Gabriella Alexia Santoro. Seorang gadis cantik yang begitu dingin dan cuek. Kedatangan nya ke sekolah baru, membuat siapa saja terpesona. Termasuk dengan most wanted yang terkenal sangat cuek dan galak. Samudra Tri Alaska. Ketua geng motor Alaska yang berdarah dingin. Kebiasaan nya mengirim orang-orang ke rumah sakit sudah senter terdengar di seluruh penjuru kota. Namun aksinya itu tidak pernah sampai membuatnya di tangkap oleh polisi. Karena ayahnya yang seorang komandan militer. Namun, kedatangan Gabby si gadis super cuek dan dingin membuat nya berubah. Pesona Gabby mampu meluluhkan hati keras Samudra
Guys!! Ini novel pertama ku disini, bantu support yaaa🤗
Kalo ada kesalahan mohon koreksi, biar aku bisa belajar dari kesalahan dan memperbaiki nya😘
Happy reading guys....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nasella putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegiatan di hari libur
“Awasi terus mereka, jangan sampai mereka berhasil menemukan cucu-cucu ku. Bahkan jangan biarkan mereka melihat cucu-cucu ku!”
“Baik tuan. Perintah akan saya jalankan”
“Apa yang kakek maksud? Siapa yang kakek bicarain? Dan, kenapa kakek gamau orang-orang itu tau ketemu sama cucu-cucu nya?”
Gabrian yang tidak sengaja menguping pembicaraan sang kakek dengan anak buahnya pun begitu berhati-hati saat berada di sekitar ruangan sang kakek.
.
.
.
Ceklek.
“Sorry guys, gue sama yang lain ga bisa gabung. Kita lagi ada urusan keluarga”
Gabriel yang sedang video call dengan Vyan dan yang lainnya di buat heran dengan tingkah Gabrian.
“Kenapa lo?” Tanya Gabriel.
“Gapapa. VC sama siapa lo?”
Gabrian berusaha menetralkan raut wajahnya. Ia pun memilih bergabung pada Gabriel.
“Hai semuanya!” Sapa Gabrian.
“Hai brother! Kemana aja lo? Sini kali, nongki”
Suara Ronan pun terdengar dari dalam handphone.
“Vyan sama yang lainnya ngajakin kita nongkrong” Ujar Gabriel memberitahu Gabrian.
“Sorry nan, bukannya gamau. Tapi lagi gabisa” Ucap Gabrian.
“Yaahhh... Ga asik lo berdua. Padahal kita belum pernah nongki bareng loh”
“Udah sih, mereka juga gabisa karena ada urusan keluarga, lo jangan kayak gitu”
Suara Zio pun terdengar.
“Udah udah, malah lo berdua yang debat. Masih ada lain waktu. Mereka bisa gabung nongkrong sama kita kapan-kapan. Gausah di ributin”
Dan suara Vyan pun terdengar.
Gabrian dan Gabriel terkekeh melihat ketiga temannya yang sedang beradu argumen.
“Soryy ya guys.. Lain kali deh. Lain kali kita ikut, oke oke?” Ucap Gabriel.
“Oke deh. Janji ya lain kali?”
“Iya nan, santai aja kali. Di sekolah juga seharian lo bareng kita” Ujar Gabriel.
“Hahaha!!! Tauk lo!”
“Ini kan beda. Ini di luar bro! Kita nongkrong di cafe, di resto, main billiard, karaoke, balapan. Kan gue juga mau lo berempat ikut seneng-senengnya. Iya ga?”
“Iya, nanti next nya kita ikut. Sekarang lagi gabisa. Sorry ya” Ujar Gabrian.
“Oke oke, gue maklum. Yaudah, have fun deh lo berdua. Titip salam juga buat Gani sama Gian”
“Iya, lo bertiga juga have fun. Sorry belum bisa gabung” Balas Gabriel.
“Yoi! Yaudah, sampai besok!”
Sambungan telepon pun di matikan. Gabriel menghela nafas nya panjang lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
“Kenapa?” Tanya Gabrian.
“Gue sebenarnya pengen banget keluar, nongkrong sama mereka. Tapi kakek ga ngijinin” Keluh Gabriel.
“Gausah sedih. Kita juga baru tinggal lagi disini. Ini kan rumahnya kakek, kita harus nurut kalo mau tinggal disini” Ujar Gabrian.
“Tapi kenapa kita harus tinggal disini? Bukannya di Jerman kita baik-baik aja ya, tinggal di rumah paman Zerga?”
“Ya... Bukannya bibi Lea bilang, rumah di Jerman lagi mau di renov kan?”
“Tapi gue butuh kebebasan!”
Gabriel pun mencak-mencak di atas ranjang.
“Jangan kayak bocah gitu ah! Baru setengah hari di rumah udah tantrum lo!”
“Ya lo emang nya ga iri apa? Tadi Ronan, Zio, sama Vyan lagi ada di cafe! Gue pengen ikut!”
“El! Come on! Cuma cafe! Lo sering dateng ke cafe-cafe yang ada di jerman”
“Ya itu kan di Jerman. Ini Indonesia, gue belum pernah nongkrong di cafe indo!”
