NovelToon NovelToon
MR. LEONARDO

MR. LEONARDO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: nura_12

Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.

Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

terbang tinggi ++

Pintu kamar Arinda diketuk dua kali — tok… tok…

Gadis kecil itu yang sedang duduk di sofa sambil memainkan game di ponselnya langsung berdiri tergesa-gesa. Ia berlari kecil ke pintu karena mengira Sofia datang membawa snack.

Begitu pintu dibuka, Arinda langsung terpaku.

Bukan Sofia.

Tapi Leo.

Mata bulat Arinda langsung berbinar, senyumnya muncul otomatis seperti refleks seorang anak kecil melihat orang yang ia rindukan.

“M-Mas… masuk, Mas.” ucapnya cepat sambil mundur memberi ruang.

Leo masuk dengan langkah tenang, aura dinginnya seperti biasa memenuhi kamar. Tapi saat ia melihat Arinda—yang memakai dress rumahan dan rambut sedikit basah setelah berenang—ekspresinya melunak sekilas.

Tatapannya turun ke ponsel di tangan Arinda.

Tanpa bicara apa pun, Leo mengambil ponsel itu dari tangan kecil istrinya. Arinda langsung panik kecil, “Eh… Mas?”

Leo tidak menjawab. Ia menyalakan layar ponsel itu, melihat game yang tadi dimainkan Arinda—game puzzle sederhana dengan warna-warna cerah.

Sudut bibir Leo terangkat sangat tipis.

“Anak kecil banget…” gumamnya dalam hati.

Lalu ia membuka galeri. Foto-foto Arinda memenuhi layar — selfie polos, foto bunga, foto Sofia, foto makanan, dan ada foto Leo yang entah kapan Arinda memotret nya.

Leo mengerutkan kening kecil. “Ini kamu foto diam-diam, baby?”

Arinda langsung merah padam, menutup wajahnya dengan tangan. “I-itu… Arin cuma kangen Mas kalau Mas masih di kantor…”

Leo memeriksa chat selanjutnya. Tak ada yang mencurigakan. Isinya cuma chat ke dirinya.

Chat polos yang membuat Leo sedikit geleng kepala.

Arinda menunggu dengan gugup, memegang ujung bajunya, lalu tersenyum malu-malu.

“Hp yang Mas kasih bagus banget ya, Mas… Arin sukaaa sekali.” ucapnya polos sambil menatap Leo seperti anak kecil memuji mainan baru.

Leo menutup ponselnya, mengembalikannya pelan sambil menatap mata istrinya.

“Selama kamu pakai untuk hal yang benar, Mas nggak masalah.”

Arinda mengangguk cepat sampai poninya ikut bergoyang. “Iya Mas, Arin cuma main game… sama foto Mas… eh, Arin nggak nakal kok…”

Leo menarik dagu Arinda pelan, membuat gadis itu mendongak. “Mas tahu. Kamu terlalu polos untuk nakal.”

Arinda langsung tersipu sampai telinga memerah, sementara Leo hanya berdiri di sana, memandangi istrinya dengan sorot mata hangat namun tajam — campuran rasa protektif dan sayang yang selalu ia tunjukkan hanya pada Arinda.

Suara decapan memenuhi seisi ruangan di kamar Arinda, Leo mengukung Arinda dengan menaruh tangan arinda di atas kepala. Sedangkan tangan kirinya menahan berat tubuhnya sendiri agar tidak menimpa Arinda.

"eunghh" lenguh Arinda saat Leo mengecup lehernya dan meninggalkan jejak disana.

Perlahan Leo melepas pakaian Arinda dia mematikan lampu lalu membuka pakaian nya sendiri.

Arinda menatap Leo dengan wajah memerah dan napas terengah. "Mas boleh Arinda pegang?" Arinda menatap perut Leo yang berbentuk.

Leo menarik tangan mungil Arinda dan meletakkan di atas perutnya, Arinda meraba dan mengikuti bentuk otot perut Leo.

Leo langsung mengukung Arinda dan membuka perlahan agar dia masuk tidak menyakiti Arinda.

