Bagi orang lain, aku adalah Prayasti Mandagiri Bhirawa.
Tapi bagimu, aku tetaplah Karmala Bening Kalbu.
Aku akan selalu menjadi karma dari perbuatanmu di masa lalu.
Darah yang mengalir di nadi ini, tidak akan mencemari bening kalbuku untuk selalu berpihak pada kebenaran.
Kesalahan tetaplah kesalahan ... bagaimanapun kau memohon padaku, bersiaplah hadapi hukumanmu!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ➖ D H❗V ➖, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. THE REAL ACTOR
Ketika tiba di toilet, Brown segera berlari masuk ke salah satu bilik.
"Aduh ... aduh ... perutku sakit sekali," keluhnya.
"Saya tinggal ya, Anda sudah tahu jalan kembali bukan?" pak sipir sudah membalikkan badan hendak berlalu.
"Maaf Pak, bisakah saya minta tolong ditungguin sebentar? Saya takut pingsan di sini." Brown berusaha mengulur waktu, agar pak sipir tidak segera kembali dan memberi waktu pada Sabda untuk menyelesaikan urusannya.
Sementara pak sipir menunggu, di dalam bilik Brown mengeluarkan suara-suara bising seperti orang sedang buang angin dan buang air besar.
"Si*l ... sejak kapan seorang sipir bisa alih profesi jadi perawat bayi besar?" umpat pak sipir.
Setelah yakin waktunya cukup, sebelum keluar dari bilik, Brown mengoles wajahnya dengan bedak supaya terlihat lebih pucat, dan mencipratkan air ke wajah untuk memberi efek berkeringat. Semua itu demi sebuah acting yang meyakinkan. Sehingga sipir itu tidak mencurigai aksi mereka.
Brown sudah kembali ke ruang besuk itu, bersama dengan sipir yang mengantarnya. Wajah sipir terlihat sangat kesal, karena harus berdiri lama untuk menunggu Brown. Seumur hidup selama bekerja jadi sipir penjara, tidak pernah sekali pun sipir itu mendapati pembesuk dengan model seperti itu.
"Terimakasih Pak, nanti akan saya bawakan makanan kesukaan Anda kalau saya kembali ke sini lagi." Brown mencoba menghibur dengan PHP in pak sipir.
Kali ini pak sipir tersenyum, rupanya dia ingin memanfaatkan tawaran Brown. "Apa saja yang saya minta?"
"Iya, sebutkan saja," Brown mengangguk meyakinkan.
Setelah menulis beberapa nama makanan di selembar kertas, pak sipir memberikan kertas itu pada Brown.
"Lebih baik saya catat, daripada Anda tidak bisa mengingatnya."
Brown membaca deretan tulisan memanjang di kertas itu sambil meringis, "Gila banyak banget, ini rakus atau doyan?" gerutunya dalam hati sambil memandangi tubuh pak sipir dari atas ke bawah. "Pantas saja Anda terlihat subur," kata itu spontan terucap dari bibir Brown dan membuat Sabda menahan geli.
Sementara pak sipir melotot tajam.
"Enak saja, tubuh atletis begini dibilang gemuk," gerutunya pelan.
"Maaf, saya tidak bilang bahwa anda gemuk. Anda sendiri yang mengatakanya."
Padahal siapapun akan berpendapat sama dengan Brown bila melihat bentuk tubuh pak sipir yang jauh dari proporsional.
Tak tanggung-tanggung pak sipir juga menulis nama lengkap, nomor ponsel dan alamat rumahnya di kertas itu. Ditambah tulisan dengan huruf capital : DIPAKETIN SAJA!!! Sebuah cara cerdik untuk menghindari jeratan kasus suap.
'Seperti mati lampu ya sayang ... Seperti mati lampu ...'
Dering ring tone ponsel pak sipir terdengar.
"Hallo, siapa ini?"
'Hallo, dengan King Nassar?'
"Anda salah sambung!"
"Tidak mungkin salah, saya kan penggemar Anda." si penelpon masih ngotot.
"Saya kang sipir bukan King Nassar!!!" pak sipir mematikan sambungan telepon secara sepihak.
Tapi penelpon tadi kembali menghubungi, meski pak sipir enggan menerima panggilan itu.
'Seperti mati lampu ya sayang ... Seperti mati lampu ...' suara berisik ring tone membuat pak sipir tambah kesal.
"Ah sebaiknya kami pamit pulang Pak. Sebelum benar-benar mati lampu di sini. Terimakasih atas kebaikan Anda."
