ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Rencana Kejutan Manis
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang lembut.
Matahari merayap perlahan lewat celah tirai kamar, mengguratkan warna keemasan di atas seprai dan kulit yang masih lelap.
Adrian membuka matanya lebih dulu.
Ia masih bisa merasakan hangat tubuh Elina di sampingnya, wanita itu akhirnya ia bawa masuk ke kamar setelah semalam terlelap di sofa. Ia tidak mengatakan banyak. Hanya menggenggam tangannya, dan Elina mengikutinya dengan diam.
Kini, melihat wajahnya yang damai di atas bantal, hati Adrian mengencang oleh tekad baru.
Perlahan, ia bangkit tanpa membangunkan Elina. Langkahnya ringan menuju dapur, Adrian Leonhart membuka lemari dapur... tanpa asisten. Ia tersenyum kecil, geli sendiri melihat betapa banyak bumbu dan alat masak yang tak ia pahami. Tapi demi wanita itu, yang telah menantinya dalam diam dan kecewa... ia rela mencoba.
Dan tak lama kemudian, suara panci, aroma kopi hangat, dan roti panggang memenuhi udara rumah.
Sementara itu...
Elina membuka matanya dengan perasaan berat.
Ia menangis tadi malam, tapi tidak marah. Tapi hatinya... seperti ruang kosong yang tak bisa ia jelaskan.
Namun saat ia menoleh ke samping, tempat Adrian biasanya tidur, ranjang itu kosong.
Ia mengernyit, lalu mendengar sesuatu.
Ada yang bergerak. Di dapur?
Elina bangkit, menyelubungi tubuhnya dengan jubah tidur tipis, melangkah pelan menyusuri lorong. Dan saat sampai di ambang pintu dapur, pemandangan itu membuatnya terdiam di tempat.
Adrian. Dengan celemek bergambar kelinci, rambut acak-acakan, dan tangan yang sibuk mengaduk sesuatu di panci kecil.
"Selamat pagi," katanya, dengan senyum sedikit canggung tapi manis sekali.
Elina mematung. Lalu tertawa kecil, menutup mulutnya. "Kamu... masak?"
Adrian mengangkat bahu. "Lebih seperti eksperimen berbahaya, tapi... kupikir harus kulakukan sesuatu. Untuk menebus makan malam yang terlewat."
Ia mendekat, menyodorkan sepiring pancake berukuran tak sama besar dan segelas jus. "Ini tidak akan menang kompetisi masak. Tapi kupastikan dibuat dengan niat terbaik."
Elina menatapnya lama. Hatinya hangat.
"Terima kasih, Adrian... Aku sangat menghargainya."
Ia duduk. Dan meski pancake itu sedikit gosong di sisi, Elina memakannya dengan senyum.
Sebagai gantinya, ia menatap pria itu dan berkata lembut, “Hari ini... ayo kita mulai dengan bahagia.”
Adrian duduk di seberangnya, tak berkedip menatapnya. "Kau yakin masih bisa bahagia denganku?"
Elina tersenyum tipis, memiringkan kepala. "Dengan sedikit latihan dan perhatian ekstra... kupikir aku akan terbiasa."
Mereka tertawa bersama. Tak ada yang terlalu dramatis. Tak perlu permintaan maaf berulang kali. Hanya ada dua orang dewasa yang mencoba memahami satu sama lain, sedikit demi sedikit.
Dan pagi itu, rumah kecil mereka yang sederhana... terasa paling hangat sejak hari pertama mereka menikah.
...****************...
Hari itu, aroma sabtu yang damai meresap hingga ke sela-sela hati.
Langit cerah, angin bertiup pelan, dan tawa anak kecil mengisi ruang tamu rumah keluarga kecil itu.
Claire berlari kecil dengan bando kelinci di kepalanya, menggenggam krayon warna-warni, sementara Elina duduk bersila di karpet, membentangkan kertas gambar besar di lantai. Di sisi lain ruangan, Adrian duduk bersandar di sofa, laptopnya terbuka, tapi matanya tak bisa berhenti menoleh ke arah istri dan putrinya.
"Daddy, lihat ini!" Claire berseru sambil menunjukkan gambar rumah kecil dengan tiga orang di depannya, satu perempuan dengan rambut panjang, satu laki-laki tinggi, dan satu anak kecil di tengah-tengah mereka yang memegang balon.
"Itu kita?" Adrian bertanya sambil bangkit dari sofa, lalu berjongkok di sebelah Elina.
Claire mengangguk penuh bangga. "Iya! Mama, Daddy, dan Claire! Aku gambar taman juga di belakang rumah, ada bunga pink semua!"
