NovelToon NovelToon
Dibuang Mokondo Diambil Pria Kaya

Dibuang Mokondo Diambil Pria Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Anak Lelaki/Pria Miskin / Playboy
Popularitas:911
Nilai: 5
Nama Author: manda80

"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapa Yang Kau Percayai?

Bayangan yang muncul dari kegelapan di sudut ruangan itu familiar, begitu pula suaranya yang kini terdengar lebih dingin, lebih asing, daripada malam yang menyelimuti mereka.

“Bara?” Sella menyebut nama itu pelan, nyaris seperti pertanyaan. Mustahil. Pria yang ia percayai sebagai tangan kanan Edo, pria yang mengawalnya sejak pertama kali bertemu di kantor polisi, pria yang baru saja memasang earphone-nya, berdiri di sana. Di tangannya, Bara memegang sebuah pistol dengan peredam yang tampak baru.

“Kau terkejut, Sella? Padahal aku sudah ada di dekatmu selama ini,” ujar Bara, berjalan tenang ke arah mereka. Langkahnya mematahkan sisa-sisa harapan Sella bahwa sinyal yang terputus tadi hanyalah kesalahan teknis.

Andra tertawa terbahak-bahak. Tawa yang puas, meremehkan. “Sudah kubilang, Sayang. Kau payah dalam memilih pria untuk kedua kalinya. Dari aku yang mokondo tapi jujur (tentang ketidakmampuan finansial), ke Bara yang tampak pahlawan tapi brengsek. Siapa yang kau percayai, hah?”

“Diam, Andra,” geram Bara, suaranya tajam. “Kau seharusnya tidak ada di sini. Tugasmu hanya sampai Hartono. Seharusnya kau pergi ke luar negeri begitu ledakan terjadi. Sekarang kau hanya mengacaukan rencana finalku.”

Sella menoleh dari Bara ke Andra. Jantungnya berdenyut nyeri, bukan karena takut, melainkan karena kebodohan dirinya sendiri. Dia tertipu, lagi, dengan skala yang jauh lebih besar.

“Ledakan? Kau yang meledakkannya?” tanya Sella, matanya melebar tak percaya.

Bara menghela napas panjang, seolah ia kesal harus menjelaskan pelajaran kepada murid bodoh. “Ya, aku. Atau lebih tepatnya, timku. Kenapa? Kau pikir Edo terluka parah? Oh, tidak. Aku harus memastikannya. Agar Helena dan ibumu yakin aku loyal. Agar Edo terpaksa menyerahkan kunci ke tangan yang tepat: aku. Tapi sial, Edo jauh lebih tangguh dari perkiraan semua orang.”

“Jadi, ibuku... Helena, hanya pion di permainan ini?” Andra menyuarakan kekesalan. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia benar-benar merasa diperalat, bukan hanya Sella.

Bara mengangguk, sorot matanya kini dipenuhi kepuasan. “Kau tahu, Helena adalah pengkhianat yang sangat bersemangat. Dia ingin membalas dendam pada keluarga Edo karena kasus puluhan tahun lalu. Itu membuatnya buta. Dia berpikir aku bekerja untuknya, padahal aku hanya memuluskan jalanku sendiri.”

Sella menyela, berusaha menemukan celah logis di tengah keputusasaan. “Kenapa? Kau tangan kanan Edo! Dia memercayaimu. Apa yang kau inginkan?”

Bara tersenyum, senyum dingin yang membuat bulu kuduk Sella merinding. “Edo mengambil segalanya dariku, Sella. Bukan sekarang, tapi dulu. Keluarga perusahaan ini sudah lama menghancurkan kehidupan orang tuaku. Mereka memanipulasi pasar, membuat Ayahku bangkrut. Ayahku mati karena gagal jantung setelah melihat semua kerja kerasnya lenyap. Dan aku? Aku dipekerjakan oleh Edo karena keahlianku, tapi aku hanya menahan kebencianku.”

“Jadi kau membangun benteng dari dalam?” Sella berbisik. Betapa mengerikannya plot ini. Bukan rival bisnis eksternal, melainkan penjaga terdekat.

