NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: tamat
Genre:Obsesi / Romansa pedesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama / Tamat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32. Salju dan Darah

MARELUNA, SIANG BERKABUT

Mila De Luca. Nama itu terukir di daftar target Leonardo Romano sebagai hukuman pembuka. Sebuah perintah diam-diam telah dikeluarkan. Culik gadis kecil itu.

Mila, berusia tujuh tahun, sedang asyik bermain di teras rumahnya yang diselimuti salju. Dia mengenakan pakaian mahal pemberian Serafina—celana tebal, sweater wol, mantel berbulu, dan topi kelinci yang membuatnya tampak seperti boneka hidup. Pipi, hidung, dan bibirnya memerah oleh hawa dingin, tangan mungilnya yang pucat membentuk gumpalan-gumpalan salju.

Tiba-tiba, bayangan besar menghalanginya. Sebelum dia sempat berteriak memanggil Rafael, sebuah karung kasar menutupi tubuh kecilnya. Dunia menjadi gelap. Dia tercekik, berjuang, mendengar suara tawa kasar sebelum akhirnya diangkat dan dibawa pergi.

Rafael keluar dari rumah, wajahnya berkerut khawatir. “Mila?” panggilnya, matanya menyapu teras yang kosong. 

Dia mengira adiknya masih di dalam, terlindung dari badai salju yang mulai mengamuk. Setelah mengunci pintu, dia mencari ke seluruh rumah—kamar Mila, dapur tempat Rosa—tapi Mila hilang.

...🌊🌊🌊...

HUTAN TERPENCIL, BANGUNAN TUA

Di sebuah bangunan tua yang nyaris runtuh, atapnya bocor menerima hujan salju. Mila dilepaskan dari karungnya. Gadis kecil itu langsung menangis histeris, tubuhnya menggigil hebat.

“M-MAMMA! P-PAPÀ! R-RAFA!” teriaknya, suaranya pecah oleh tangis dan dingin.

Setiap kali salah satu penculiknya mendekat, Mila menjerit ketakutan, menepis tangan kasar yang mencoba mengusap kepalanya. “J-Jangan! Aku mau p-pulang!”

Kemudian, sebuah ponsel dihidupkan. Leonardo Romano muncul di layar, terhubung dengan kamar Serafina yang terkunci.

“Lihatlah, Serafina.” Suara Leonardo dingin. “Lihat konsekuensi dari kebodohanmu.”

Mila duduk bersila di lantai kayu kotor bangunan tua itu. Dinginnya merambat melalui celana tebalnya, tapi yang lebih menggigilkan adalah ketakutan di hatinya. Salah satu penculiknya, pria berwajah kasar dengan bekas luka di pipi, mengarahkan ponsel ke wajahnya yang pucat dan penuh coretan air mata yang beku.

“Signorina Romano ingin bicara denganmu,” geram si preman, suaranya seperti batu yang saling bergesekan.

Layar ponsel menyala, dan wajah Serafina muncul. Dia berada di kamarnya yang megah, terbaring di atas kasur yang tampak sangat empuk, bantal-bantal sutra menopang kepalanya. Latar belakangnya adalah dinding berlapis kain mewah dan lukisan-lukisan mahal. Kontras antara kedua dunia ini begitu menusuk.

Mila menatap layar, mata besarnya yang hijau keabu-abuan membesar. “Kak Sera?” Suaranya kecil, penuh harap yang rapuh. “Kenapa kau di kasur yang empuk seperti itu? Kenapa kau tidak datang menjemputku?”

Air mata langsung membanjiri mata Serafina. Dia mendekatkan wajahnya ke kamera. “Mila, sayangku, aku sedang mencarimu! Aku berjanji!”

Tapi sebelum Mila bisa merespons, si preman dengan bekas luka itu menyela, suaranya jahat dan penuh ejekan.

“Dia berbohong, sayang kecil,” katanya pada Mila, sambil memandang sinis ke kamera, seolah menantang Serafina. “Mengapa seorang putri kaya seperti dia akan peduli pada anak seorang penggembala domba? Kau hanya mainan baginya. Mainan kotor dari desa.”

Mila memandang Serafina, matanya mulai dipenuhi kebingungan dan rasa sakit yang mendalam. “Benarkah, Kak Sera? Bagimu ... aku hanya anak seorang penggembala?”

Serafina mengguncang kepalanya dengan liar, tangisnya makin menjadi. “NO! Mila, No! Aku mencintaimu! Kau seperti saudara perempuan bagiku!”

Tapi si preman itu tertawa kasar. “Lihat? Dia tidak menyangkal bahwa kau adalah anak seorang penggembala. Bagi keluarganya, keluargamu kotor. Dia tidak akan membuang waktunya untukmu.”

Mata Mila yang polos itu perlahan berubah. Keraguan yang ditaburkan oleh si preman mulai berakar. Dia melihat kemewahan di belakang Serafina, mengingat semua hadiah mahal yang pernah diberikannya. Dalam pikirannya yang ketakutan dan terluka, semua itu bukan lagi tanda kasih sayang, melainkan belas kasihan dari seorang putri kepada anak desa yang malang.

