Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FOTO PERNIKAHAN SIAPA??
Sepanjang sore itu Rukmini mengomeli anak dan menantunya. Samirah dan Astuti hanya bisa menunduk saat wanita tua itu mengomeli mereka.
"Tidak tau malu. Kalian berdua itu sama saja mempermalukan diri kalian sendiri. Kalian sendiri yang membuka aib keluarga."
Gunadi yang baru puang ke rumah melihat ibunya yang sedang memarahi kakaknya dan juga istrinya.
"Ada apa ini bu?" tanya Gunadi saat selesai melepas sepatunya. "Acaranya nggak jadi?" Gunadi memandangi ruang tamu yang sunyi yang ada hanyalah hamparan karpet menutupi lantai.
"Acaranya sudah selesai, tapi kakak dan istrimu yang masih belum selesai. Mereka masih saja meributkan hal yang nggak penting. Membuka aib diri sendiri. Semua orang sekarang jadi tahu jika kamu dan Mursyidah belum bercerai dan kamu selalu menerima kiriman uang dari Mursyidah," ungkap Rukmini kesal.
Gunadi menatap kakak dan istrinya bergantian. Samirah dan saling melirik sinis dengan sudut matanya.
"Kakakmu itu mas yang mulai duluan. Dia selalu curiga terus sama aku, dia selalu menuduh aku selingkuh sama suaminya. Huh, kayak suaminya ganteng aja!" Astuti mendengus lalu mengambil anaknya dan membawa masuk ke dalam rumah.
"Memang! Kamu memang harus dicurigai dan kalau perlu semua ibu-ibu di kampung ini harus waspada jangan sampai suami mereka juga kamu goda. Sok berlagak ramah dengan kaum bapak di sini. Cih! Aku nggak percaya," balas Samirah lantang. Badannya dia condongkan ke arah pintu di mana Astuti masuk.
"Kamu dan ibu akan menyesal nanti setelah tau siapa sebenarnya Astuti itu," geram Samirah sambil berlalu dari rumah Gunadi meninggalkan ibu dan adiknya itu.
Rukmini dan Gunadi saling berpandangan melihat kepergian Samirah yang kesal.
"Bu, suruh mbak Samirah berdandan yang cantik agar suaminya tidak plarak-plirik sama perempuan lain. Kalau perlu belajar berdandan sama Astuti," ucap Gunadi pada ibunya.
"Percuma dia berdandan cantik juga, memang sifat suaminya seperti itu. Ganjen sama perempuan, dengan si Mursyidah yang dekil aja masih dia ganggu apalagi Astuti. Sudah jangan pedulikan kakakmu itu. Mana jatah bulanan ibu?" Rukmini menadahkan tangannya pada anak lelakinya itu.
"Jatah bulanan apa Bu? Aku saja belum punya uang!" sangkal Gunadi.
"Bukannya si Mursyidah sudah mengirimkan uang? Kata Astuti malam kemaren perempuan itu menelepon
Kamu dan katanya dia mau mengirimkan uang dengan segera."
Gunadi berdecak kesal karena ibu dan istrinya sama saja, hanya masalah uang terus yang ada dalam pikirannya.
"Harusnya begitu, tapi sampai sekarang teleponnya tidak aktif gara-gara menantu ibu itu cemburu dan mematikan hape aku saat menelepon. Padahal Aliya juga mau mengirimkan berlian sekalian," jawab Gunadi jengkel. Saat ini dia betul-betul tidak punya uang sama sekali padahal dia ingin menambah modal usahanya.
"Berlian? Berlian apa?" Mata Rukmini terbelalak saat bertanya.
"Perhiasan berlian Bu... kayak kalung, gelang dan anting-anting gitu."
"Nanti buat ibu ya Gun," sambar Rukmini cepat.
"Lihat nanti lah Bu! Sekarang aku lagi pusing nomornya masih belum bisa dihubungi lagi!" Gunadi duduk di kursi tunggal sambil memijat pangkal hidungnya. Sementara Rukmini meninggalkan anaknya itu dan pulang ke rumahnya.
**
Malam kian larut semua orang sudah terlelap dalam tidurnya, hanya suara jangkrik yang terdengar di kejauhan, sementara bayang-bayang pepohonan tampak bergerak pelan di bawah sinar rembulan. Jalanan sunyi, tak ada suara kendaraan atau langkah kaki, hanya keheningan malam yang dalam. Langit dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip lembut, seolah menjaga tidur nyenyak semua orang di bawahnya. Udara malam terasa dingin dan tenang, membawa rasa damai yang menyelimuti seluruh kampung. Dalam kesunyian ini, waktu terasa berhenti sejenak, membiarkan alam dan manusia menikmati istirahat mereka.
Gunadi hendak menarik selimutnya ketika dering ponselnya memecah keheningan malam. Pria itu dengan mata yang masih terpejam meraba-raba meja kecil yang ada di sebelah tempat tidurnya. Dering ponsel itu semakin nyaring, tapi Gunadi masih belum juga menemukannya. Astuti ikut terbangun dan cepat menyalakan lampu.
"Siapa sih mas yang menelepon malam-malam begini?" tanya Astuti setelah menyalakan lampu. Suasana kamar jadi terang benderang. Gunadi mengambil ponselnya yang ternyata tertutup oleh sampah plastik pembungkus diaper di ujung rak.
"Aliya Vidio call, pindah dulu dek ke kamar sebelah!
Bawa Celia sekalian!" printah Gunadi sambil membereskan kasurnya dari hal-hal yang mencurigakan. Di atas kasur itu ada pakaian kotor Celia dan juga boneka anak tersebut.
"Cepat dek!" desak Gunadi saat melihat istrinya itu masih diam berdiri. Astuti menatapnya dengan wajah memberengut.
"Kenapa aku harus pindah? Takut obrolan mesramu dengan istrimu itu aku dengar?" sahut Astuti sambil menatap jengkel pada Gunadi.
"Bukan begitu dek, takutnya dia minta dilihatkan seluruh ruangan kamar seperti waktu itu. Kan jadi repot kamu harus menghindar sambil menggendong Celia. Lebih baik sementara kamu pindah dulu ke kamar sebelah ya," bujuk Gunadi.
Pria itu mengangkat anaknya yang sedang tertidur pulas dan berjalan mendului Astuti keluar kamar. Setelah meletakkan Celia di atas tempat tidur, Gunadi bergegas ke kamar sebelah dan berpapasan dengan Astuti yang menatapnya dengan sangat kesal. Sambil berlalu Astuti mencubit pinggang Gunadi.
"Awas aja nanti!" gumamnya geram.
Gunadi tidak peduli, ia langsung menghambur ke atas tempat tidur dan menarik selimut lalu menggeser ikon berwarna hijau. Belum sempat Gunadi menjawab salam, Mursyidah sudah mengomelinya.
"Kenapa lama sekali menjawab panggilannya? kamu merapikan tempat tidur dulu atau menyuruh perempuan asing yang ada di sebelahmu?" semprot Mursyidah. Gunadi ternganga. Mengapa bisa tepat tebakan istrinya tersebut?
"Kok diam mas? Dugaanku nggak benar kan?" pancing Mursyidah seolah-olah dugaannya salah dan dia tidak tahu apa-apa.
Iy-iya dek salah. Eh maksud mas dugaannya salah.
" Mas sendiri kok di sini." Gunadi memutar ponselnya memperlihatkan seluruh isi ruangan.
"Tuh kan nggak ada siapa-siapa di sini, hanya mas sendiri." Gunadi berusaha tersenyum meski wajahnya sedikit pias karena takut kebohongannya diketahui.
"Iya mas... Kok muka kamu sampai pucat gitu sih?
Kamu jangan gugup gitu dong! Aku percaya sama kamu kok." Mursyidah tersenyum geli di balik cadarnya.
"Dek buka dulu cadarnya, kan sekarang hanya ada kita berdua." pinta Gunadi dengan suara pelan dan lembut.
"Maksudnya apa mas? Jadi yang waktu malam hari itu ada orang lain di sini?" tanya Mursyidah pura-pura curiga.
"Bu-bukan dek. Mas hanya ingin melihat wajahmu," sahut Gunadi cepat. Jangan sampai istrinya itu bertanya yang macam-macam dan lebih jauh lagi.
"Wajah aku nggak berubah mas, kamu nggak lupa kan? Aku hanya sedang perawatan saja jadi kulitnya agak merah. Nih, aku buka kacamata aja biar kamu bisa melihat mataku yang sangat indah menurutmu."
Mursyidah melepas kacamata hitamnya dan menutup layar ponselnya dengan selendang tipis berwarna putih.
Gunadi menarik napas lega mendengar jawaban Mursyidah, setidaknya istrinya itu tidak memperpanjang masalah. Ternyata istrinya itu memang gampang dibodohi.
"Kok layarnya jadi burem dek?"
Mursyidah tidak peduli dengan protes Gunadi. Wanita itu tersenyum tipis dari balik cadar membiarkan Gunadi larut dengan kebohongannya.
"Mas, aku mau melihat kamar sebelah dong!"
Glek! Gunadi meneguk ludahnya yang tiba-tiba kering. Apa istrinya itu tahu jika ada orang yang dia sembunyikan di kamar sebelah.
"Kamar sebelah? Maksudnya kamar Amar? Kan nggak ada Amar di sini dek"
"Ya nggak apa-apa. Kan masih ada baju-baju kecil Amar di situ."
Dengan langkah gemetar dan dada berdebar Gunadi berjalan keluar dari kamarnya. Saat keluar kamar langkah lelaki itu terhenti karena permintaan Mursyidah.
"Mas coba liat ruang tamu rumah kita. berubah nggak?"
Saat itu lampu ruang tamu memang menyala terang karena dinyalakan oleh Astuti yang takut saat wanita itu berdiri di depan pintu kamar mendengarkan percakapan Gunadi dengan Mursyidah di telepon.
"Mas, itu foto pernikahan siapa?"
Mati!
aku suka cerita halu yg realitis.