“Tepat sekali. Aku membiarkanmu dan Andra menjadi umpan kecil yang cantik. Umpan yang mengalihkan perhatian Edo. Ketika Edo terlalu sibuk dengan urusan hati, dan Helena sibuk merancang ledakan kecil, aku bisa menyiapkan serangan utamaku. Menggulingkan kepemimpinan, menyalahkan Helena, Andra, dan juga, dirimu.” Bara menunjuk tablet kosong di tangan Sella. “Itu barang bukti yang Hartono pegang? Bukan apa-apa. Hartono hanya alat Helena, sama sepertimu, sama seperti Andra.”

Andra tampak berpikir keras, tiba-tiba dia tidak lagi tertawa. “Tunggu. Kau yang mematikan Rio dan tim penembak jitu di seberang sana, kan? Kau sudah rencanakan ini jika Hartono gagal bicara?”

“Rio sudah tidur nyenyak. Begitu juga semua orang di sini. Kau pikir semudah itu masuk ke area Cikande tanpa ada pengamanan internal?” Bara mendengus. “Sella memberiku lokasi, dan aku memastikan ini adalah tempat paling aman untuk mengakhiri drama kalian berdua.”

“Kau tidak bisa melakukan ini!” Sella mundur selangkah. Rasa takut yang nyata mulai membanjiri dirinya. Ini bukan lagi permainan uang, ini adalah nyawa.

“Oh, aku bisa. Karena jika kau membawa 'bukti' dari Hartono kepada Edo, kau akan merusak seluruh rencanaku. Aku tidak bisa membiarkan Edo pulih dan melihat kekacauan ini, karena dia akan mengendus sesuatu yang busuk. Jadi, kau dan Andra, akan kubuat terlihat seperti kalian panik, bersekongkol di pabrik ini, lalu kalian saling membunuh. Tragis. Cerita yang sempurna untuk mengakhiri drama perselingkuhan dan pengkhianatan ini,” jelas Bara, senyumnya semakin lebar.

Sella menatap pistol di tangan Bara. Bara bergerak, perlahan tapi pasti, mengarahkan moncong senjata itu lurus ke dadanya. Bara ingin menghabisi mereka sekarang, di sini.

“Kau hanya ingin menyelamatkan dirimu sendiri!” teriak Sella, berusaha membuang tablet di tangannya, tetapi Bara lebih cepat. Dalam gerakan terlatih, Bara menerjang maju, mencengkeram pergelangan tangan Sella, dan menarik tablet itu darinya. Cengkeramannya begitu kuat hingga Sella yakin tulangnya bergeser.

“Justru, aku baru saja menyelamatkan nama baik perusahaan, dan diriku. Kau adalah duri, Sella. Durian yang seharusnya tidak pernah kau injak. Sekarang, saatnya kau istirahat,” kata Bara.

Bara menendang lutut Sella hingga wanita itu terjatuh ke lantai semen yang dingin. Kemudian, dia mengangkat pistolnya dan membidik Andra, yang tampaknya mulai menyadari bahaya besar yang menimpa mereka. Namun, sebelum Bara sempat menarik pelatuknya, suara langkah kaki cepat terdengar dari pintu besi di belakang Bara. Bukan pintu yang sama dengan tempat mereka masuk.

Tiba-tiba, bayangan tegap menerobos masuk, disusul oleh dentingan senjata yang terjatuh ke lantai. Bara yang terkejut karena kedatangan tak terduga itu, menjatuhkan pistolnya.

Sella mendongak, terkejut melihat sosok yang seharusnya berada di ruang operasi. Dengan wajah pucat, perban yang melingkari perutnya terlihat jelas di balik kemejanya yang tidak terkancing sempurna. Mata Sella berkaca-kaca karena lega sekaligus panik melihat kondisi pria itu.

Edo, berdiri di sana, terengah-engah. Namun, matanya tajam, memancarkan amarah yang mematikan saat menatap Bara, pria yang dianggapnya saudara sekaligus pengawal setia.

“Kau tahu, Bara,” kata Edo, suaranya serak menahan sakit. “Aku sudah menduga, alarm di rumah sakit selalu palsu ketika kau yang menjagaku. Tapi, aku tidak pernah menyangka kau akan memasang bom, apalagi menculik Sella.”

Bara membungkuk cepat, berusaha mengambil kembali pistolnya, tetapi terlambat. Edo menerjang, menggunakan seluruh kekuatannya untuk menyerang kepala Bara dengan tinju keras. Kedua pria itu jatuh ke lantai beton, suara desahan keras terdengar saat luka di perut Edo terbuka lagi. Darah mulai membasahi perban yang membalut lukanya.