Dia melihat Serafina yang menangis histeris, tapi kali ini, air mata itu tidak lagi terlihat sebagai kesedihan yang tulus. Di matanya yang mulai bersinar dengan kebencian, itu terlihat seperti sandiwara.

“Kau ... membenciku?” bisik Mila, suaranya tiba-tiba datar, seperti orang yang baru tersadar dari mimpi indah.

“TIDAK, MILA! AKU MENYAYANGIMU!” teriak Serafina.

Tapi Mila hanya menggeleng pelan. Air mata terakhirnya mengalir, membasahi pipinya yang kotor. Kebencian pertama dalam hidupnya yang singkat mulai menyala, diarahkan pada orang yang dulu sangat dikaguminya.

“Kalau begitu ... mengapa kau tidak di sini?” tuduhnya. “Mengapa kau di sana, di atas kasur empuk itu?”

Dia tidak lagi melihat Serafina sebagai penyelamat, tapi sebagai pengkhianat. Seorang putri yang memanjakan dirinya dengan kemewahan sementara dia, anak penggembala domba, dibiarkan menderita dalam kedinginan dan kegelapan.

“Aku membencimu,” desis Mila, kata-kata itu keluar seperti semburan racun. Tatapannya, yang dulu selalu memandang Serafina dengan kekaguman, kini penuh dengan luka dan kebencian yang mendalam. “Aku tidak ingin melihatmu lagi. Tidak pernah lagi.”

Layar ponsel di sisi Serafina tiba-tiba gelap. Jeritan putus asa Serafina memenuhi kamarnya yang mewah, tapi tidak ada yang mendengarnya. Jeritan itu terperangkap di balik dinding istananya, sama seperti hatinya yang terkunci dan kini harus menanggung beban kebencian dari gadis kecil yang sangat dicintainya. Rantai obsesinya pada Rafael baru saja mendapatkan mata rantai baru. Rasa bersalah yang akan menghantuinya selamanya.

Selama lima hari, Mila bertahan di tempat itu. Menggigil dalam dingin yang menusuk tulang, hanya bertahan dengan roti basi dan susu kotak yang diberikan oleh para penculiknya. 

Ini semua adalah permainan psikologis Leonardo—menyiksa Rafael dengan ketidakpastian dan rasa kehilangan.

...🌊🌊🌊...

MARELUNA, HARI KELIMA

Kepanikan telah melanda Mareluna. Keluarga De Luca dan seluruh warga berusaha mencari, bahkan melibatkan polisi. Tapi Leonardo telah membayar dan membungkam mereka. Pencarian hanya menjadi sandiwara.

Kondisi Rosa memburuk. Asmanya kambuh berulang kali, setiap kali nafasnya tersengal, Rafael yang memberikan obat dengan tangan gemetar, air matanya jatuh tak tertahan.

“M-Mamma, maafkan aku,” isak Rafael, berlutut di samping tempat tidur Rosa. “Ini semua salahku.”

Rosa, meski lemah, memeluk putranya. “T-Tidak, anakku ... B-bukan ... s-salahmu.”

Keluarga Rinaldi bahkan mengerahkan semua pengaruh dan preman bayaran mereka, tapi hasilnya nihil. Mila seolah menghilang ditelan bumi.

Malam harinya Rafael berdiri di teras, menatap langit kelam yang terus menumpahkan salju. Pikirannya penuh dengan bayangan Mila yang ketakutan.

Tiba-tiba, seorang gadis dengan mantel tebal dan syal mahal mendekat dan memeluknya dari depan.

“Rafael! Aku sangat khawatir! K-kau baik-baik saja?” Suara Serafina bergetar.

BRUGH!

Tapi Rafael malah mendorongnya dengan kasar, membuat Serafina terjatuh ke tumpukan salju.

“Beraninya kau datang ke sini?!” bentak Rafael, suaranya menggema dalam kesunyian malam. “Setelah semua ini? Setelah Mila ... kau tidak punya rasa kasihan?!”

Serafina bangkit dengan susah payah, tubuhnya gemetar. Tapi Rafael, meski marah, masih memiliki sisa kepedulian. Matanya menyapu sekeliling, memastikan Serafina tidak diikuti atau dalam bahaya.

“Dari keluarga mana kau sebenarnya?” tanya Rafael lagi, suaranya lebih rendah tapi masih penuh dendam.

“Romano!” tangis Serafina. “Aku anak Leonardo dan ... seorang cameriera yang sudah meninggal!”

Rafael terkesiap. “Mamma-mu ... meninggal? Kenapa tidak ada berita…?”

“Karena dia hanya pelayan!” jerit Serafina, hancur. “Dunia hanya tahu Serafina anak Leonardo dan Isabella!”

Air mata Serafina mengalir deras, tapi Rafael mundur selangkah. Rasa sakit dan takutnya lebih besar.

“Tolong,” pinta Rafael, suaranya parau. “Jangan muncul lagi di sini. Jangan datangi keluargaku lagi. Kau membawa sial.”