Begitu sudah masuk Leo menatap Arinda yang sedikit meringis dengan perlahan dia bergerak dengan perlahan.

"Ahhh Mas." lirih Arinda sambil memegang seprai dengan wajah penuh keringat.

"Baby..." desah Leo langsung melum\*t bibir mungil Arinda dengan lembut.

"Ahhh.... Mas cepetin." lirih Arinda sambil memejamkan matanya.

"Sebentar baby." Leo mengikuti permintaan istrinya dia bergerak lebih kencang.

Badan Arinda berguncang kencang. "Ahhh Arinda mau keluar Mas."

Leo semakin bersemangat mempercepat tempo hingga akhirnya mereka pelepasan berdua. "Aaaahhhh." Teriak lirih Arinda.

Pagi menyapa bumi dengan lembut. Uap hangat memenuhi kamar mandi ketika Arinda berdiri di bawah shower, membiarkan air menetes dari rambut hingga ujung kaki. Di kamar, Leo masih setengah terbangun. Kelopak matanya bergerak sedikit sebelum benar-benar terbuka.

“Baby…” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Ia duduk perlahan, mengusap wajah, lalu mengambil handuk dan melilitkannya di pinggang. Masih dengan rambut berantakan, ia berjalan pelan menuju kamar mandi. Begitu membuka pintu, suara shower langsung menyapanya.

Leo bersandar di ambang pintu sebentar, tersenyum melihat siluet istrinya di balik kaca buram. Ia mendekat, mengetuk pelan kaca shower.

Arinda menoleh, sedikit terkejut. “Mas…?” suaranya lembut.

Leo masuk, mendekat, lalu mengangkat dagu Arinda dengan dua jarinya. Tatapannya dalam, hangat, dan penuh rasa memiliki.

“Pagi, baby,” bisiknya.

Ia menunduk, memberi Arinda cium singkat dan lembut, hanya sebatas sapaan manis suami yang kangen setelah bangun pagi.

Arinda memejam sebentar, pipinya memerah.

“Mas… jangan tiba-tiba gitu…” gumamnya malu.

Leo hanya tersenyum, merapikan poni Arinda yang basah. “Mas cuma nyapa istri mas. Itu aja.”

Arinda tersenyum manis Leo mendekat dan mengukung Arinda bersandar di dinding dengan shower yang masih menyala.

Dia membalik Arinda yang kini menghadap tembok tanpa pemanasan Leo melakukan penyatuan dia menahan Arinda yang sedikit lemas kaki nya

Leo terus bergerak dan sesekali memegang benda yang menggantung milik Arinda dan meremat pelan, Arinda melenguh pelan.

Leo mencium leher Arinda sambil berbisik pelan. "Enak baby?"

Arinda tidak bisa berkata-kata karna dia menikmati apapun yang Leo lakukan padanya. Dia hanya mampu mengangguk saja.

Leo mengangkat Arinda dan masuk ke dalam bathub, Arinda duduk menghadap Leo, dan Leo memasukkan benda nya hingga ke dalam.

"Mas." Ucap Arinda sambil mendongakkan wajahnya ke atas.

Perlahan tapi pasti dia menuntun Arinda untuk bergerak dan membantu nya, Leo sangat suka apapun yang Arinda lakukan untuknya walaupun Arinda lugu.

Leo menatap istrinya di depan dengan wajah merah dan basah. Dia mengelap wajah Arinda lalu memegang punggung Arinda dan dia ikut membantu bergerak.

Ketika mencapai akhir, Arinda tiba-tiba mual dan muntah. Dia terkejut langsung menutup mulutnya. "Maaf mas." lirihnya pelan.

Leo menatap Arinda dengan tatapan lembut. "Tidak masalah baby, mungkin kamu masuk angin. Ayo jangan terlalu lama berendam.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan ketika Arinda duduk di depan meja rias. Kulitnya masih tampak basah dan sedikit kemerahan karena waktu mandi yang cukup lama bersama Leo. Nafasnya pelan, dan dari kaca, ia bisa melihat wajahnya yang mulai pucat.

Sofia, pelayan pribadi Arinda, dengan telaten mengeringkan rambut tuannya itu menggunakan handuk lembut. “Nona, miring sedikit,” ucap Sofia sambil mengangkat beberapa helaian rambut yang masih menetes. Arinda mengangguk kecil, matanya terlihat lelah.

Namun tiba-tiba Arinda menunduk cepat. Tangannya mencengkeram pinggiran meja rias.

“Mbak… ah—”

Belum sempat melanjutkan, Arinda muntah lagi ke lantai. Tubuhnya melemas dan bahunya bergetar.

Sofia terkejut, langsung berlutut di samping Arinda sambil mengelus punggungnya. “Nona, pelan, ya… tarik napas, nona…” Bisikannya terdengar panik.

Arinda memegang perutnya, wajahnya mengernyit. “Sakit… perut Arin sakit… Mbak Sofi…” ujarnya lirih, suaranya hampir hilang.

Melihat kondisi itu, Sofia benar-benar panik. Ia membantu Arinda duduk bersandar dulu, memastikan nona mudanya itu tidak pingsan. Setelah memastikan Arinda bisa bernapas perlahan, Sofia langsung bangkit dan berlari keluar dari kamar.

Langkah Sofia menuruni tangga menuju lantai satu begitu cepat dan terburu-buru. Jantungnya berdegup kencang. Sesampainya di bawah, ia melihat Aurel—wanita elegan yang duduk santai di ruang tengah sambil menyantap potongan buah dan menatap layar ponselnya. Di sebelahnya berdiri Maya, salah satu pekerja yang selalu setia menunggu perintah majikan.

Sofia mendekat dengan napas tersengal-sengal. “Ma—maaf, Nyonya… mengganggu waktunya…”

Aurel mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tajam namun tetap tenang. Ia mengangguk tipis, memberi isyarat agar Sofia melanjutkan.

Dengan suara gemetar, Sofia berkata, “Nona Arinda muntah lagi, Nyonya… dan… dan perutnya sakit. Sepertinya benar-benar tidak enak badan.”

Seketika itu juga Aurel langsung berdiri. Wajahnya berubah serius. “Maya, ambil ponsel rumah. Telepon dokter Pradana. Suruh datang cepat. Bilang keadaan mendesak.”

Maya mengangguk dan pergi dengan cepat.

Aurel, yang biasanya sangat terkontrol, kali ini tampak gelisah. Ia memanggil salah satu bodyguard yang berjaga di dekat pintu. “Kau, cepat ke rumah dokter Pradana. Kalau tidak bisa dihubungi, jemput dia paksa, bilang aku yang suruh.”

Bodyguard itu mengangguk, lalu berlari keluar.

Aurel hendak langsung naik ke lantai tiga, namun langkahnya terhenti sejenak. Ia menatap ponselnya, lalu mengetik cepat sebelum memutuskan untuk menelepon Leo. Ketika Leo mengangkat, Aurel tidak membuang waktu.

“Leo, aku mau ke lantai tiga. Arinda sedang tidak enak badan. Dia muntah dan perutnya sakit,” ucap Aurel cepat, nada suaranya benar-benar menunjukkan kekhawatiran.

Leo yang berada di kantor langsung menegang. “Apa? Bagaimana keadaannya sekarang?” Suaranya terdengar naik setengah oktaf, penuh rasa panik.

“Aku belum lihat langsung, tapi Sofia bilang cukup parah. Aku ke atas sekarang,” jawab Aurel.

Tanpa menunggu Leo merespons lebih jauh, Aurel menutup telepon secara sepihak. Ia tidak punya waktu. Langkahnya langsung naik ke lantai tiga dengan cepat, namun tetap hati-hati.

Sementara itu, di kantor, Leo memandang layar ponselnya dengan rahang mengeras. Panggilannya terputus begitu saja, dan itu semakin membuat hatinya tidak tenang. Ia berdiri dari kursinya tanpa berpikir panjang.

“Adrian!” panggil Leo cukup keras.

Adrian yang sedang menata beberapa berkas di meja kecil langsung berdiri tegak. “Ya, Tuan Leo?”

