Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Malam yang terasa singkat bagi Melina dan Erick. Hanya bertelepon satu jam tapi bisa melepas rindu setelah satu hari tidak bertemu.
Hingga matahari terbit dan alarm Bunga berbunyi. Begitu Bunga bangun, Ia melihat Melina sudah bangun terlebih dahulu yang duduk ditepi ranjangnya.
"Bunga, aku mau masuk hari ini" ujar Melina
Melina sudah memutuskan walau badannya masih terasa lemas.
"Kamu yakin, Mel? Kamu nggak mau nunggu UAS?" tanya Bunga sambil Ia merangkul Melina
Melina menghela nafas
"Kalau aku gak masuk, sia-sia uang beasiswa aku. Kalau beasiswa yang harus dipertahankan itu nilai dan IPK. Masalahnya kalau aku nggak masuk lebih dari dua kali, maka otomatis nilai absen ku turun dan itu mempengaruhi IPK ku. Aku takut beasiswaku dicabut." ujarnya
Bunga tahu bahwa mendapatkan beasiswa memang mudah berbeda dengan dia yang kuliahnya dibiayai orang tuanya.
"Maaf, Mel. Aku nggak kepikiran sampai situ. Aku hanya takut kamu nggak sanggup." ujarnya
Melina mengangguk, meski kepalanya masih terasa pusing.
"Kalau aku nunggu UAS, aku malah kepikiran terus."
Bunga tidak memaksa. Ia tahu Melina memang anak yang ambis.
Bunga membantu Melina menyiapkan pakaian dan tas ranselnya. Ia memasak sarapan didapur, hanya sarapan simple roti panggang dengan selai coklat.
"Mel, ini sarapan kamu" ujar Bunga sambil membawa sarapan itu ke kamar.
"Makan aja, aku nggak mau kamu capek jalan ke dapur." ujar Bunga
Melina menyantap sarapan itu, Ia tak selera makan. Lidahnya terasa pahit.
"Mel, ini minumnya" Bunga memberikan air hangat.
Melina mengunyah roti itu sambil meneguk air supaya roti itu bisa masuk ke perutnya. Jika Melina tidak melawan sakitnya maka akan tambah parah.
"Bunga, kamu udah sarapan?" tanya Melina sambil meletakkan gelas diatas meja belajarnya
"Udah. Kamu gak usah mikirin aku." balas Bunga
Mereka berjalan kaki seperti biasa. Bunga menggandeng tangan Melina supaya Ia tidak jatuh. Lima menit yang biasanya terasa cepat, hari ini melambat.
Melina berjalan pelan-pelan hingga mereka menghabiskan waktu sepuluh menit yang harusnya bisa ditempuh lima menit, tangannya sesekali mengepal, menahan rasa lemas yang belum sepenuhnya membaik.
"Kalau kamu pusing, bilang," ujar Bunga.
"Iya." Jawabanya.
Di kelas, Melina memilih duduk di pinggir dekat tembok supaya ia bisa bersandar. Ia tidak mau terlalu depan, tidak juga terlalu belakang. Bunga duduk di sampingnya, meletakkan botol minum di meja Melina tanpa diminta.
"Kamu minum dulu."
Melina menurut.
Beberapa menit kemudian, Devano masuk. Matanya langsung tertuju pada Melina. Ia berhenti sebentar, seolah memastikan apa yang ia lihat benar, lalu menghampiri mereka.
"Kamu masuk," katanya.
"Iya."
"Kondisimu gimana?" tanya Devano
"Udah mendingan."
Devano mengangguk. Ia tidak bertanya lebih jauh, tidak juga menunjukkan perhatian berlebihan. Ia hanya meletakkan sebungkus kecil permen jahe di meja Melina.
"Kalau tiba-tiba mual," katanya singkat, lalu pergi ke bangkunya.
Melina menatap permen itu sesaat. Perhatian Devano terasa ringan, tidak menekan, tapi justru itulah yang membuat hatinya tidak tenang. Ia memasukkannya ke tas tanpa berkata apa-apa.
Tak lama kemudian, Erick masuk ke kelas. Ia masuk sendirian menggantikan Prof. George
Seketika suasana berubah.
Erick berjalan seperti biasa, tegak, rapi, tanpa ekspresi. Ia melihat kelas sekilas. Saat tatapannya tertuju pada Melina, tidak ada reaksi. Tidak ada jeda. Tidak ada isyarat apa pun.
Dingin.
Melina menunduk, tangannya mencengkeram pulpen lebih kuat.
"Baik, hari ini saya menggantikan Prof. George dikarenakan beliau tidak bisa hadir hari ini. Beliau ada rapat bersama dosen lain untuk menaikkan akreditasi kampus." ucap Erick.
Sepanjang perkuliahan, Erick bersikap sepenuhnya profesional. Ia menjelaskan materi dengan suara stabil, fokus pada papan tulis dan layar presentasi. Tidak sekali pun ia memanggil nama Melina, bahkan saat biasanya ia sering memberi pertanyaan ringan.