“Semua cafe sama aja kali” Jengah Gabrian.
“Engga ya! Ga semua cafe itu sama! Siapa tau kan, gue ketemu jodoh gue di cafe indo”
“Dih! Jadi lo mau nongkrong di cafe indo cuma buat nyari jodoh? Sekolah dulu yang bener! Nilai lo aja masih standar!”
“Jangan ngeledekin gue! Masalah nilai sama perasaan itu beda ya!”
“Emangnya sejak kapan lo tertarik sama cewek? Banyak cewek di sekolah gaada yang lo godain tuh”
“Yaelah, yang di sekolah bukan tipe gue. Tipe gue itu yang, tegas, dingin, cantik, ga banyak ngomong, manis, lembut, ga suka dandan menor, dan yang pasti, wangi...”
“Dih!”
“Ada sih yang begitu. Kak Claudia, gimana menurut lo?”
Gabriel menatap Gabrian dengan mata yang berbinar.
“Astaga, El! Masa lo mau sama yang seumuran kak Gabby sih! Mikir lah!”
“Cinta ga mandang umur, yan”
“Cinta ga mandang umur cinta ga mandang umur, gue aduin lo ke kak Gabby ya!”
“Jangan jangan jangan! Aduan lo! Ga asik! Gabisa banget bantuin sodaranya”
“Bantuin apa? Bantuin lo deket sama kak Claudia? Mimpi!”
BRUGH!!!
Gabrian melempar sebuah bantal pada Gabriel yang tepat mengenai wajahnya.
“Bian sialan!”
Gabrian yang hendak berlari keluar kamar di kejutkan dengan keberadaan Zayn dan Zavier.
“Diem lo di situ!”
Mendengar itu, Gabrian segera menunduk, dan lemparan bantal Gabriel pun mengenai wajah tampan Zayn yang berada tepat di depan pintu.
BRUGH!!
“Weh! Apa tuh?”
Gian dan Gani melongokkan kepala nya di ambang pintu.
Gabriel yang melihat jika lemparannya tadi malah mengenai sang kakak tampannya pun terperanjat. Ia dengan cepat turun dari ranjang dan menatap Zayn dengan takut takut.
“Gabriel!”
Zayn dengan cepat mengambil bantal yang tadi mengenai wajahnya, ia pun membalasnya dengan kembali melempar bantal tersebut pada Gabriel. Gabriel yang tidak ingin kembali terkena lemparan bantal pun menghindar. Hingga terjadi lah perang bantal antar saudara di dalam kamar yang untungnya cukup luas itu.
.
.
.
“Huh... Huh...”
Setelah selesai berperang, keenam laki-laki itu pun merebahkan tubuhnya di mana saja. Zayn dan Gian yang merebahkan tubuhnya di atas sofa, Zavier dan Gabrian yang merebahkan tubuhnya di atas ranjang, serta Gabriel dan Gani yang merebahkan tubuhnya di atas karpet.
“Huh... Lumayan, seenggaknya rasa bosen tadi terealisasi kan, hahaha...” Ujar Zavier.
“Kita kan niat nya mau main kartu, kenapa malah perang bantal?” Sahut Gian.
“Gapapa, yang penting bisa gerak” Ujar Gabriel.
Beberapa saat kemudian, keheningan pun tiba-tiba saja terjadi, keenam laki-laki itu sudah tertidur dengan pulas dalam posisi nya masing-masing.
Ceklek.
“Astaga!”
Gheazora terkejut bukan main saat melihat kondisi kamar Gabriel dan Gabrian yang begitu berantakan.
“Apa yang terjadi? Apa yang mereka lakukan sampai seberantakan ini?” Sahut Gevanya yang juga menampilkan ekspresi yang serupa.
Kedua nya masuk dengan perlahan dan memeriksa para kakak nya yang sudah tertidur.
“Zora, Vanya punya ide!”
Gevanya tersenyum dengan begitu lebar sambil membisikkan sesuatu pada telinga Gheazora.
.
.
.
Ceklek.
“ASTAGAAA!!!”
Mendengar suara teriakan, membuat keenam laki-laki yang masih tidur dengan nyenyak akhirnya terbangun dengan terkejut.
“Apa yang terjadi disini?! Apa yang kalian lakukan dengan kamar ini?”
“Hoamm... Ibu... Kita cuma main main tadi” Jawab Zavier dengan mata yang masih mengantuk.
Gallilea terdiam beberapa saat sambil menatap keenak laki-laki di depan nya dengan terkejut.
“A-apa yang terjadi pada kalian?”
Mendengar itu, mereka semua pun membuka matanya lalu menatap Gallilea dengan polos.
“Apa maksud bibi? Kita kan cuma tidur” Ujar Gian.
“Iya- HAH!”
Suara teriakan Gabrian membuat mereka semua terkejut dan dengan cepat menatap ke arah Gabrian dengan bingung.
“Apa? Ada apa?” Tanya Gian dengan panik.
“Pfft!! Hahahaha!!!!!”
Suara tawa pun memenuhi ruangan.
“Kenapa kalian ketawa? Tunggu, wajah kalian kenapa?”
