Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Buruk
Setelah meluapkan amarahnya, Pak Tanaya segera berjalan keluar.
Braaaakk!!
Pintu dibantingnya dengan keras, mengambil ponselnya, dan menekan beberapa nomor di sana.
Deeeerrtt ... deeerrrtt ...
"Hallo ... selamat pagi," terdengar suara dari sana.
"Selamat pagi, Pak Alfred ... bagaimana kabarnya? tanya Pak Tanaya ramah.
"Baik Pak, kok tumben ... ada apa ini ... hahaha ... kok saya mencium ada bau harum," canda seseorang di sana.
"Hahaha ... bisa saja Pak Alfred, saya ada perlu Pak, bisa ketemu langsung di kantor polisi ya?" tanya Pak Tanaya, tanpa basa - basi.
"Baik, Pak. Sekarang saya langsung kesana," jawab seseorang itu.
"Okey, sampai ketemu di sana"
Ponsel pun dimatikan, dan Pak Tanaya segera menuju ke mobilnya.
"Ayo Pak, kita ke kantor polisi sekarang," ajak Pak Tanaya pada sopirnya.
Kantor polisi tampak ramai, saat Pak Tanaya dan Pak Alfred sampai di sana.
Di halaman parkir, Pak Alfred, masuk dalam mobil Pak Tanaya, setelah berbasa - basi sebentar, Pak Tanaya menceritakan masalahnya, Pak Alfred mengangguk beberapa kali, paham situasi yang dihadapi kliennya.
"Jadi seperti itu masalahnya Pak, tolong bantu Sujak untuk bisa mendapat keringanan sebanyak mungkin, kasian dia."
"Baik Pak, akan saya usahakan," jawab Pak Alfred.
Setelah itu mereka keluar dari mobil dan berjalan beriringan menuju kantor polisi.
Sujak yang sudah siuman, tetap berada di ruang interogasi, ketika Pak Alfred dan Pak Tanaya menjenguknya.
"Sujak, saya minta maaf sekali dengan kelakuan anak saya, saya akan berusaha membantu semaksimal yang saya bisa," kata Pak Tanaya dengan nada menyesal.
Sujak mendengkus dan membuang muka, tak ada yang harus dikatakan, karena bagaimana pun tetap saja mereka mempermainkan hidupnya.
"Ini pengacara Alfred, dia akan membantu proses hukum dalam persidangan nanti, saya sangat menyesal sekali, maafkan saya," kata Pak Tanaya lagi.
Sujak tetap diam, memandang dengan tatapan tajam.
Pak Tanaya salah tingkah dengan tatapan Sujak, dia memainkan jari - jarinya. Sangat merasa bersalah.
"Tolong saya sekali ini saja, setelah itu, kamu bisa hidup sendiri, lepas dari kehidupan saya, anak saya sudah banyak menyusahkan kamu," katanya lirih.
"Benarkah seperti itu?" tanya Sujak datar.
Pak Tanaya mengangguk," Untuk menebus penyesalan saya, biar saya yang akan membiayai hidup anak istrimu sampai kapan pun."
Mendengar anak istrinya sudah tercukupi kebutuhannya, Sujak sedikit merasa lega.
"Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak istri saya, saya tak akan tinggal diam!" kata Sujak dengan sedikit emosi.
Pak Tanaya mengangguk, berusaha meyakinkan Sujak dengan semua apa yang sudah dikatakan tadi.
Selanjutnya, Pak Alfred bertanya jawab dengan Sujak. Mencatat yang penting, memberi arahan apa saja yang harus Sujak lakukan.
Setelah semua selesai, mereka meninggalkan Sujak sendiri, dia memandang pintu yang tertutup itu dengan kemarahan yang tertahan.
#########
Proses sidang berjalan lancar, Sujak menuruti semua arahan dari Pengacara Alfred, seorang Pengacara handal, kepercayaan keluarga Tanaya Sudrajat.
Palu diketuk, hukuman selama 15 tahun penjara membuat Sujak menahan amarah.
"Maafkan saya, saya sudah berusaha semaksimal yang saya bisa, tapi karena masalah berlapis, antara memperkosa dan membunuh, ini hukuman teringan yang bisa saya usahakan, daripada hukum mati atau seumur hidup," kata Alfred pelan.
Sujak mengangguk pelan," terima kasih sudah menolong saya."
Sejak hari itu, Sujak jadi penghuni lapas, yang disambut meriah oleh para penghuni lapas yang lain.