Pak sipir yang konsentrasinya terpecah karena ponselnya terus berbunyi hanya mengangguk.
"Jaga dirimu baik-baik di sini." Brown menepuk bahu Torac.
"Sial*n, siapa sih yang telpon? Sudah dibilang salah sambung kok tidak paham juga," pak sipir masih berkutat dengan ponselnya yang mulai low battery.
Bunyi ring tone ponsel pak sipir akhirnya berhenti ketika Sabda dan Brown muncul dari pintu keluar rumah tahanan itu.
Ya siapa lagi pelaku penelpon salah sambung tadi, kalau bukan anak buah Brown yang lainnya?
Di bilik toilet tadi, Brown sudah mengirim pesan ke anak buahnya untuk menelpon pak sipir sepuluh menit setelah pesan itu terkirim.
Tentu saja data nomor ponsel pak sipir didapatkan karena keahlian meretas Philbert si ilmuwan nyentrik itu.
Mereka menunggu Brown di dalam mobil sambil mengamati situasi. Dan tentu saja menyiapkan plan B bila aksi mereka gagal.
*
Setelahnya Sabda dibawa untuk bertemu dengan Prado.
"Kau bersama Prada? Apakah aku bisa bertemu dengannya sekarang?"
"Prada ... Prada ... Prada terus yang ada di kepalamu. Pantaslah wajahmu terlihat lebih tua dan merana selama di tahanan." Prado masih sempat meledek adik iparnya, dengan senyum mengejek.
Padahal dalam hati Prado merasa lega, Prada menikah dengan lelaki yang meskipun naif dan bodoh, tapi sangat mencintainya.
"Kau ke sini bukan untuk bertemu Prada. Aku akan membahas rencana kita selanjutnya. Kau di luar tahanan untuk sementara. Jadi manfaatkan waktumu dengan baik."
"Baiklah, aku ikut rencanamu." Meskipun ada sedikit rasa kecewa karena belum bisa bertemu istri yang dirindukannya, tapi setidaknya Sabda bernapas lega. Prado sudah menjalankan rencana untuk menolongnya.
"Beno tidak becus mengelola perusahaan. Dan bisa dipastikan, tinggal menunggu waktu perusahaan itu akan hancur."
Sabda mengangguk, dia pun menyadari hal itu. Perusahaan yang dia rintis dari nol akan hancur di tangan Beno.
"Aku berencana mengundang karyawanmu yang ada di top management. Kau akan menemui mereka satu per satu. Yakinkan mereka untuk tetap bekerja dengan baik, karena kau akan mengambil alih kembali perusahaan itu," Prado menjelaskan secara detail tentang rencananya.
Tentu saja yang dimaksud 'mengundang' di sini lebih tepatnya adalah 'menculik'.
"Baiklah, aku akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik."
Sabda tidak menyangka, Prado mempunyai rencana sejauh ini.
"Rencana berikutnya aku akan menjebak orang-orang Beno yang diberi posisi tinggi di perusahaanmu, dengan perantaraan Lucky. Kau ingat pria itu?"
Kening Sabda berkerut dalam, "Siapa pria yang kau maksud?"
"Pria yang telah melukai mata Hope, saat kalian berdua disekap oleh Beno. Aku sudah membuat salah satu matanya menjadi buta. Dan dia akan bekerja untuk memuluskan rencana kita berikutnya."
"Aku tidak akan pernah melupakan wajahnya." Sabda masih ingat betapa sadisnya pria itu memperlakukan Hope.
"Seperti Beno yang menjadi musuh dalam selimut bagimu. Aku pun akan membuat Lucky menjadi musuh dalam selimut bagi Beno. Dia akan menuai apa yang sudah ditaburnya."
"Sekarang sebaiknya kau membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Setelah ini ada tugas berat untukmu. Kau akan butuh banyak tenaga nantinya."
"Tapi ... aku akan tinggal di mana?" Meskipun sangat ingin pulang ke rumahnya untuk bertemu Prada, tapi Sabda tahu bahwa hal itu tidak mungkin baginya.
"Brown akan mengantarmu ke villa milik klan Garcia. Di sana pula aku akan mengirimkan anak buahmu untuk menemuimu."
"Baiklah."
"Ingat, kau masih dalam penyamaranmu." Prado kembali mengingatkan, jangan sampai karena kecerobohan Sabda, rencana besarnya akan gagal.
Sabda kembali memakai topeng siliconnya. Dia harus bergegas untuk memuluskan rencana Prado. Tanpa dia tahu sebuah kejutan telah menantinya.
Kira-kira kejutan apa yang akan diterima Sabda?