Pertanyaan Gian menyentak mereka semua. Mereka pun dengan cepat berlari menuju cermin besar yang berada di dekat jendela balkon.
“HAH!!”
Mereka semua terkejut secara bersamaan.
“APA-APAAN INI?! SIAPA YANG LAKUIN INI?!”
Teriakan frustasi yang mendramatisir pun menggema di seantero mansion.
.
.
.
Di malam hari, keluarga Ebru kini tengah melakukan makan malam bersama. Di meja makan, suasana tidak seperti biasanya. Para anak laki-laki tidak bergeming sedikitpun. Mereka semua menatap tajam ke arah Gheazora dan Gevanya yang mereka curigai sebagai pelaku yang sudah mencoret-coret wajah tampan mereka tadi siang.
Gheazora dan Gevanya yang mengerti pun menahan mati-matian tawa yang ingin sekali menyembur saat itu juga.
Kedua nya kompak berpura-pura tidak tau apapun yang terjadi pada keenam kakak laki-laki mereka.
“Boys, ada apa dengan wajah kalian? Kenapa berwarna warni seperti itu?” Tanya Zerga yang menyadari ada sesuatu yang salah dengan wajah para anak laki-laki.
Wajah mereka masih menyimpan bekas warna warna dari spidol yang di gunakan Gevanya dan Gheazora untuk melukis wajah mereka.
“Ini pasti ulah kalian berdua kan! Ngaku!”
Akhirnya, Gabriel pun membuka suara.
“Apa? Apa yang kita lakuin memangnya?” Tanya Gheazora dengan wajah polosnya.
“Jangan pura-pura gatau! Kita tau, pelakunya pasti kalian!” Ujar Gian.
“Kakak, kita benar-benar tidak mengerti dengan yang kalian katakan” Balas Gevanya yang di angguki oleh Gheazora.
“Hoo... Pintar berakting ternyata...” Sahut Zavier seraya menyeringai lebar.
Melihat seringaian sang kakak, keduanya pun tersentak.
“Mm.. Kami sudah selesai. Terimakasih makanan nya”
Gevanya dengan cepat membawa Gheazora pergi.
“KALIAN MAU KABUR KEMANA?!” Teriak Zavier.
“AMPUN KAKAK!!!”
“SEMUANYA! AYO KEJAAR!!!” Seru Gabriel.
Ke-enam laki-laki itu pun berlari mengejar Gevanya dan Gheazora ke lantai atas.
“Hei! Hati-hati!” Sahut Rosetta.
“Mereka ini, umur saja sudah kepala dua. Tapi kelakuannya masih sama seperti adik-adik nya” Ujar Gallilea.
“Tidak apa-apa sayang. Itu malah bagus untuk mereka. Setelah mereka menikah nanti, mereka bisa mengajak anak-anak mereka bermain” Balas Zerga.
“Ya.. Tapi mereka harus dewasa”
“Mereka bukan tidak dewasa, sayang. Mereka hanya pandai memposisikan diri mereka”
“Kau benar, aku sedikit nya bangga pada mereka”
“Lea, selagi mereka di rumah, mereka bebas berekspresi seperti apapun itu. Kau tidak perlu marah dengan hal itu” Ujar Rosetta.
“Iya ibu”
Keduanya tersenyum, namun mata Rosetta pun tertuju pada Gabby yang duduk di ujung meja masih memakan makan malamnya dengan santai. Matanya masih di tutup oleh eye patch. Dan hal itu membuat Rosetta khawatir.
“Gabby, apa mata mu sudah membaik?” Tanya Rosetta.
Gabby yang di tanya pun menatap ke arah sang nenek.
“Hanya perlu di istirahatkan sebentar nek” Jawab Gabby.
“Jika perlu, kita periksa saja ke rumah sakit”
“Tidak perlu nek, ini hanya sakit mata biasa” Tolak Gabby dengan cepat.
“Untuk apa datang ke rumah sakit. Panggilkan saja dokter nya kesini” Sahut Ebru.
“Ayah benar. Aku akan memanggil dokter untuk memeriksa mata Gabby” Ujar Gallilea.
“Aku rasa itu tidak perlu. Aku baik-baik saja”
Setelah mengatakan hal itu, Gabby pun beranjak dari duduknya.
“Aku sudah selesai, terimakasih untuk makanannya”
Gabby pun melenggang pergi menuju ke lantai atas.
“Apa kita masih harus memanggil dokter?” Tanya Gallilea.
.
.
.
Brugh!!
“Huh...”
Gabby merebahkan tubuhnya di atas ranjang queen size nya.
Matanya menatap ke atas langit-langit kamarnya. Tangan kirinya pun bergerak untuk melepaskan eye patch yang berada di mata kirinya.
Terlihat mata nya yang kembali terekspos masih memerah dengan parah. Garis garis merah di dalam mata putihnya menjalar hampir mengenai pupil matanya.
Gabby pun terdiam beberapa saat dalam lamunan nya. Ingatannya kembali pada perkataan sang sahabat yang cukup membuat dadanya teriris.
“Maaf...”
.
.
.
.
.
TBC.