"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Besok, lusa dan seterusnya...
Lala terdiam beberapa saat. Netra cokelat itu tidak berkedip menatap wajah tampan Javas di depannya. Tangannya bergerak di dagu, berpikir apakah tawaran pria itu patut dia pertimbangkan. Wajah cerianya meredup sedikit, ada sesuatu yang mengambang di balik sorot matanya yaitu kerinduan kecil yang biasanya dia pendam rapat.
“Papi…?” gumam Lala pelan, nyaris tak terdengar.
Namun hanya sedetik kemudian, binar bahagia kembali merekah, berusaha menutupi perasaan yang sempat muncul. “Mau… mau… mauuu!” pekiknya sambil melompat kegirangan.
Javas mengulum senyum, tidak perlu waktu yang lama untuknya mengambil hati putri dari wanita yang dia cintai itu.
Gadis kecil itu naik ke kursi, duduk di sana. “Berarti aku boleh panggil Papi?” tanyanya dengan senyum yang merekah, menatap Javas penuh harap.
Javas menghela nafas kecil, tangannya terulur untuk mengusap lembut rambut gadis kecil itu, “Boleh dong, mulai sekarang Lala boleh panggil aku Papi, bukan kakak lagi, hm.” Ujarnya di sambut senyum bahagia dari Lala.
Saat mereka asyik mengobrol, Selena tiba-tiba datang dengan membawa nampan berisi dua Jus alpukat dan susu.
“Lala, kenapa nggak nyari Mami?” Ujarnya lembut sembari meletakkan minuman itu di meja. Kebetulan suasana sudah tidak banyak orang, mungkin karena jam makan siang. Karyawan juga sudah ke belakang, hingga tersisa mereka bertiga yang seperti keluarga kecil yang bahagia.
Selena tersenyum kikuk ke arah Javas. Gara-gara putrinya, pemuda itu jadi lama di sini, dan Selena merasa tidak enak hati.
“Maaf mas Javas, Lala mungkin merepotkanmu,” ujarnya canggung, kemudian ikut duduk di sana.
Javas membalas senyuman itu dengan senyum terbaiknya. Sejujurnya pria itu menahan diri untuk tidak berteriak, gejolak hatinya saat ini nyaris meledak.
“Tidak apa-apa kok mbak, santai saja. Aku juga kebetulan tidak sedang buru-buru.” Jawab Javas memperlihatkan wajah santainya sebaik mungkin.
“Minum dulu mas, saya bawakan jus alpukat,” Selena menyodorkan satu gelas jus untuk Javas, setelahnya memberi susu untuk putrinya itu.
“Mami, kenalin, ini Papi baru Lala, Papi Javas,”
Uhukkk!!
Selena yang sedang menikmati jusnya tersedak saat mendengar kalimat Lala barusan. Matanya membelalak kaget, wajahnya memerah, bagaimana bisa gadis kecilnya bisa mengklaim orang asing sebagai papinya. Astaga, ada-ada saja.
Berbeda dengan reaksi Selena, Javas tampak santai dengan wajah nya yang tampak congkak. Dia begitu bangga saat gadis kecil itu memperkenalkannya sebagai papinya, setidaknya itu berarti dia suaminya Selena bukan? Iya, begitulah pikir Javas.
Selena melihat ke arah Javas, dan begitu terkejut saat pria itu dengan santai mengedipkan matanya, alisnya dia naik turun, menggodanya.
“Mas, tolong jangan di masukin ke hati kata-kata Lala barusan, anak kecil memang suka ngelantur,” Selena tidak enak hati, dia menatap putrinya itu dengan tatapan sedikit tajam,
“Sayang, jangan begitu. Kita tidak boleh memanggil orang sembarangan dengan sebutan Papi, atau apa pun itu. Mami nggak ngajarin gitu loh,” ujarnya dengan lembut. Lala tampak terdiam, wajahnya sendu seketika.
“Mami…salah ya Lala ingin ada Papi?” suara polos Lala yang nyaris keluar dengan air mata membuat Selena tidak bisa berkata apa-apa. Wanita itu tau bukan hanya dia yang terluka, melainkan putrinya pun sama saja, dan yang lebih parahnya adalah, putrinya sampai mencari kenyamanan di orang lain hanya karena tidak lagi mendapatkan kasih sayang yang pernah begitu besar dia dapat dari ayahnya.
“Mbak, jangan bilang begitu. Aku nggak keberatan kok kalau Lala anggap aku papinya, nggak sama sekali. Malah aku senang, dengan begitu berarti Lala melihat aku sebagai orang baik, orang yang pantas untuk dia anggap Papi,” tutur Javas dengan bijak.
“Tapi...”
“Nggak apa-apa mbak, Lala boleh panggil aku Papi, sekarang aku papinya Lala ya,” gadis kecil itu mengangguk mantap, membuat Selena lagi-lagi hanya bisa melongo tak percaya.