“Edo!” jerit Sella.

Di tengah kegaduhan itu, Andra, yang melihat pistol Bara tergeletak hanya beberapa inci dari kepalanya, dengan cepat merangkak mendekat. Andra berhasil menggenggam senjata itu, tangannya gemetar. Wajahnya pucat pasi antara takut dan tekad untuk menyelamatkan dirinya.

Edo dan Bara bergulat hebat. Tiba-tiba, suara tembakan memecah kesunyian, begitu keras dan memekakkan telinga. Sella memejamkan mata, memohon agar itu bukan suara tembakan terakhirnya.

Ketika Sella memberanikan diri membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah Bara terhuyung-huyung, cengkeramannya pada Edo melemah. Lalu Sella melihat siapa yang memegang pistol yang mengeluarkan asap itu.

Andra.

Mata Andra tampak kosong. Dia tidak menembak Bara. Dia menembak… ke dinding, di dekat sakelar listrik utama. Seketika, lampu darurat pun mati, dan kegelapan total menyelimuti gudang. Dalam gelap, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar. Sella berteriak, panik. Edo juga berteriak, namanya.

Tiba-tiba, sepasang tangan kuat menarik pergelangan tangannya. Aroma parfum mahal dan rokok yang kuat menyengat hidungnya. Itu bukan Edo. Itu Andra.

“Sella! Jangan panik. Aku tahu jalan keluar tersembunyi. Ayo pergi! Sekarang!” desak Andra, menyeretnya menjauh dari tempat pertarungan antara Edo dan Bara.

“Lepaskan aku! Edo terluka! Andra!” Sella mencoba melawan, tetapi cengkeraman Andra terlalu kuat. Andra mendorongnya maju menuju pintu kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

“Edo tidak butuh kau sekarang! Dia sudah membawanya! Edo sudah tahu semuanya! Kita harus pergi! Cepat!” bisik Andra penuh kepanikan, menarik Sella masuk ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Pistol Bara masih digenggam erat olehnya.

Suara jeritan Edo dari kegelapan terasa jauh. Sella diseret. Dia berjuang, tetapi lorong itu terasa menyesakkan dan ia kehilangan arah. Tiba-tiba, mereka keluar ke udara bebas, di belakang pabrik.

Di hadapan mereka, mobil Andra telah menanti. Namun, ada yang aneh. Bukan Andra yang mengemudikan. Seseorang berada di balik kemudi. Sosok itu menyalakan lampu kecil di kabin, menampakkan wajah yang tak kalah terkejutnya melihat Sella bersama Andra. Itu adalah Rio, kepala keamanan yang lain.

“Bos! Kau tidak bilang ada dia juga! Siapa yang kutembak di dalam?” Rio panik. Rio bukan di bawah kendali Bara. Dia ada di bawah kendali orang lain. Dalang lain.

Andra mendengus frustrasi, menyadari dia tidak benar-benar diselamatkan oleh pihak yang baik.

“Rio, lupakan! Cepat jalan! Sekarang juga!” teriak Andra, mendorong Sella masuk ke kursi belakang.

Sella menoleh ke arah pabrik yang gelap, berjuang melepaskan diri, melihat mobil itu melaju kencang. Dalam mobil yang melaju cepat itu, Sella tersentak ketika Rio, kepala keamanannya yang lain, berbalik, memegang ponselnya.

“Ini Rio. Laporan terakhir. Sella ada bersamaku. Aku melarikan diri bersamanya. Tapi ada Andra juga. Aku sudah menembak satu orang yang berusaha menghentikanku. Dia masih hidup?”

Jantung Sella mencelos ketika dia mendengar suara familiar yang lain, dingin dan tenang, di ujung telepon Rio.

“Sella sudah kita amankan. Sekarang kembali ke Jakarta. Edo sudah mengurus sisanya. Dan Rio, orang yang kau tembak itu… jangan khawatir. Itu bukan musuh. Itu hanya pion yang terbuang. Aku sudah memperingatkannya untuk tidak menghalangi jalan,” kata suara itu.

Sella membeku. Dia mengenal suara itu. Suara orang yang mengira Sella ada di bawah kendalinya. Sosok yang ia anggap sekutu paling setia sejak pertemuan pertamanya dengan Edo.

Helena.

1
Titi Dewi Wati
Jgn percaya sepenuhx dgn laki2, kita sebagai perempuan harus berani tegas
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!