Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 : SIAPA PEMILIK HIDUPMU SEKARANG.
Mobil itu melaju membelah jalanan kota dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Di dalam kabin yang kedap suara, keheningan terasa lebih menyakitkan daripada teriakan mana pun. Erlangga tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun cengkeramannya pada setir hingga buku jarinya memutih sudah cukup menjelaskan segalanya.
Begitu sampai di depan gerbang tinggi kediamannya, Erlangga keluar dan menarik pintu mobilku dengan kasar.
"Turun!"
Aku diseret masuk melewati lorong-lorong rumah yang gelap, menuju sebuah kamar di lantai atas yang selama ini terkunci rapat. Kamar itu bukan kamarku. Itu adalah kamar Sarah.
Begitu pintu terbanting tertutup, Erlangga mendorongku ke arah meja rias yang penuh dengan kosmetik dan parfum yang belum pernah kusentuh. Di sana, sebuah gaun sutra berwarna putih pucat sudah terbentang di atas tempat tidur.
"Pakai itu," perintahnya dingin.
"Aku tidak mau! Berhenti memaksaku menjadi dia, Erlangga!" teriakku sambil berusaha menuju pintu.
Namun, Erlangga lebih cepat. Dia mencengkeram kedua bahuku dan menekanku ke cermin besar. "Kau dengar apa yang dikatakan pria tadi? Dia mencintaimu? Dia ingin menunggumu?" Erlangga tertawa sumbang, sebuah suara yang terdengar patah. "Tidak akan ada yang bisa mengambilmu dariku. dia tidak akan pernah melihatmu lagi jika kau terus membangkang."
Dia mengambil sebuah sisir perak kuno dari meja rias, lalu mulai menyisir rambutku dengan kasar. "Sarah selalu menurut. Dia tidak pernah membela pria lain di depanku. Dia tidak pernah membuatku marah"
"Tapi aku bukan Sarah! Dia sudah mati, Erlangga! Dia mati karena dia tidak tahan hidup bersamamu!"
PLAK!
Tamparan itu mendarat di pipiku, tidak terlalu keras, namun cukup untuk membuat wajahku tertoleh dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku terdiam, merasakan panas yang menjalar di kulitku.
Erlangga terpaku melihat tangannya sendiri. Matanya bergetar, ada kilatan penyesalan yang lewat sekejap sebelum akhirnya digantikan oleh obsesi yang kembali menebal. Dia berlutut di depanku, memegang tanganku yang gemetar.
"Maaf... Maafkan aku, Sayang," bisiknya dengan nada yang tiba-tiba lembut, yang justru terasa lebih mengerikan. "Jangan memancing amarahku. Aku hanya ingin kita bahagia. Aku hanya ingin Sarah-ku kembali."
Dia bangkit dan berjalan menuju pintu, menguncinya dari luar.
"Ganti pakaianmu dengan gaun itu. Aku akan kembali satu jam lagi. Jika kau masih memakai baju yang sama atau mencoba kabur lewat jendela..." dia menjeda kalimatnya, suaranya kembali dingin, "Aku pastikan pria itu akan celaka malam ini juga."
Aku merosot ke lantai, menatap gaun putih di atas ranjang itu. Di luar, hujan mulai turun, menyamarkan suara tangisku. Aku terperangkap. Bukan hanya di kamar ini, tapi di dalam kegilaan seorang pria yang mencintai bayangan orang mati.
Mataku tertuju pada sebuah gunting antik berlapis emas di atas meja rias, yang biasanya digunakan Sarah untuk memotong pita-pita koleksinya. Amarah yang sudah lama kupendam mendidih, meluap hingga ke ujung kepala.
Aku tidak peduli lagi pada ancamannya. Aku tidak peduli pada gaun sutra yang harganya mungkin setara dengan rumah sederhana itu.
Dengan napas memburu, kusambar gaun putih pucat itu dari atas ranjang. SREK! SREK!
Suara kain sutra yang robek memenuhi kamar yang sunyi. Aku memotongnya dengan brutal, bagian lengan, dada, hingga rok panjangnya hancur menjadi serpihan kain yang tak berbentuk. Aku merasa seperti sedang memutilasi identitas Sarah yang selama ini dipaksakan kepadaku.
"Aku bukan dia!" teriakku histeris sambil melemparkan potongan kain itu ke lantai. "Ambil kembali hantumu ini, Erlangga!"
Belum sempat aku mengatur napas, suara kunci pintu berputar. Erlangga masuk dengan nampan berisi segelas susu hangat. Langkahnya terhenti tepat di depan tumpukan kain yang sudah hancur.
Suasana mendadak menjadi sangat dingin. Nampan di tangannya bergetar, lalu ia letakkan perlahan di atas meja dekat pintu. Dia tidak berteriak. Dia justru diam, dan diamnya Erlangga jauh lebih menakutkan daripada kemarahannya.
"Apa yang kau lakukan, Ashilla?" tanyanya, suaranya nyaris seperti bisikan yang mencekik.
"Aku menghancurkan barang sarah!" tantangku, meski tanganku yang memegang gunting gemetar hebat. "Bunuh saja aku kalau kau mau, tapi jangan pernah suruh aku memakai baju orang mati!"
Erlangga melangkah mendekat. Aku mundur hingga punggungku menabrak dinding dingin. Dia melihat gunting di tanganku, lalu dengan gerakan secepat kilat, dia mencengkeram pergelangan tanganku dan memutarnya hingga gunting itu terjatuh ke lantai.
"Kau pikir dengan merobek kain ini, kau bisa bebas?" Erlangga mendekatkan wajahnya, matanya merah karena murka yang tertahan.
Dia mencengkeram rahangku dengan satu tangan, memaksaku menatap matanya yang gelap.
"Karena kau tidak mau memakai gaunnya, maka kau akan belajar bagaimana rasanya menjadi tawanan tanpa identitas."
Dia menarikku dengan kasar menuju sebuah lemari besar di sudut ruangan. Dia membuka pintu lemari itu, bukan berisi baju, melainkan deretan foto-foto Sarah dan barang-barang peninggalannya yang tersusun seperti altar.
"Masuk ke dalam," perintahnya.
"Tidak! Erlangga, lepaskan!"
"MASUK!"
Dia mendorongku ke dalam ruang sempit yang gelap itu dan menguncinya dari luar. Aku terperangkap di antara aroma parfum Sarah yang menyengat dan kegelapan total.
"Tetaplah di sana bersama 'dia' sampai kau sadar siapa pemilik hidupmu sekarang," suara Erlangga terdengar menjauh, diikuti suara pintu kamar yang kembali dikunci rapat.
Aku memukul-mukul pintu lemari itu hingga tanganku memar. "Erlangga! Buka! Aku mohon..."
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,