Leo mengambil jasnya dan berkata cepat, “Urus semua meeting hari ini. Saya ada urusan penting.”

Adrian membuka mulut, hendak bertanya, namun melihat raut wajah bosnya yang tegang dan khawatir, ia langsung mengangguk. “Baik, Tuan. Saya urus semua. Tenang saja.”

Leo tidak menunggu lebih lama. Ia berjalan cepat keluar dari ruangannya, bahkan hampir berlari. Di dalam dadanya, rasa takut dan panik campur aduk.

*Arinda sakit… kenapa sampai muntah lagi? Perutnya sakit? Apa dia baik-baik saja*?

Leo tidak pernah terlihat segelisah itu.

Dan kali ini, dia hanya punya satu tujuan: pulang secepat mungkin.

Dokter Pradana baru saja selesai memeriksa Arinda. Stetoskopnya masih menggantung di leher ketika ia berdiri dan melipat tangan sambil menatap Aurel dengan dahi berkerut.

“Dia siapa, Aurel?” tanyanya dengan nada kepo yang sangat khas darinya.

Aurel memutar bola matanya, jelas malas menanggapi gaya sok tahu sahabat Leo itu. “Dia istri kedua Leo,” jawabnya datar.

Pradana yang tadinya santai langsung membelalak. “APA?!” suaranya naik dua oktaf. “Kau gila, Aurel? Jangan bercanda di jam-jam begini. Istri? Leo? Kapan? Dengan siapa? Kau tak sedang berbohong padaku, kan?—”

“Sudah, jangan teriak,” potong Aurel dengan tatapan mengancam.

Namun dokter itu masih syok berat. “Aurel… aku sudah lama jadi sahabat Leo. Aku ini dokter pribadinya! Masa aku tidak tahu dia menikah lagi?! Kau pikir aku ini apa? Kursi ruang tamu rumahmu?!”

Aurel menghela napas berat, lalu melirik ke arah Maya dan Sofia. “Kalian keluar dulu. Tunggu di luar.”

Maya dan Sofia patuh. Pintu tertutup pelan.

Kini ruangan hanya diisi tiga orang: Aurel, Arinda, dan Pradana yang masih memegang kepalanya sendiri karena syok.

Aurel menatap Arinda sebentar—gadis itu menatap balik dengan mata polos, bibir mungilnya sedikit pucat karena masih mual. Aurel kemudian berkata, “Beberapa bulan lalu, Leo menikahi gadis lugu ini atas permintaanku. Jadi jangan bilang yang aneh-aneh. Dia bukan pelakor, bukan wanita simpanan, bukan apa-apa selain istrinya tercinta Leo.”

Pradana mengangguk perlahan, mulutnya terbuka sedikit. “Leo, Leo… apa lagi yang dia sembunyikan selama ini…”

“Banyak,” jawab Aurel ketus. “Dan aku tidak berniat mendiskusikannya denganmu.”

Pradana baru hendak membuka mulut untuk bertanya sesuatu lagi ketika—

BRAK!

Pintu kamar terbuka keras.

Leo muncul dengan wajah tegang, langkah cepat, matanya langsung menyapu ruangan sebelum fokus pada Arinda.

“Baby…” suaranya tercekat. Ia mendekat, memegangi bahu Arinda dengan penuh kecemasan. “Yang mana yang sakit, hm?”

Arinda menunjuk perutnya pelan. “Di sini, Mas…”

Leo langsung mengelus perut istrinya dengan lembut, wajahnya berubah semakin khawatir. Ia menoleh pada Aurel dan Pradana. “Apa yang kalian lakukan di sini?”

Pradana mendengus kesal. “Tenang! Aku ke sini minta sumbangan. Masa harus izin dulu?”

Leo menatapnya tanpa ekspresi. “Lucu sekali.”

Pradana menunjuk Leo dengan gaya dramatis. “Kau menikah dua kali dan tidak mengundangku! Dasar teman durhaka!”

Aurel duduk di sofa sambil menghela napas. “Pradana… bisa tidak, bicara sesuai konteks?”

Dokter itu mendengus. “Baik! Baik!” Ia lalu menunjuk Arinda yang menatap bingung. “Aku baru periksa dia. Dan aku ingin bertanya… apa yang kau lakukan pada istri kecilmu ini?”

Leo langsung memahami arah pembicaraan itu. Ia menjawab tanpa malu dan tanpa jeda, “Membuatnya enak sampai terbang tinggi. Kenapa?”

Pradana ingin melempar sepatu ke wajah Leo saat itu juga. Ia memukul lengan Leo dengan keras. “Kau BODOH sekali, Leo!”

Leo mengerutkan kening. “Apa lagi?”

Dokter itu menunjuk Arinda dengan ekspresi antara frustasi dan ingin tertawa. “Dia mual dan perutnya kram karena kau terlalu sering—AH KAU TAHU LAH SENDIRI! Dasar barbar!”

Leo mengernyit. “Aku barbar? Tidak juga.”

“Tidak?!” Pradana memekik. “Kalau tidak barbar, kenapa sampai dia begitu? Janinnya masih muda dan rentan! Seharusnya jangan melakukan hubungan… itu dulu! Kau tidak tahu dia hamil?!”

Ruangan mendadak hening.

Aurel menghela napas lega. Ia sudah menduga kalau Arinda hamil.

Leo menatap Arinda. Lalu menatap Pradana. Lalu kembali ke Arinda.

“Hamil?” suaranya hampir berbisik. Lambat, seperti tidak percaya. “Baby hamil?”

Arinda menatap Leo dengan mata membesar. Ia sendiri masih tidak percaya. “Arin juga namun tau mas…”

Leo tidak menunggu lagi. Ia langsung menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya, memeluk dengan begitu erat sambil mencium pipi, kening, dan kemudian bibir Arinda berkali-kali dan melumat nya.

Arinda terkejut, tapi wajahnya langsung memerah bahagia.

Aurel yang duduk di sofa langsung menutup mulut menahan tawa kecil. “Akhirnya ada kabar bagus juga di rumah ini.”

Pradana memandang pemandangan itu dengan tatapan malas. “Halah… dramatis sekali. Eh, Leo! Jangan cium-cium terus, kau mengabaikan dokter di sini, tahu.”

Leo menatapnya dengan sinis. “Dokter tidak perlu melihat ini.”

“Dokter perlu dihargai!” Pradana mendengus sambil melipat tangan. “Dan tolong jelaskan dari tadi. Kau menikah kapan? Kenapa tidak cerita? Kenapa tidak undang aku? Dan—”

Leo mengangkat satu tangan. “Pertanyaanmu terlalu banyak.”

“Aku dokter! Aku perlu tahu perkembangan hidup pasienku!” balas Pradana defensif.

Arinda yang sejak tadi memeluk Leo hanya bisa menatap mereka berdua yang saling serang kata. Wajahnya berbinar. Tangannya tidak lepas dari perutnya.

Leo menatap Arinda lagi, wajahnya berubah lembut total. “Baby… kita punya anak.”

Arinda mengangguk kecil. Senyuman polosnya muncul, membuat Leo semakin jatuh cinta.

Di belakang mereka, Aurel menatap sambil tersenyum tipis. Ia tahu Leo bahagia. Ia tahu Arinda bahagia. Dan ia tahu keluarga itu akan berubah sejak hari itu.

Pradana akhirnya menyerah, melemparkan map ke meja. “Sudah, aku capek lihat kalian. Aku hanya akan jelaskan resep dan pantangan.”

Dan Leo, untuk pertama kalinya sejak ia datang, tertawa kecil sambil memeluk istrinya lebih erat.

1
panjul man09
alur ceritanya sedikit berbeda dgn novel2 biasanya dan itu nilai plusnya , menarik.
panjul man09
kalo aurel bersikap baik pada arinda seterusnya , tentu ini nilai plus bagi novel ini , karna tidak mengikuti kisah2 novel yg lain yg banyak drama menyrdihkan di alami istri kedua yg miskin.
Khalisa
kyknya seru nih cerita
CantStopWontstop
Makin suka sama cerita ini.
Luna de queso🌙🧀
Gak sabar next chapter.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!