Elina tersenyum, mengelus kepala anak itu. "Bagus sekali, sayang. Kamu berbakat jadi pelukis."
Adrian menatap gambar itu sejenak, lalu mencium pipi putrinya. "Kamu berbakat bikin Daddy jatuh cinta tiap hari."
Elina menoleh cepat, menatap Adrian dengan tatapan setengah geli setengah malu. Claire tidak mengerti apa maksudnya, tapi ia ikut tertawa bahagia karena semua tertawa.
Setelah itu, mereka bermain bersama. Membuat kastil dari bantal sofa, menyusun puzzle, dan bahkan membuat cookies sederhana, yang lebih banyak adonannya menempel di pipi Claire daripada di loyang.
Di sela tawa itu, Adrian diam-diam membuka ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada seseorang.
"Pastikan semuanya tiba sore ini. Jangan lupa lilin vanilla dan playlist yang sudah saya kirim. Saya tidak mau ada yang terlambat."
Ia mengunci layar sebelum Elina sempat melihat. Tatapannya kembali ke wanita itu, yang tengah mengangkat tangan tinggi-tinggi agar Claire tidak mencoret wajahnya dengan krayon.
Perlahan, senyum kecil terbit di wajah Adrian.
Malam ini, ia ingin menebus bukan hanya satu malam yang terlewat, tapi semua keraguan dan luka kecil yang mungkin tumbuh tanpa ia sadari.
Ia ingin menjadikan malam itu milik mereka.
Hanya mereka.
Dengan cahaya lilin, aroma bunga, dan bisikan-bisikan yang tak perlu lagi ditahan.
...****************...
Menjelang sore, matahari menggantung rendah di langit barat, menciptakan semburat jingga keemasan yang menyelimuti rumah keluarga kecil itu.
Claire telah tertidur usai bermain seharian. Kepalanya terlelap di pangkuan Elina di sofa, tangan kecilnya masih menggenggam boneka kelinci. Suasana mendadak tenang dan hangat, hanya terdengar detik jam dan desau napas lembut anak kecil yang tidur.
Elina mengelus rambut Claire perlahan, lalu menatap ke luar jendela. Cahaya senja menyentuh kulitnya, membuatnya tampak lembut dan penuh perasaan. Di sudut hatinya, ada debar yang tidak bisa dijelaskan. Semacam firasat yang manis, bahwa malam nanti akan berbeda.
Adrian mendekat perlahan dan duduk di sisi Elina, menatap Claire dengan senyum kecil. "Capek sekali dia," bisiknya.
Elina mengangguk, tidak ingin membangunkan putri mereka. "Hari ini dia benar-benar jadi ratu rumah ini."
Adrian menoleh padanya. "Kamu juga."
Nadanya ringan, tapi matanya bicara lebih dari itu.
Elina menahan senyum. "Apa maksudmu?"
"Aku cuma merasa... kamu membuat rumah ini hidup. Claire tertawa lebih sering. Dan aku..."
Adrian menggenggam tangan Elina dan mencium punggungnya. "Aku lebih pulang daripada biasanya."
Wajah Elina memerah sedikit. "Itu karena kamu terlalu capek untuk terus di kantor."
Adrian terkekeh pelan. "Atau karena aku terlalu rindu dengan yang ada di rumah."
Suara itu begitu lembut, hampir seperti godaan. Elina hanya menjawab dengan tatapan penuh makna.
Tak lama setelah itu, Claire dipindahkan ke kamarnya. Sore mulai menyatu dengan senja. Elina berjalan ke dapur, bersiap membuat teh sore dan sedikit camilan. Aroma vanila dari lilin di ruang tamu mulai menyebar, tanpa ia tahu bahwa itu adalah salah satu bagian dari rencana Adrian.
Sementara itu, Adrian mengecek ponselnya diam-diam di sudut ruangan.
Pesan masuk dari tim penyedia kejutan:
"Semuanya telah disiapkan. Lilin, kelopak mawar, wine, dan playlist sesuai permintaan Bapak. Mohon beri aba-aba sebelum istri Anda masuk ke ruangan."
Adrian mengangguk pelan.
Dia melihat ke arah dapur, tempat Elina berdiri dengan celemek sederhana, menyendok teh ke dalam teko kaca. Cahaya senja menyinari wajahnya yang cantik dalam kesederhanaan.
Dia tak sabar menunggu malam datang.
Namun untuk saat ini, ia memilih menikmati waktu kecil itu:
Teh hangat, aroma rumah yang damai, dan Elina yang tanpa sadar mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke tepi cangkir... kebiasaannya saat sedang berbunga-bunga.