 😊 bahagia selalu y utk keluarga kecilnya Axel..
LISA
Beri kekuatan pada Rara y Tuhan supaya persalinannya lancar..
LISA
Rico cari masalah tuh..beban Axel makin berat nih
LISA
Kasihan banget Maya..moga dgn operasi plastik bisa memulihkan wajahnya Maya.
LISA
Moga aj firasat yg baik..lindungi Rara terus y Axel..sehat selalu y Rara sampe HPL nya
LISA
Rara mempunyai hati yg mulia dia bisa menerima Venzo sebagai anaknya..moga keluarga kecil ini bahagia selalu..aplg dgn lahirnya si kembar yg meramaikan suasana di rumah itu
LISA
Syukurlah bayi mereka bisa diselamatkan..yg kuat y Rara..pasti kepala maid itu dihasut oleh Ellara..
partini
rumah seketat itu penjaganya bisa ada paket kaya gitu ,,orang dalam ini mah Weh Weh
aihhhsss penjai banyak orang"terlatih jg lucu LOL
LISA: Wah tenyata Bu Tina mata2 di mansion itu..awasi terus y May..
total 1 replies
LISA
ada apa y..moga Rara baik² saja..
LISA
Akhirnya Ellara sadar akan perbuatannya yg menyebabkan Papanya meninggal.
LISA
Ada pengganggu lg..moga Axel dpt membereskannya..Rara & babynya jg sehat² ya
LISA
Moga kondisi Mark segera membaik
partini
jadi OG , banyak kesempatan tuh bikin minuman di campur bubuk perangsang dll. lah
partini
Axel harus dengan perhitungan yg matang ingat bini lagi bunting salah langka behhhh amburadul
Jumaedi Jaim
lama up nya
partini
hadehhh Rara ini gimana sih,, suka ga gitu jg kalee terlalu over mah 🤦🤦🤦 noh singa 🦁 mau ngamuk cemburu
partini
benar benar ular 🐍 tuh cewek,,siapai aja algojo algojo manic sek Tomy biar mereka yg eksekusi kamu tinggal menonton dan merekam nya saja
LISA
Ssipp banget Tomy udh tau kelicikannya Letta..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!