Mereka merasa bahagia, seakan menerima bingkisan hadiah, Sujak pun menjadi bulan - bulanan di sana. Sipir tahu, tapi ikut menikmati permainan itu bak tontonan menarik, selain sepak bola.
Kaki yang diinjak oleh polisi gempal waktu itu, diinjak pula oleh rekan - rekan penghuni lapas. Bukan hanya kaki, tapi punggung juga jadi sasaran permainan mereka. Alhasil, Sujak tak bisa bergerak hingga beberapa waktu.
Waktu berjalan dengan cepat, Sujak sudah menjalani hukuman dalam hitungan tahun.
Pada suatu hari, seperti biasa Dini datang menengok Sujak, dengan membawa anak semata wayangnya.
Sujak bercakap - cakap, bercanda dengan anak semata wayangnya.
"Le, jadi anak laki - laki yang baik ya, ndak boleh ganggui anak perempuan, tapi kudu bisa jaga mereka, kamu jaga Ibu juga ya."
Anak itu mengangguk.
"Sekolah, belajar yang pinter, biar besok bisa kerja di tempat yang bagus, banyak uang ya," kata Sujak lagi.
"Iyo Pak," jawabnya.
Sujak memperhatikan Dini, yang lebih pendiam dari biasanya, sekali waktu mata mereka bertemu, Dini selalu mengalihkan pandangan. Samar, Sujak melihat genangan bening di sana.
"Ono opo Dek,?" tanya Sujak.
Dini menggigit bibirnya, matanya basah, tak bisa disembunyikan lagi.
Sujak menggenggam tangan mungil itu dengan penuh kasih sayang, menanti isi hati istrinya.
"Mas ...."
"He em ... ono opo?"
Diam, seakan ragu untuk mengatakan apa yang terjadi.
Dini menunduk, dia membelai kepala anaknya. Berusaha mengulur waktu, karena tak tahu harus bagaimana.
"Ndak apa, kamu bilang saja, apa masalahmu," kata Sujak lembut.
Dini menghapus air matanya, dan berkata dengan suara terisak," aku dipaksa nikah lagi sama pak e ...."
Dini tak bisa menjelaskan situasinya dengan gamblang, tenggorokannya tercekat oleh isak yang semakin keras.
Lembut, Sujak menghapus air mata di pipi istri yang sangat dicintainya, mencoba menguatkan hati yang serasa digodam.
Sujak berusaha berpikir positif, berusaha untuk tenang, dan memikirkan yang terbaik untuk anak istrinya.
"Iya ndak apa Dek, kalo itu dipandang yang terbaik sama pak mak mu ... memang kamu butuh seseorang yang bisa jaga kamu, aku masih lama di sini, ndak bisa jaga kamu," kata Sujak dengan suara berat.
Dini semakin tergugu dalam tangisnya. Dan Sujak tetap dengan sabar dan lembut menghapus air mata itu.
"Aku cinta kamu, Dek. Ndak ada yang bisa gantikanmu di hatiku, karna itu, aku juga pengen liat kamu dan anak kita bahagia, laahh ... aku sek di sini, sek lama, ndak bisa bahagiakan kamu. Ndak apa Dek, ikuti nasehat Pak Mak mu, mereka cuma pengan kamu bahagia," kata Sujak menguatkan hati istrinya, menguatkan hatinya juga.
Dini mengangguk dia sudah dapat restu dari suaminya, dan Sujak juga tahu bahwa itu bukan kehendaknya.
Waktu berkunjung usai, usai pula hubungan mereka, Sujak kembali ke selnya dengan langkah gontai, merasa habis sudah hidupnya.
Menjalani hari - hari dengan penuh kemarahan dan keputusasaan, membuat Sujak jadi orang yang temperamen. Dia akan menyerang siapa saja yang mengganggunya, Sujak sudah tak mempedulikan hidupnya lagi.
Waktu - waktu dijalani Sujak seperti robot, dia kehilangan rasa, kehilangan masa depan.
Begitu pun ketika masa tahanan habis dan Sujak keluar dari penjara, dia seperti layang - layang putus, tak tahu harus kemana, dengan stempel diri sebagai pembunuh dan pemerkosa.
Luntang - lantung Sujak di trotoar jalan, tidur di emper - emper toko, makan dari sedekah orang. Kaki pincang dan badan yang bongkok sedikit membantunya untuk belas kasih dari orang - orang yang lewat.