Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Baik, Pak Bos," jawab Nick mengangguk patuh. "Tapi, Pak Bos. Dari kemarin Pak Burhan nelpon terus, nanyain Anda."
Alex tersenyum menyeringai. "Udah saya duga. Hmm ... biar nanti saya telpon dia. Sekarang kamu ke mall, beliin baju buat si kembar. Kasihan, mereka ke sini cuma bawa baju di badan doang."
"Tapi, saya gak tau ukuran baju mereka, Pak Bos."
"Astaga, tinggal bilang aja sama pelayan tokonya, baju buat anak umur tujuh tahun. Kalau perlu, kamu borong semua baju yang ada di toko. Oke?"
Nick kembali mengangguk patuh. "Baik, Pak Bos."
"O iya, saya pengen pengawalan di Rumah Sakit diperketat. Jaga Irene 24 jam, jangan sampai ada musuh saya yang tau dia ada di sini. Bisa gawat, Irene bisa dijadiin kelemahan saya nanti."
Lagi dan lagi, Nick mengangguk patuh. "Baik, Pak Bos."
Alex merogoh saku jas hitam yang ia kenakan lalu meraih dompet miliknya kemudian meraih kartu kredit dan memberikannya kepada Nickole yang akan menggantikan posisi David sebagai tangan kanan sang mafia. "Pake kartu ini buat belanja. Saya pengen pakaian yang bagus dan mahal buat si kembar. Paham?"
Nick menerima apa yang diberikan oleh Alex William. "Siap, Pak Bos. Saya pamit sekarang."
Alex mengangguk, menatap kepergian Nick hingga pria bertubuh tinggi itu benar-benar meninggalkan kediamannya.
"Semoga kamu cepat bangun, Ren. Jangan tinggalin mereka lama-lama, kasihan mereka pasti sedih banget ngeliat kamu kayak gini," batin Alex, memejamkan mata sejenak.
Mengingat tragedi yang menimpa Irene membuat hatinya sakit. Membayangkan peluru menembus permukaan kulitnya membuatnya terluka seolah turut merasakan sakit yang dirasakan oleh wanita yang ia cintai. Terlebih, Irene Larasati masih belum siuman sampai saat ini.
***
Dua hari kemudian
Alex tengah berada di ruangan ICU, menemani Irene yang masih tidak sadarkan diri bahkan seperti tertidur lelap. Dokter menyatakan operasi yang dilakukan berjalan lancar bahkan organ vitalnya pun dinyatakan normal, tapi wanita itu masih belum siuman seolah tengah melanglang buana di alam mimpi.
Si kembar yang sudah dua hari tidak bertemu dengan sang ibu nampak berada di sisi Irene. Alex terpaksa membawa keduanya ke Rumah Sakit karena mereka terus merengek, memaksa untuk bertemu dengan ibu mereka. Willona berdiri di samping ranjang, menggenggam telapak tangan Irene. Melihat berbagai alat medis terpasang di tubuh Irene membuat anak itu terhenyak. Dengan menahan air mata, Willona mengecup punggung tangan sang ibu tercinta.
"Ibu tidurnya nyenyak banget sih. Aku kangen sama Ibu, aku mohon bangun," rengek Willona dengan suara bergetar.
Sementara William, nampak digendong oleh ayahnya. Anak itu hanya bisa memandang wajah sang ibu dengan wajah sayu penuh kesedihan. "Yah, apa boleh aku tidur di samping Ibu? Aku pengen meluk Ibu," rengeknya dengan manja.
"Kayaknya gak boleh, Sayang. Tunggu sampe Ibu siuman dulu, ya," jawab Alex, seraya mengusap punggung William lembut dan penuh kasih sayang.
"Tapi, Ibu bangunnya kapan sih? Ibu masih hidup, 'kan?"
"Stt! Kamu apaan sih? Kamu gak boleh ngomong kaya gitu, Willi. Ibu masih hidup!" tegur Willona dengan kesal.
Alex menghela napas panjang, si kembar terdengar berisik dan ditakutkan mengganggu pasien lain. Ia pun memutuskan untuk membawa keduanya keluar.
"Biarkan Ibu istirahat. Kita pulang sekarang, ya. Besok kita ke sini lagi, oke?" pinta Alex, menatap wajah si kembar secara bergantian.
