Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#30
Happy Reading...
.
.
.
Ponsel Raka berdering dan nama rumah sakit muncul di layar ponselnya. Seketika napasnya tertahan. Kabar bahwa Naira telah sadar membuat jantungnya berdegup kencang. Tanpa sempat berpikir panjang, ia segera menghampiri Bi Sumi yang sejak tadi menjaga Jingga.
“Bi, aku harus kembali ke rumah sakit sekarang.” ucap Raka dengan nada tergesa.
Bi Sumi mengangguk memahami. “Iya, Den. Apa nak Naira sudah sadar?”
“Iya bi..” jawab Raka singkat sambil meraih kunci mobilnya.
Namun, baru beberapa langkah Raka melangkah menjauh, Jingga tiba-tiba menangis keras. Anak kecil itu berlari kecil menghampiri Raka lalu memeluk kakinya erat-erat.
“Papa jangan pergi.. ” Rengek Jingga sambil terisak. “Jingga mau ikut..”
Raka terdiam. Ia menunduk menatap putri kecilnya yang memeluknya seakan takut kehilangan. Dadanya terasa sesak. Ia berjongkok lalu mengusap rambut Jingga dengan lembut.
“Papa cuma sebentar, sayang.” Ucapnya pelan. “Papa mau jemput mama.”
“Aku mau ikut papa.. aku mau mama..” tangis Jingga semakin menjadi.
Bi Sumi segera mendekat. Ia ikut berjongkok di hadapan Jingga. “Jingga dengar Bi Sumi, ya.” ucapnya lembut sambil mengusap punggung kecil itu. “Kalau Jingga ikut sekarang, mama nanti tidak bisa cepat pulang ke rumah.” Bujuknya sambil menghapus air mata di pipi gembil Jingga.
Jingga terisak, napasnya tersengal-sengal. “Kenapa..?”
“Karena mama masih harus istirahat.” jawab Bi Sumi. “Kalau Jingga nurut dan tunggu di rumah sama Bi Sumi, nanti mama bisa cepat pulang dan main sama Jingga lagi.”
Jingga terdiam. Matanya yang basah menatap Raka sejenak, lalu beralih pada Bi Sumi. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan meski air matanya masih menetes.
“Papa janji?” tanyanya lirih.
Raka mengangguk sambil tersenyum tipis. “Papa janji.”
Dengan berat hati, Jingga melepaskan pelukannya. Raka berdiri dan melangkah pergi, sesekali menoleh ke belakang saat mendengar isakan kecil putrinya kembali terdengar.
.
.
.
Di rumah sakit, suasana kamar rawat terasa sunyi. Naira baru saja tersadar. Pandangannya kosong menatap langit-langit ruangan yang terasa asing. Napasnya terasa berat, dadanya naik turun perlahan. Tangannya bergerak pelan, mengusap perutnya sendiri.
Perutnya datar.. Perutnya terasa rata, tidak lagi ada kehangatan yang selama ini ia rasakan.
Air mata mengalir perlahan dari kedua sudut matanya. Bibirnya bergetar, dadanya terasa sesak hingga rasanya sangat sulit untuk bernapas. Tangannya terus mengusap perutnya seolah berharap ada sesuatu yang kembali terasa.
“Lagi..” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. “Aku harus kehilangan calon anakku lagi...”
Isakannya pecah. Tangis itu bukan lagi tangis yang tertahan, melainkan tangisan penuh luka. Bahunya bergetar hebat. Setiap napas terasa menyakitkan.
“Kenapa selalu begini..” ucapnya lirih sambil terisak. “Kenapa aku selalu gagal.. aku selalu gagal menjaga anakku..”
Bayangan masa lalu kembali berputar di kepalanya. Nayla. Kakak kembarnya. Kakak yang ia biarkan hidup menderita tanpa pernah ia cari tahu kebenarannya. Lalu sekarang dua nyawa kecil yang bahkan tidak sempat ia lihat wajahnya. “Aku tidak bisa melindungi kakakku.. ” bisiknya penuh penyesalan. “Aku juga tidak bisa menjaga anak-anakku..”
Tangannya mencengkeram seprai ranjang dengan erat. Dadanya terasa seperti diremas kuat- kuat. Rasa bersalah, kehilangan dan penyesalan bercampur menjadi satu menyesakkan hati dan pikirannya.
“Kenapa bukan aku saja...” ucapnya lirih sambil terisak. “Kenapa aku masih hidup..”
