Daniel Ferondika Abraham adalah cucu pertama pemilik sekolah menengah atas, Garuda High School.
Wajahnya yang tampan membuatnya menjadi idaman siswi sekolahnya bahkan di luar Garuda juga. Namun tidak ada satupun yang berani mengungkapkan rasa sukanya karena sikap tempramen yang di miliki laki-laki itu.
Hal itu tak menyurutkan niat Dara Aprilia, gadis yang berada di bawah satu tingkat Daniel itu sudah terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya, namun selalu di tolak.
Mampukah Dara meluluhkan hati Daniel? dan apa sebenarnya penyebab Daniel menjadi laki-laki seperti itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Lorong rumah sakit hari itu terasa lebih senyap dari biasanya. Suara mesin detak jantung dari ruang ICU terdengar pelan, menandai waktu terus berjalan namun terasa lambat untuk 3 orang di sana, Daniel, Rena, dan Hao.
Dokter baru saja keluar, memberi tahu hasil pemeriksaan Abraham. "Pak Abraham.... kemungkinan besar tidak akan bertahan lama. Kita berharap keajaiban akan datang, beliau dalam keadaan vegetatif ringan. kalaupun sadar, itu hanya sebentar."
Daniel menunduk, tangannya mengepal. Rena menggenggam erat tangan suaminya, sedangkan Hao mengangguk pelan, perasaannya begitu rumit.
setelah dokter mengizinkan mereka masuk, terlihat tubuh Abraham yang begitu rapuh. Berbeda jauh saat masih sehat seperti dulu.
selang-selang medis mengelilinginya, namun wajahnya terlihat tenang. "Pa..." bisik Rena, memegang tangan ayahnya yang terasa dingin. Isakannya terdengar lebih jelas.
Tiba-tiba cari Abraham bergerak lemah komaritma jantung di layar berubah pelan, matanya terbuka perlahan. Daniel yang berdiri di sebelah kanan rancang Abraham mendekat, "Kakek!" Abraham tersenyum samar, suaranya lirih, tapi jelas. "Daniel."
"Dia sadar!" Hao terkejut, badannya menegang. Daniel meraih tangan renta itu yang gemetar sambil menggenggamnya.
"Kau... anak yang berani... Aku berharap... kau bisa mengungkap masalah ini... cepatlah ungkap kebenaran, agar aku bisa... pergi dengan tenang."
Rena terisak pelan, "Papa, jangan banyak bicara dulu." Abraham lalu menatap putrinya, "Waktuku tidak banyak nak... jangan sampai semuanya terlambat. Arvin harus dihentikan." mendengar itu napas Hao dan Daniel tercekat, mereka saling pandang.
"Dia memang putraku, namun... sebuah tempat jika dipimpin oleh orang yang salah akan mengalami kehancuran." matanya mulai sayu, ia menoleh menatap Hao seolah-olah sekarang adalah waktu terakhirnya.
"Kamu sudah seperti anakku sendiri Hao, bantulah dalil untuk mengungkap semuanya dan jagalah Rena dengan baik." Hao mengangguk, "Saya janji pak."
Kemudian mata sayu itu menatap Rena lagi, "Kau adalah anakku... anak yang kuat, Rena. Papa bangga padamu." air mata Rena kian deras. Lalu dengan satu tarikan napas panjang, mesin detak jantung mendadak muncul garis lurus.
"Papa?" panggil Rena. "Dokter!!!" Daniel berteriak melihat tubuh Abraham tidak bergerak lagi. Rena menangis dalam pelukan Hao, sementara Daniel berdiri mematung di samping pintu. Dalam hitungan menit, dunia berubah. Namun satu hal yang pasti, mereka akan menjalankan amanah terakhir dari Abraham. Daniel mengepalkan tangannya dengan erat, "Aku tidak akan membiarkan yayasan jatuh ke tangan yang salah kek." ucapnya pada diri sendiri.
Beberapa jam kemudian, ruang VIP itu berubah menjadi rumah duka. Aroma bunga dan antiseptik bercampur dengan kesedihan yang belum terucapkan.
Tak lama, pintu itu terbuka perlahan. Seorang pria masuk dengan pelan dan menarik koper kecil, Arvin. Niatnya untuk menjenguk sang ayah tertahan di daun pintu, matanya tertuju pada tubuh kaku Abraham di ranjang–sosok ayah yang menjadi pusat kekaguman dan tekanan dalam hidupnya.
"Papa..." ucapnya, nyaris tak bersuara. tidak ada yang menjawab, Rena berdiri mematung di sisi kanan ranjang, wajahnya datar, ekspresinya dingin. Di sisi kiri, Hao hanya mengangguk sopan namun tidak tersenyum. antara Daniel duduk di sudut ruangan tanpa menyapanya.
Arvin melihat sekeliling, mencoba membaca situasi. Ia bertanya, setengah berbisik. "Aku... terlambat, ya?" beberapa detik kemudian, Rena berkata, ucapannya datar dan tajam. "Benar, kamu terlambat, sangat terlambat."
Arvin tersenyum lemah, suaranya canggung. "Aku nggak tahu papa kritis, terakhir yang aku tahu-" ucapan Arvin terpotong karena Rena menyela, "Vegetatif? Apa itu jadi alasan kamu sama sekali nggak jenguk papa di hari-hari terakhirnya?!" Arvin terdiam, suasana menjadi kaku.
"Aku punya proyek yang nggak bisa aku tinggal Kak!"
"Proyek lebih penting dari papa, begitu?!" suara Rena masih pelan, namun nadanya bergetar. "Jangan memancing keributan Kak, aku datang kan? Aku di sini sekarang!"
"Kamu datang saat semua sudah selesai!" sahut Rena cepat. "Kamu bahkan nggak sempat dengerin ucapan terakhir papa!" Arvin menautkan alis, "Papa sadar?"
Daniel yang dari tadi hanya diam, berdiri pelan dan mendekati Arvin. Suaranya tenang, namun tatapannya tajam. "Kakek sadar, beberapa menit sebelum mengembuskan nafas terakhirnya. Ia berbicara dengan jelas dan... menyampaikan banyak hal."
Arvin melirik Daniel, "Maksud kamu?"
"Jika Om datang lebih awal, maka Om akan mendengar langsung tentang semuanya." Rena menambahi, "dan jika kamu peduli sama papa, kamu nggak perlu alasan buat ke sini."
Arvin terdiam, perasaannya antara kesal, sedih dan curiga.
"Aku... Aku cuma ingin menjenguk Papa, nggak ada maksud lain."
"Sayangnya, semua yang kamu lakukan selalu penuh maksud, Arvin." Hao akhirnya angkat bicara. "tapi jangan khawatir, kami akan memenuhi wasiat papa." Arvin memalingkan wajahnya, mengontrol ekspresi mukanya.
Meskipun tidak tahu apa yang Abraham mengucapkan, tapi feelingnya berkata cuma ada sesuatu yang berubah. Dan dia harus bergerak cepat agar tidak menjadi bumerang untuknya.
---
Langit yang mendung seakan ikut berkabung, pagi itu udara terasa dingin dan penuh duka. Kediaman Abraham sudah penuh dengan orang-orang penting yang datang satu persatu untuk melayat. Mereka memberi ucapan bela sungkawa dan doa terakhir untuk Abraham Yudistira, tokoh ternama dan disegani di dunia pendidikan dan sosial kemasyarakatan.
Mobil-mobil mewah pencetnya rapi di sepanjang jalan menuju rumah duka titik tenda putih juga sudah berdiri sejak subuh, kursi-kursi terjadi rapi serta bunga putih mengisi di berbagai sudut ruangan.
Daniel, ditemani Hao dan Nicko berdiri di sisi peti. Sementara Rena mengajak Rebecca untuk menemui para pelayan.
Matanya yang merah dan sembab menghiasi wajah imut anak kecil itu. Ia adalah cucu yang dekat dengan Abraham saat pria itu masih sehat. Rebecca juga tidak mau digendong Ebie yang notabene adalah kakaknya, karena sifat istri Daniel itu yang seenaknya sendiri.
Ebie memilih untuk mendampingi Daniel setelah memberi penghormatan dan doa terakhir bersama ayah dan ibunya saat tiba tadi. namun Daniel hanya diam dan tidak merespon apapun dia bahkan tidak memperdulikan keberadaan Ebie.
***