Willona memandang wajah sang ibu dengan mata berkaca-kaca, tatapan matanya nampak sayu, kesedihan terlihat jelas dari sorot matanya. Gadis kecil itu kembali mengecup punggung tangan Irene dengan lembut, air matanya pun seketika jatuh membasahi punggung tangannya.
"Aku mohon bangun, Bu. Aku kangen banget sama Ibu? Apa Ibu gak kangen sama aku dan Willi?" ucapnya seraya terisak. "Bangun, Bu. Bangun, aku takut ngeliat Ibu kayak gini. Aku takut banget."
Jemari Irene tiba-tiba bergerak lemah, bahkan sangat lemah. Pelupuk matanya perlahan mulai berkedip pelan sebelum akhirnya membukanya secara perlahan. William yang melihat mata sang ibu terbuka seketika berteriak girang.
"Ibu bangun, Yah. Liat, Ibu udah bangun!" serunya dengan senyum lebar.
Alex sontak menurunkan tubuh William dengan mata berkaca-kaca. "Ya Tuhan, Sayang. Akhirnya kamu bangun juga," lemahnya, menahan rasa haru.
"Huaaa ... Ibu!" seru Willona, tangisnya seketika pecah.
Irene mengedipkan pelupuk matanya lemah dan beraturan, sekujur tubuhnya tidak bisa digerakkan. Rasanya seperti membeku, apalagi bagian bahunya yang sempat mendapatkan operasi. Wanita itu mencoba menoleh dan memandang datar wajah si kembar dan juga Alex.
"Ibu ... Ibu bisa ngeliat aku?" tanya William seraya menahan isakan dan hanya dijawab dengan anggukan oleh Irene.
"Kalian tunggu di sini, ya. Ayah mau panggil Dokter dulu," pinta Alex kepada si kembar, segera keluar dari dalam ruangan.
Willona dan William memeluk tubuh sang ibu seraya menahan tangisan. Kedua tangan mungil mereka nampak melingkar di perut Irene Larasati. Keduanya benar-benar lega karena Irene sudah kembali dari tidur panjangnya. Rasanya luar biasa bahagia.
"Aku seneng banget Ibu udah bangun. Makasih Tuhan, makasih," rengek Willona.
Sayangnya, Irene masih bergeming. Mencoba meraup kesadarannya usai terlelap sekian lama. Ingin menjawab pertanyaan sang putri, tapi bibirnya masih tertutup alat bantu pernapasan. Ingin rasanya memeluk kedua buah hatinya, tapi tubuhnya masih membeku, lemas dan tidak mampu bergerak sedikit pun.
"Maafin Ibu, Sayang. Maaf karena Ibu udah ninggalin kalian. Makasih Tuhan, terima kasih karena Engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup dan bertemu dengan mereka lagi," batin Irene, buliran bening seketika luruh dari kedua matanya.
***
Sementara itu, Alex hendak kembali ke ruangan ICU bersama Dokter dan satu orang perawat. Langkahnya nampak cepat, wajahnya sumringah. Namun, pria itu seketika menahan kedua kakinya saat mendengar suara seseorang menyerukan namanya dengan lantang.
"Alex!" seru laki-laki tersebut dari.
Alex menoleh dan mencari sumber suara dengan kening dikerutkan. Matanya seketika terpejam saat melihat Burhan, salah satu pejabat yang selalu memuluskan usahanya, memberinya banyak uang agar bisnis ilegalnya tidak tersentuh oleh hukum.
Burhan, pria paruh baya dengan perut buncit dan rambut putih, melangkah mendekat dengan senyum lebar. "Senang sekali bisa bertemu Anda di sini, Tuan Alex," sapanya dengan ramah. "Kenapa sulit sekali menghubungi Anda akhir-akhir ini?"
Alex tersenyum canggung, memasukan telapak tangan ke dalam saku celana yang ia pakai. "Saya agak sibuk, Pak Burhan," jawabnya singkat.
Burhan menghentikan langkah tepat di depan Alex. "Gimana pengiriman malam ini? Saya pastikan gak akan ada masalah, kapal Anda bisa mendarat di pelabuhan dengan aman dan terkendali. Saya akan singkirin petugas di sana, tapi Anda jangan lupa sama pajaknya, ya."
Bersambung ....