Erick menjelaskan materi tentang serangga apa saja yang ada pada tanaman karena minggu sebelumnya mereka praktikum tentang pertumbuhan tanaman.
Mahasiswa mencatat dengan serius. Mereka tidak mau membuat onar, apalagi hari ini wajah Erick seperti dipenuhi dengan tekanan.
"Baik, dari yang saya jelaskan mengenai serangga, ada yang mau ditanya?"
Kelas hening. Erick menunggu hingga satu menit.
"Jika tidak ada yang bertanya, maka saya yang akan bertanya. Jika tidak bisa dijawab, akan saya keluarkan." ujarnya
Satu mahasiswa mengangkat tangan dan bertanya
"Baik pak, saya izin bertanya. Jika serangga ada yang berperan sebagai hama tanaman, maka apakah ada serangga lain yang perannya tidak merusak tanaman, Pak?" yang bertanya adalah Devano
Erick diam sebentar lalu mengambil absen dan memberi nilai A+ pada Devano. Ia tidak menunjukkan ekspresi tegang ataupun kebencian. Melina bisa melihatnya, yang seharusnya Erick tegang dan emosi kini terlihat bisa saja.
"Baik. Pertanyaan yang bagus. Sebenarnya pertanyaan ini sering dibahas pada jurusan pertanian. Tapi karena kita biologi dan mempelajari semua alam, maka saya mengulas sedikit tentang serangga yang ada pada tanaman." ujar Erick
"Untuk pertanyaan Devano, ya ada serangga yang perannya bukan sebagai hama melainkan predator. Apa itu serangga predator? Itu adalah serangga pemakan hama. Contohnya apa? Contohnya kumbang koksi yang bisa memakan 100 kutu daun pada tanaman" lanjut Erick
Devano mencatat jawaban Pak Erick. Ia merasa hal itu sangat penting. Erick memang mengakui kecerdasan Devano. Bahkan soal yang susah sekali pun terjawab olehnya.
Melina berusaha mencatat, meski tulisan di buku beberapa kali tampak kabur. Kepalanya berdenyut pelan. Ia menahan diri agar tidak menyandarkan kepala ke meja.
Sesekali, ia bisa merasakan pandangan Devano dari bangku depan, Melina bukan menatap, hanya memastikan. Bunga mulai menyadari kejanggalan itu.
"Ada lagi yang ingin bertanya?"
Mahasiswa diam dan sebagian ada menggeleng. Biasanya Erick akan menyuruh Melina bertanya atau menjawab. Tapi kini Erick tidak memperhatikan Melina.
"Kalau begitu saya tutup perkuliahan hari ini. Selamat siang."
"Siang Pak." ujar mahasiswa
Erick memasukkan laptopnya ke dalam tas lalu membawa absen dan pergi ke ruang dosen.
...***...
Mahasiswa mulai beranjak pergi. Melina berdiri pelan, memegang Bunga agar seimbang. Devano menghampiri sebentar.
"Kamu langsung pulang?"
"Iya."
"Jangan dipaksain. Dua hari lagi UAS."
Melina hanya mengangguk.
Erick sudah keluar kelas lebih dulu. Bahkan tidak menoleh.
Di lorong fakultas, Melina berhenti. Ia menyandarkan punggung ke dinding, memejamkan mata sejenak.
"Kamu kenapa?" tanya Bunga.
"Capek aja."
Bunga memperhatikan wajah sahabatnya itu. Pucat, lelah, dan ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Mel," ucap Bunga pelan, "kamu ada masalah sama Pak Erick? Tumben Bapak itu tidak menyuruhmu antar absen ke ruangannya"
Melina menahan diri supaya tidak kaget. Jantungnya berdegup kencang.
"Nggak," jawabnya terlalu cepat.
Bunga diam. Tapi keraguan mulai muncul lagi.
Mereka berjalan pulang dalam keheningan. Sesampainya diapartemen, Bunga lalu membantu Melina duduk diranjangnya.
"Mel, kamu masih pusing?" tanya Bunga
"Iya" jawabnya singkat
Masuk kuliah hari ini tidak menyelesaikan apa pun. Tidak memperbaiki hubungannya dengan Erick. Ia pikir dengan bertelepon kemarin malam akan menyelesaikan masalah.
Ia ingat ditelepon bahwa Erick merindukannya dan ia ingin merawat Melina. Tapi saat dikelas tadi, Erick tidak memperhatikannya, padahal Melina masih sakit.
Hingga Bunga merasakan ada sesuatu yang aneh dari Melina. Ia merasa seperti ada yang Melina sembunyikan. Tapi, bukan saat ini waktunya Bunga menanyakan itu. Ia tidak ingin menambah sakit kepala Melina.
"Mel, istirahatlah. Aku buatkan makan siang kita" ujar Bunga lalu pergi ke dapur.