Rafael baru saja melepaskan diri dari pelukan Serafina, langkahnya berat menuju pintu. Namun, sebelum tangannya menyentuh kunci, tubuh hangat itu kembali menempel dari belakang, merayap seperti tanaman merambat yang mematikan.

“Jangan pergi, Rafael,” desis Serafina, suaranya parau dan penuh dengan kegilaan yang tak terbendung. Tangannya yang halus merayap di bawah jaket Rafael, mencakar kulitnya yang hangat melalui kain tipis kaosnya. “Aku tidak peduli lagi dengan Romano. Aku tidak peduli dengan segalanya.”

Rafael mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Serafina fina seperti besi. “LEPAS, SERAFINA! INI SUDAH KETERLALUAN!”

“Tidak!” teriaknya, memaksakan Rafael untuk berbalik. Di bawah cahaya lampu temaram, matanya yang hazel membara seperti api dalam kegelapan. “Kita harus punya anak, Rafael. Malam ini.”

Rafael tersentak, mendorongnya dengan kasar. “KAU GILA?”

“Ya! Aku jadi gila karena kau!” Serafina terdorong hingga pinggangnya membentur meja kayu, tapi dia langsung bangkit, wajahnya dipenuhi obsesi yang mengerikan. “Buat aku hamil. Buat mereka membuangku. Aku ingin tinggal di sini selamanya bersamamu. Aku ingin perutku membesar dengan darahmu, Rafael. Biar Leonardo memuntahkan aku seperti sampah, asal aku bisa menjadi milikmu sepenuhnya!”

Dia melompat ke arah Rafael, mencoba menciumnya dengan paksa. Bau parfum mahal dan air mata bercampur di udara. Rafael menahan bahunya, menjaga jarak, tapi Serafina seperti orang kesurupan.

“Bayangkan, Rafael,” bisiknya dengan nada menggoda yang menyeramkan, “aku akan tidur bersamamu setiap malam di kasur tua. Perutku akan membesar dengan anak kita. Kau bisa memegangnya, merasakan tendangannya. Mereka tidak akan bisa memisahkan kita lagi ketika aku sudah membawa darah De Luca dalam rahimku!”

“BERHENTI!” Rafael mendorongnya lebih keras, hingga Serafina terjatuh ke tumpukan salju di depan teras. Tubuh mungilnya tenggelam dalam putih, gaun mahalnya sobek di samping.

Dari dalam rumah, lampu kamar Rosa menyala. “Rafael? Apa yang terjadi?”

Tapi Rafael tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita di salju itu. Matanya merah, bukan hanya karena kemarahan, tapi juga karena kepedihan yang dalam. Dia melihat kegilaan di mata Serafina—sebuah obsesi yang akan menghancurkan mereka semua.

Serafina bangkit dengan susah payah, tangan berdarah karena tercakar es. Dia tersenyum getir, air mata membeku di pipinya. “Kau tidak bisa lari dariku, Rafael. Aku akan memberimu keturunan, bahkan jika harus kurenggut dengan paksa.”

Dengan gerakan cepat, Rafael masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan kasar. Bunyi kunci yang berputar seperti lonceng kematian bagi hati Serafina.

“AKU TIDAK AKAN PERNAH MENINGGALKANMU, RAFAEL!” teriaknya melalui pintu kayu yang terkunci, tinjunya mengetuk-ngetuk permukaan kayu yang dingin. “AKU AKAN MEMBUAT KAU MENCINTAIKU! AKU AKAN MEMBUAT KAU MEMBERIKAN ANAK PADAKU!”

Dari balik jendela, Rafael melihatnya dengan pandangan hancur. Perempuan itu—yang dulu begitu anggun—kini seperti hantu yang kelaparan, berteriak di tengah badai salju tentang rahim dan darah, tentang memiliki dan dimiliki, dalam sebuah narasi obsesi yang semakin gelap dan tak terbendung.

Dari kejauhan, seorang mata-mata Leonardo mengamati semuanya. Laporannya segera sampai ke telinga sang Don.

Leonardo mendengar bahwa hukuman melalui Mila ternyata belum cukup. Serafina masih berusaha menemui Rafael. Amarahnya memuncak.

“Kalau menyakiti satu anggota keluarga belum cukup,” gumam Leonardo, matanya berbinar dengan rencana yang lebih keji. “Maka kita akan sentuh yang lain.”

Dia memutuskan. Mila akan dikembalikan. Dalam keadaan yang mengenaskan, sebagai peringatan terakhir bagi Rafael. Sebuah ancaman bahwa ini baru permulaan, dan setiap anggota keluarganya bisa menjadi target berikutnya jika dia masih berani mendekati Serafina.

Salju terus turun di Mareluna, menyelimuti desa dalam putih yang suci, sementara sebuah kekejaman yang najis sedang dipersiapkan di balik tembok istana Romano. Darah akan segera menodai kesucian salju itu.

...🌊🌊🌊...

“KAU BRENGSEK!” teriak Marco, menyeret kerah Rafael. “WANITA ROMANO-MU YANG BRENGSEK! DIA YANG MENCULIK ANAK-ANAKKU!”

BUGH!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!