...----------------...
Sepersekian detik hanya ada keheningan antara mereka bertiga. Selena tidak bisa berkata apapun, antara mau marah dengan kurir itu tapi dia harus menahan diri di depan Lala.
“Mas Javas nggak pulang, ini sudah sangat lama, apa mas tidak bekerja?” Selena berujar pelan, tetapi sarat pengusiran secara halus.
“Mbak keberatan ya aku ada di sini?” Bukannya mengiyakan, Javas malah bertanya balik dan jujur saja Selena bingung hendak berkata apa. Ingin sekali dia jawab Iya, tapi tidak enak dengan kurir yang sudah berbaik hati menemani putrinya sejak tadi.
“Bukan… bukan maksudnya begitu, Mas. Hanya saja, Mas Javas kan harus ngantar barang ya, emang nggak apa-apa berlama-lama di sini? Penerima paket mungkin lagi nunggu saat ini loh mas,” Dalih Selena dengan cepat menemukan alasan yang masuk akal banget menurutnya.
Javas hanya mengangguk sekilas, kemudian menatap ke arah Lala seolah meminta gadis itu untuk menahannya lebih lama.
“Mami, kenapa Mami mengusir papi?”
“Bukan mengusir, Lala. Tapi Mas jav—maksudnya Papi harus kerja, sayang. Dia tidak bisa stay disini terus, kasian orang-orang nunggu barangnya datang,”
Bibir Javas terangkat sekilas kala dengan sadar, Selena berujar demikian. Dia memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona merah di pipinya.
Tidak ingin berlama-lama berada dalam situasi yang membuatnya susah nafas, menahan salah tingkah ternyata sesulit itu. Javas berdiri dengan tubuh yang masih menegang, dia gugup.
“Mbak, sepertinya aku memang harus pergi sekarang,” ujarnya terburu-buru dengan kalimat yang sedikit gemetaran.
“Loh, Papi… kok udah mau pulang?” Lala ikut berdiri, gadis kecil itu tampak sangat keberatan melihat Javas yang sudah mau pulang.
“Sayang, dia kerja,”
“Iya, besok lagi ketemunya ya La… jangan lupa yang tadi papi bilang, okey!”
“Siap, papi! Benaran besok datang lagi ya,”
“Heh! Lala jangan gitu—”
“Iya, besok aku datang lagi. Lusa, dan seterusnya pasti datang terus kok, boleh kan Kak Selena?” Kalimat terakhir Javas menekan berbisik di telinga Selena dengan alis yang di naik turunkan. Panggilannya bukan lagi Mbak, melainkan kak, yang justru terdengar aneh menurut Selena, membuat bulu kuduk wanita itu meremang.
"Aku lanjut kerja dulu ya sayang..." Kalimatnya terdengar ambigu, bukan hanya tertuju pada Lala, tapi lebih ke pamit kepada Selena niatnya.
"Iya, Papi. kerja yang rajin ya," jawab Lala dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya. Selena hanya melirik punggung tegap pemuda itu lewat ekor matanya, kemudian menatap Lala.
"Eh, kak..." Belum juga sampai pintu, Javas kembali masuk dengan senyum kikuk.
"Ada apa lagi, Mas. ada yang ketinggalan?" tanya Selena bingung. Dia memperhatikan di seputaran meja, barangkali Javas meninggalkan sesuatu di sana tapi tidak ada sama sekali.
"Iya, aku sampai lupa tadi rotinya yang di pesan belum ya? nanti kalau sudah selesai bisa kirim ke alamat ini aja kak?" Dia membuka ponsel, mengirim sebuah alamat ke room chatnya bersama Selena.
"Ah, baik Mas Javas. sepertinya karyawanku lupa deh, saya akan menyiapkan pesanannya segera ya," Setelahnya Javas lanjut keluar, sementara Selena dan Lala berjalan menuju dapur.
...****************...
Roti lagi, Mom?" seorang gadis cantik yang baru saja turun dari anak tangga menghampiri meja makan.
Di sana, ibunya sedang menikmati beberapa potong roti dengan secangkir teh hangat yang masih mengepul pelan.
Wanita paruh baya itu menoleh sebentar dan tersenyum kecil. "Iya, sini sayang. cobain!" Dia mempersilahkan putrinya untuk duduk di sebelahnya.
"Mommy yang beli atau di kirim sama kak Javas lagi? perasaan baru kemarin makan roti, eh sekarang lagi?" tanya gadis itu dengan raut wajah yang begitu ingin tahu.
"Di kirim sama Javas, sayang. Banyak tadi, sudah aku bagi ke mbak-mbak yang lainnya," ujarnya dengan tangan meraih satu piring kecil, kemudian memilah beberapa varian roti itu. "Valle mau yang mana?"
Valleria Oliver memperhatikan sejenak, kemudian tangannya bergerak memilih roti yang paling dia suka.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...