Air matanya terus mengalir tanpa henti. Pandangannya kosong, menatap entah ke mana. Dalam diam, Naira tenggelam dalam luka yang begitu dalam, merasa seolah dunia kembali merenggut sesuatu yang paling berharga darinya.
.
.
.
Raka membuka pintu kamar rawat Naira dengan sangat perlahan, seolah takut akan mengganggu ketenangan di dalam ruangan itu. Setelah masuk, ia kembali menutup pintu dengan hati-hati. Suasana kamar terasa sunyi, hanya terdengar bunyi alat medis yang berdetak teratur.
Mendengar suara pintu, Naira menolehkan kepalanya. Begitu melihat sosok Raka berdiri tak jauh darinya, ia segera mengusap air mata di pipinya dengan gerakan kasar, seolah ingin menghapus semua jejak kelemahannya. Setelah itu, ia kembali mengalihkan pandangan ke arah jendela, menatap kosong ke luar, berusaha mengabaikan kehadiran Raka.
Raka tidak berkata apa-apa. Ia melangkah mendekat, menarik kursi yang berada di sisi ranjang, lalu duduk perlahan. Jarak mereka begitu dekat, namun terasa sangat jauh. Keheningan menyelimuti keduanya cukup lama. Raka memperhatikan wajah Naira yang tampak pucat dan lelah. Kedua matanya yang memerah dan sedikit bengkak, entah kenapa membuat Raka tidak suka.
“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Raka akhirnya, suaranya pelan dan terdengar hati-hati.
Naira tidak menjawab. Ia tetap menatap ke luar jendela, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di atas selimut.
Raka menarik napas dalam. “Dokter bilang kondisi kamu masih lemah. Kamu harus banyak istirahat.” Lanjutnya. Berharap mendapat sedikit respons dari naira.
Namun Naira tetap diam.
Keheningan itu justru membuat Raka semakin gelisah. Ia menundukkan kepala sejenak sebelum kembali membuka suara. “Aku tahu.. apa yang kamu rasakan sekarang.” ucapnya lirih. “Kehilangan itu sangat menyakitkan.”
Naira masih tidak bergeming.
Raka menelan ludah. Kata-kata selanjutnya terasa berat keluar dari mulutnya. “Maaf.” ucapnya akhirnya. “Aku minta maaf karena tidak bisa menyelamatkan anak di dalam kandungan kamu.”
Ucapan itu membuat jari-jari Naira sedikit bergetar. Namun ia tetap diam.
“Aku juga merasa kehilangan..” Lanjut Raka dengan suara bergetar. “Meskipun aku tidak sempat....”
Belum sempat Raka menyelesaikan kalimatnya, Naira tiba-tiba menoleh. Tatapan matanya tajam, penuh amarah dan luka. Raka tertegun melihat sorot kebencian yang begitu jelas di wajah istrinya.
“Untuk apa kamu minta maaf?” ucap Naira dingin. Suaranya serak, namun penuh dengan emosi yang tertahan. “Dan untuk apa kamu merasa kehilangan?”
Raka terdiam.
“Anak yang aku kandung itu bukan anak kamu..” lanjut Naira, suaranya meninggi. “Dia bukan darah daging kamu..”
Kalimat itu menghantam Raka begitu keras. Tubuhnya menegang seketika. Wajahnya memucat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
“Apa maksud kamu?” tanya Raka pelan, meski suaranya nyaris tak keluar.
Naira tersenyum miring, senyum yang sama sekali tidak mengandung kehangatan. “Bukankah sejak awal kamu juga tidak pernah menganggap anak itu milikmu?” ucapnya tajam. “Atau kamu sudah lupa dengan niatmu sendiri?”
Raka membeku di tempatnya. Pikirannya berputar kacau. Banyak pertanyaan muncul bersamaan di benaknya. Tentang ucapan Naira, tentang bagaimana nada bicaranya, tentang tatapan matanya yang seolah mengetahui sesuatu yang selama ini berusaha ia sembunyikan rapat-rapat.
“Apakah..” Raka menelan ludah dengan susah payah. “Apa kamu sudah mulai mengingat semuanya?”
Naira tidak menjawab. Ia kembali memalingkan wajahnya ke arah jendela. Namun kali ini, air mata kembali mengalir perlahan dari kedua matanya, meninggalkan Raka dalam kebingungan dan ketakutan yang perlahan menjalar di dadanya.
.
.
.
Bantu ramaikan story satunya juga dong.. SEBELUM SEGALANYA BERUBAH..
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAKK...